SOROT 438

Kembalinya Kegembiraan Masa Kecil

Sejumlah murid sekolah dasar memainkan permainan anak tradisional Maluku, Toki Gaba-gaba, di arena Pameran Hari Pers Nasional (HPN) dan Maluku Expo 2017, Lapangan Merdeka, Ambon, Maluku
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Embong Salampessy

VIVA.co.id – 

Ada Acara Tak Biasa di HUT ke 25 PAN

Yo pro konco dolanan ning jobo
Padang bulan, padange koyo rino
Rembulane sing ngawe-awe
Ngelingake ojo podo turu sore

Ayo kawan-kawan kita bermain di luar
Terangnya bulan, seperti siang hari
Bulan seperti memanggil-manggil
Mengingatkan untuk tidak tidur sore hari

Ketagihan Main Lato-lato Hingga Gangsin, Kim Mingue: Ini Susah Banget!

Penggalan lirik lagu berbahasa Jawa itu begitu sederhana. Pilihan katanya mudah dinyanyikan anak-anak di masa itu.  

Berisi ajakan untuk bermain dan berkumpul bersama. Ruang terbuka jadi pilihan. Tujuannya tak lain adalah kegembiraan.
 
Ya, bermain adalah dunia gembira. Sebuah ajang kebersamaan untuk berbagai ruang bahagia. 

Dukung Gerakan Sekolah Sehat, Ibu Negara Main Congklak dan Bekel Bersama Siswa SD

Harapan itu sepertinya yang ingin dicapai lewat ajang pameran dan gelar permainan tradisional yang dihelat di Bendara Budaya Jakarta. Mengajak masyarakat untuk menengok dan menyelami kembali ruang gembira lewat permainan anak.

General Manager Bentara Budaya Jakarta, Frans Sartono, dalam materi pengantar pameran bertajuk "Menyelami Kegairahan Masa Kecil" itu menilai, perubahan zaman telah meminggirkan permainan tradisional anak. 

"Boleh dikatakan, permainan anak ini sebagai kekayaan budaya yang nyaris punah," tulis Frans dalam pengantarnya.   

Dan, harapan itu pun sepertinya ingin terus diwujudkan, di saat permainan modern menggempur, seiring pesatnya perkembangan teknologi. Tak ayal, dalam pameran yang berlangsung selama sepekan, 22-28 Februari 2017, ratusan permainan tradisional dipamerkan.

Penyelenggara berharap antusiasme pengunjung untuk "kembali" ke masa kecil. Menyelami kembali kegairahan bermain, berkumpul, dalam ikatan kebersamaan. 

Bagi anak-anak di masa sekarang, tentu saja harapannya adalah mengenal ribuan mainan tradisional di Tanah Air. Tak hanya mengenal, tapi juga memainkannya.

Seperti terlihat pada Selasa 28 Februari 2017. Siang itu, bangunan seluas lapangan futsal sudah ramai dengan puluhan anak. Mereka berkejaran dan berlarian. Berteriak riang. 

Sepatu mereka berdentum dan berdecit, saat beradu dengan lantai keramik berwarna kecokelatan di bangunan itu. Suasana ceria tampak di wajah mereka.  

Mereka asyik bermain. Ada juga yang berkelompok di sudut ruang. Suasana riang itu seakan ingin menghidupkan kembali keceriaan yang pernah terjadi di usia mereka, di masa lalu. 

Tak hanya anak-anak, pengunjung dewasa pun cukup antusias. Mereka mencoba untuk memainkan sebagian dari ratusan koleksi mainan tradisional. Mulai dari gasing, perahu klotok, congklak, bakyak, hingga egrang bambu.

“Saya sengaja datang ke sini. Kebetulan ini hari terakhir (pameran). Hitung-hitung bernostalgia dengan permainan masa kecil dulu,” kata Triwiyanti (38 tahun) kepada VIVA.co.id.

Saat itu, ia tengah memainkan congklak. Sambil meraup beberapa biji congklak, Triwiyanti mengisi lubang-lubang kosong di papan congklak di hadapannya. 
 
Perempuan yang tinggal di bilangan Tebet, Jakarta Selatan itu mengaku bahwa permainan tradisional anak-anak seperti congklak, gasing, hingga lompat karet, langka ditemukan saat ini. 

Semakin pesatnya teknologi, disinyalir berdampak pada munculnya permainan-permainan anak yang lebih modern.
 
“Ini asyik kok, tidak membosankan lah memainkannya. Bisa mengenang masa lalu," tuturnya. 

Sorot Permainan Tradisional Anak

Di masa kecilnya, ia memainkan permainan congklak itu dengan teman-teman sebaya. Namun, sekarang, anak-anak sudah jarang yang memainkan permainan itu. (VIVA.co.id/M Ali Wafa)

Menurut dia, permainan tradisional lebih alami. Dapat dimainkan dengan riang dan mampu mengasah kreativitas anak. "Lebih have fun daripada main di gadget,” kata perempuan yang akrab disapa Yanti itu.
 
Hanya saja, ia tetap menyayangkan minimnya antusiasme masyarakat yang datang mengunjungi Pameran dan Gelaran Dolanan Nusantara itu. Di saat maraknya serbuan permainan anak yang jauh lebih modern seperti games online hingga playstation

Meskipun, menurut salah satu relawan pameran itu, Sintia Ramadani, sejak hari pertama dibuka hingga sepekan kemudian, jumlah pengunjung sudah lebih dari 250 orang. Jumlah itu di luar pengunjung yang berasal dari sekolah-sekolah yang berada di sekitar Jabodetabek. 

Menurut dia, selama digelarnya pameran permainan tradisional anak itu, tidak kurang dari delapan sekolah sudah datang membawa siswa-siswanya yang rata-rata memiliki usia 3-12 tahun.
 
“Kalau antusias pengunjung itu sudah termasuk lumayan ramai lah Mas, ada orang tua membawa anak-anaknya. Anak-anak senang bermain dengan permainan tradisional yang ada di sini,” kata Sintia kepada VIVA.co.id, Selasa 28 Februari 2017.

Selanjutnya, mulai terlupakan

Mulai Terlupakan
 
Bukan tanpa alasan, pameran dan gelaran dolanan nusantara itu digelar. Era teknologi modern cenderung memicu anak untuk memainkan permainan yang serba praktis.

Kondisi yang akan membuat ribuan permainan tradisional makin terpinggirkan. Kenangan permainan di masa kecil bagi orangtua itu, dikhawatirkan juga tergerus karena minimnya ruang terbuka untuk bermain.

Panitia penyelenggara pameran itu, Endi Aras, mengatakan, permainan tradisional anak saat ini memasuki masa-masa kritis. Permainan modern kini banyak menjadi pilihan atau sarana bermain anak-anak. 

Selain itu, Endi melanjutkan, salah satu pemicu permainan tradisional anak mulai jarang ditemukan adalah karena minimnya ruang atau tempat bermain anak. 

Pesatnya pembangunan gedung-gedung pencakar langit hingga rumah-rumah mewah, menurut Endi, telah menutup alam yang sebelumnya sangat mendukung anak-anak untuk berkreativitas menciptakan permainan tradisional, termasuk memainkannya. 
 
“Sekarang itu kita ingin main gobak sodor atau bentik itu sudah susah, tidak ada tempatnya," kata Endi yang juga pemerhati permainan tradisional anak itu kepada VIVA.co.id

"Kalau dulu kita ingin main tembak-tembakan itu sangat mudah, tinggal mencari batang pohon pisang kita buat jadi tembak-tembakan. Dulu alam juga sangat mendukung kepada anak-anak,” ujar Endi. 
 
Tidak hanya itu, pria kelahiran 29 Agustus 1963 itu menyatakan, dilupakannya permainan tradisional anak juga diwarnai oleh budaya atau pendidikan yang dominan didapatkan dari orangtua. Saat ini, lanjut Endi, kesibukan orangtua, khususnya di kota-kota besar, tanpa disadari ikut memengaruhi hubungan orangtua dan anak. 

Pola pendidikan yang disuguhkan oleh orangtua terhadap anak-anak pun otomatis dipengaruhi dengan budaya hidup yang serba instan atau cepat.
 
Sebagian orangtua sekarang, dia menjelaskan, sudah tidak mau mengajarkan permainan tradisional kepada anak-anaknya. Orangtua lebih memilih membuat anak-anaknya anteng dengan memberikan gadget. 

Restu Cahya (12) misalnya. Ia tak lagi memainkan permainan tradisional. Kalaupun tahu beberapa jenis di antaranya, Restu tidak pernah memainkannya. 

"Ya, saya tahu cara memainkan egrang. Tapi kalau gobak sodor dan gasing, saya belum pernah memainkannya," ujarnya kepada VIVA.co.id.

Meski Restu kerap bermain dengan teman-teman sebayanya, tidak semua memainkan permainan tradisional. Ia tak menampik, era gadget dan game modern lainnya sedang hits untuk remaja zaman sekarang.

Kondisi serupa dialami Doni Sinaga (12). Tak banyak permainan tradisional yang dikenalnya. Meski gasing dan gobak sodor pernah dimainkannya, ia tidak tahu cara membuat egrang. 

Pun teman-teman sebayanya. Mereka lebih memilih bermain sepakbola. "Jarang sih, paling main bola. Gasing kalau lagi musim," kata siswa yang tinggal di Depok ini.

Ketersediaan lahan jadi salah satu alasan mereka jarang memainkan permainan tradisional. Jikapun mereka menemukan area yang cukup luas, pilihannya adalah bermain sepakbola.

Doni pun tak menyangkal, permainan game online lebih diminati ketimbang permainan tradisional. Meskipun di sekolah, permainan tradisional juga diajarkan. 

Terlupakannya dolanan masa kecil di era gadget juga diakui sejumlah orangtua. Holong Sinaga (45), warga Depok, menyebut anak-anak lebih sering bermain game online di warnet.

"Pada main di warnet terus. Tiap hari goceng-goceng (lima ribu rupiah)," tutur orangtua Doni itu.

Dia lalu membandingkan dengan situasi di masa kecilnya. Saat itu, Holong lebih sering bermain bersama di lapangan. Kebersamaan dengan teman di ruang terbuka dinilainya lebih seru dan mengasyikkan. 

Yuliani (35), orangtua Restu, juga merasakan era gadget lebih memudahkan anak untuk bermain yang serba praktis. Di lingkungan sekitar rumahnya, sudah tidak pernah lagi dimainkan permainan tradisional.

"Paling anak-anak melakukannya di sekolah, karena guru-guru yang mengajarkan," ujarnya kepada VIVA.co.id.

Namun, psikolog anak dan keluarga, Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Psi, mengatakan, ada alasan lain orangtua tidak memberikan mainan tradisional kepada anak. Satu di antaranya karena pertimbangan bahan yang digunakan.

"Misal dulu ada mainan masak-masakan yang terbuat dari seng. Wajan dan sutilnya pakai seng. Karena tajam dikhawatirkan bisa melukai anak," tuturnya kepada VIVA.co.id.

Akhirnya, orangtua enggak memberikan mainan itu, tapi menggantinya dengan masak-masakan dengan versi lebih modern berbahan plastik yang aman bagi anak. Dulu ada kapal-kapalan yang ujungnya runcing, itu juga enggak diberikan lagi. 

Selain karena bahan yang digunakan enggak aman, minyak tanah untuk mengoperasikannya juga susah diperoleh. "Jadi enggak cuma karena gadget, tapi bisa karena keamanannya," ujar dia. 

Meski mengakui ada mainan tradisional yang mulai terpinggirkan, menurut Anna, beberapa di antaranya justru sudah dimodernkan. Terdapat beberapa permainan yang kembali lagi dimainkan dengan versi lebih modern. 

"Misalnya gasing, itu kan tradisional. Tapi sekarang ada yang modern, jadi anak-anak tetap ada yang mainin," tuturnya.

Budayawan dan sastrawan Putu Wijaya menyebut, bukan salah anak jika memilih permainan modern. Orangtua juga terlibat. Kenapa, karena dolanan tradisional akrab dengan lingkungan murah dan gampang dibuat.

"Dolanan dekat dengan pohon kelapa, rerumputan, pohon pisang. Tapi, mencari daun pisang saja sudah tidak bisa," ujarnya kepada VIVA.co.id.

Rasa dan keinginan untuk mencari mainan yang akrab dengan lingkungan, menurut Putu, kini jadi "mahal". Bahkan lebih mahal dibanding mainan pabrik. 

Kondisi ini, Putu melanjutkan, menunjukkan zaman sudah dikepung bisnis untuk "memusnahkan" dolanan anak. Mirisnya, sebagian orangtua pun mencoba untuk menolong anaknya dengan cara yang tidak layak. 

"Dan anak itu merasa lebih gengsi kalau main buatan pabrik," tuturnya.

Selanjutnya, sarat makna

Sarat Makna

Kondisi miris dolanan bocah nusantara itu memang banyak terjadi di perkotaan. Meski tidak semua redup di berbagai kota Tanah Air, tak dipungkiri, permainan tradisional semakin jarang digemari.

Sikap sebagian orangtua yang lebih berpikir modern dan instan, dinilai ikut berperan. Walaupun, perkembangan teknologi yang cepat, juga memicu anak mudah "terinspirasi" permainan yang dinilainya lebih maju dan menantang.

Akibatnya, anak terlalu asyik dengan gadget atau game online, ketimbang memainkan dolanan yang banyak melibatkan kebersamaan antarteman. Pun terhadap permainan yang bisa melibatkan orangtua mereka secara emosional. Congklak misalnya. 

Menurut Endi, sikap praktis sebagian orangtua itu tidak seharusnya dilakukan. Kalau itu yang dilakukan, akan menciptakan kesenjangan antara orangtua dan anak. 

"Karena nanti sudah tidak akan ada lagi komunikasi yang baik antara orangtua dan anak,” ujarnya.
 
Padahal, kata kolektor mainan tradisional anak itu, setiap jenis permainan tradisional anak itu memiliki makna yang luar biasa dalam filosofi kehidupan. Bahkan, permainan tradisional anak memiliki kekuatan batin yang berdampak positif bagi perkembangan serta pertumbuhan sang buah hati. 

Sorot Permainan Tradisional Anak

Melatih kehidupan, kecerdasan mental, dan emosional strategi, adalah sebagian di antara manfaat yang didapatkan. Permainan tradisional yang dilakukan bersama-sama juga mengajarkan untuk hidup saling menghargai perbedaan sejak dini. Selain juga membentuk karakter. (VIVA.co.id/M Ali Wafa)

Dalam permainan tradisional, dia melanjutkan, anak sejak dini dilatih untuk membangun komunikasi sesama teman seusianya, termasuk dengan orangtuanya. 

Endi mencontohkan dalam permainan congklak yang dimainkan anak-anak bersama orangtua. Dalam setiap permainan tradisional yang dimainkan oleh anak-anak kecil telah membuka ruang komunikasi antara sang anak dan orangtua.

Kondisi itu juga diamini oleh Farida, salah satu guru SDN Rawajati 06 yang ditemui VIVA.co.id di lokasi pameran mainan tradisional anak. 

Menurut Farida, anak-anak yang sejak dini sudah terbiasa dengan permainan tradisional, akan terlatih menjadi siswa yang kreatif serta mampu menanamkan jiwa solidaritas dan kekompakan.
 
Psikolog anak, Anna Surti Ariani, melihat, meski beberapa permainan tradisional kurang diminati, di sisi lain ada usaha untuk memodernkan dolanan nusantara itu. Sebut saja permainan ular tangga,  yang kini ada variasinya.

Melalui kombinasi beberapa pendekatan, Anna melanjutkan, ular tangga juga mengajarkan kebaikan, seperti menabung, asuransi, dan lainnya.

Bahkan, negara sekelas Amerika Serikat, memperlakukan permainan tradisional itu dengan sangat baik. "Saya pernah melihat pameran di Washington DC. Saya diberi tahu teman, jangan pergi ke sana kalau belum ke museumnya," ujar budayawan Putu Wijaya.

Awalnya, Putu akan menemukan koleksi-koleksi spektakuler. Namun, begitu memasukinya, ia sangat terkejut. Karena di gedung mewah dengan peralatan canggih itu, Putu Wijaya menemukan mainan yang pernah dimainkannya di waktu kecil

Dia sempat bertanya dalam hati, mengapa negara superpower memelihara mainan yang dinilai remeh temeh itu? 

Putu pun merenung, ada filsafat, ada pendidikan, ada keakraban lingkungan di balik permainan tradisional itu. Namun, saat kembali ke Tanah Air, mainan itu hampir tidak ada lagi. 

"Mungkin ada di gudang-gudang, tapi pasti sudah dibuang, jadi sudah tidak ada tempat lagi," tuturnya.

Selanjutnya, mengenalkan kembali permainan tradisional

Mengenalkan Kembali

Mengembalikan dan mengenalkan kembali permainan tradisional di era modern memang tak semudah membalik telapak tangan. Selain faktor gengsi hingga kepraktisan memainkan permainan modern yang kian berkembang, peran keluarga dinilai sangat dibutuhkan.

Banyak upaya bisa dilakukan. Dari pameran, hingga memasukkan dalam kurikulum pengajaran di sekolah. Bahkan, kalangan pebisnis juga bisa terlibat, di antaranya dengan mengembangkan permainan yang berbasis dolanan tradisional.

Putu Wijaya bahkan menyebut, upaya menggelar pameran permainan tradisional, seperti yang digelar di Bendara Budaya Jakarta, sangat bermanfaat. Meski ia ragu, apakah masih ada anak-anak yang mau memainkan permainan tradisional. 

"Kalau tidak ada, kita akan kehilangan sejarah," tuturnya.

Menurut dia, kehilangan duit memang celaka, tapi kehilangan sejarah lebih dari air mata. Anak cucu bakal tidak akan tahu lagi jika di masa lalu ada ribuan permainan tradisional. 

Lalu, apa yang harus dilakukan? Putu optimistis masih ada harapan. Pameran dolanan tradisional dinilai bisa menginspirasi untuk membuat sebuah rumah atau museum yang mungkin sangat mahal. 

Tapi, di dalamnya juga ada sejarah yang sangat mahal dan tidak akan hilang. Berharap ada yang terinspirasi bahwa bangsa ini memerlukan sebuah museum, yang secara sistematis akan menjaga dan melestarikan permainan tradisional.

"Harus ada institusi yang bisa mengamankannya, supaya tidak terhapus dari sejarah," tuturnya.

Tidak hanya itu, di lingkungan sekolah, upaya melestarikan permainan tradisional sangat mungkin dilakukan. Siswa-siswa di sekolah dasar bisa mulai dikenalkan dolanan khas Tanah Air.

Farida, guru SDN Rawajati 06 pun sudah terbiasa memperkenalkan berbagai permainan tradisional kepada murid-muridnya. Upaya itu dilakukan agar anak-anak sejak dini sudah terbiasa dengan permainan-permainan yang memiliki interaksi sosial sesama teman sejawatnya. 

“Terakhir, saya itu memperkenalkan kepada anak-anak mainan bentengan. Mereka itu senang sekali, di situ mereka happy dan itu sangat melatih kreativitas dalam bermain,” ujarnya.

Bahkan, ia berharap pemerintah dapat memasukkan berbagai jenis permainan tradisional anak itu ke dalam kurikulum pelajaran di sekolah-sekolah. Upaya itu dianggap penting untuk melatih serta mendidik anak-anak dalam budaya bermain yang sehat dan positif.

“Sekarang ini mungkin sudah ada beberapa pelajaran yang membahas tentang permainan-permainan tradisional ya. Misalnya dalam pelajaran PLBJ,"ujarnya.

Namun, Pendidikan Lingkungan dan Budaya Jakarta itu hanya mempelajari permainan atau budaya yang berasal dari ibu kota negara saja. Padahal, mainan tradisional jumlahnya banyak sekali, dan masing-masing daerah memiliki. 

Menurut Farida, bila permainan tradisional bisa masuk dalam muatan Seni, Budaya, dan Keterampilan (SBK), akan dapat membantu perkembangan motorik anak-anak. "Jadi, tidak sebatas dibahas teori saja, harus ada praktiknya,” katanya.

Sementara itu, pendiri Komunitas Gudang Dolanan, Endi Aras menilai, memasyarakatkan kembali mainan tradisional, harus ada sosialisasi atau pengenalan kembali kepada anak Indonesia dan terutama orangtua.

Upaya ini agar orangtua dengan berbagai cara punya peran penting, minimal mengenalkan permainan tradisional yang pernah dimainkannya di masa kecil kepada anak. Selain itu, peran media dinilai akan sangat membantu, karena lebih besar dampaknya. 

Kurangnya promosi, menurut Endi, juga menjadi pekerjaan rumah bersama. Bahkan, belum banyak media yang mendukung upaya pengenalan kembali dolanan bocah nusantara itu.  

Endi pun sependapat bila permainan tradisional sangat perlu dimasukkan kurikulum sekolah. Saat ini, tidak ada atau sedikit pelajaran budi pekerti yang mengenalkan kembali permainan tradisional dalam kurikulum sekolah maupun ekstrakurikuler. 

Termasuk pada kegiatan Pramuka, yang menurut Endi, banyak melibatkan antara permainan dan alam. Karena, banyak permainan tradisional yang terbuat dari alam.

Untuk membantu anak mengenal kembali permainan tradisional itu, psikolog anak dan keluarga, Anna, mengusulkan untuk membuat mainan atau permainan yang lebih menarik. Misalnya, ular tangga yang saat ini kreasinya cukup banyak. 

Gelaran festival mainan tradisional pun bisa menjadi salah satu solusi. Ada satu waktu atau lokasi yang isinya permainan tradisional dan mengundang orang untuk datang. 

"Di Bandung ada, itu juga bisa dibuat di semua kota di Indonesia. Lokasi yang khusus memainkan mainan  tradisional. Di Jakarta bisa gunakan RPTRA (ruang publik terpadu ramah anak)," ujarnya.

Orangtua, dia melanjutkan, selanjutnya bisa menceritakan betapa menyenangkan permainan tradisional itu. Upaya itu diharapkan menjadikan anak penasaran untuk mencoba.

Selanjutnya, museum dan kampung dolanan

Museum dan Kampung Dolanan

Mulai terlupakannya permainan tradisional di perkotaan, diharapkan tidak merembet ke daerah, yang notabene merupakan asal dolanan bocah itu. Meski di perkotaan, tak jarang juga ditemukan sejumlah permainan khas kota itu.

Di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya misalnya. Warga masih cukup antusias untuk melestarikan permainan tradisional. Aktivitas mereka pun beragam, meski kadang tak berjalan mulus. 

Sebut saja Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Tangga yang berlokasi di Taman Budaya Yogyakarta, Jalan Sri Wedani No 1 Kota Yogyakarta.

"Memang kalau tidak hari libur pengunjungnya sepi. Ramai saat libur akhir pekan atau libur panjang anak sekolah," kata Redy Kuswanto, public relations Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Anak, Yogyakarta ditemui VIVA.co.id, Jumat 3 Maret 2017.

Museum yang berdiri sejak 2008 yang diinisiasi oleh Rudi Koren selaku pemilik itu bertujuan agar dolanan anak tetap lestari. Generasi muda pun tidak kehilangan jati diri karena tidak lagi mengenal budayanya. 

Namun, sayangnya, misi mulia museum itu kini terancam. Kontrak museum itu telah habis dan pengelola Taman Budaya Yogyakarta enggan memperpanjang.

"Ya, sebenarnya kami tinggal menunggu diusir saja karena kontrak habis tahun 2011 dan tidak bisa diperpanjang,"ucap Redy.

Sorot Permainan Tradisional Anak

Sungguh ironis, karena koleksi dolanan anak di museum itu yang lebih dari 18 ribu jenis, baik dari Indonesia maupun luar negeri terancam tergusur. (VIVA.co.id/M Ali Wafa)

"Dari keliling ke luar negeri, Pak Rudi mempunyai koleksi hingga 300 mainan anak dan hingga 2016 ada 18 ribu mainan anak. Para duta besar dari negara sahabat juga sering membawakan atau menghibahkan mainan tradisional dari negaranya," ungkapnya.

Sepinya pengunjung museum, kata Redy, juga sejalan dengan semakin sulitnya menemukan dolanan anak yang dijual oleh perajin, akibat serbuan mainan anak dari plastik impor dari China. Belum lagi maraknya penggunaan gadget untuk main game di kalangan anak-anak.

"Pembuat dolanan anak sudah hampir punah, karena tidak bisa untuk hidup. Orangtua yang mau praktis memilih mainan plastik dengan harga murah dan lebih menarik," katanya.

Keinginan untuk melestarikan permainan tradisional sebenarnya bukan hanya sampai di situ. Upaya untuk audiensi dengan Dinas Pendidikan terkait kurikulum yang mengadopsi pembelajaran dolanan anak juga jadi agenda. Meskipun hingga saat ini upaya audiensi itu belum terealisasi.

Upaya memperkenalkan permainan tradisional di Yogyakarta sebenarnya tidak hanya lewat museum. Dusun Pandes, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, bahkan dijadikan kampung wisata dolanan anak.

Dusun Pandes yang terletak di Jalan Parangtritis Km 5 atau sekitar 25 menit perjalanan dari pusat kota Yogyakarta itu, secara kasat mata tak beda dengan dusun lainnya di Yogyakarta.

Namun, begitu masuk Dusun yang terletak di utara Kampus ISI Yogyakarta, tanda-tanda kampung wisata dolanan anak sudah mulai terlihat. Banyak petunjuk jalan yang akan mengantarkan para wisatawan untuk menuju sanggar sekaligus tempat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang memberikan pelajaran dolanan anak.

Tidak hanya itu, warga juga memproduksi dolanan anak atau permainan tradisional.

Wahyudi Anggora Hadi, tokoh masyarakat yang memelopori Dusun Pandes menjadi kampung wisata dolanan anak, mengatakan, keberadaan kampung itu tak lepas dari sejarah nenek moyang warga Pandes yang merupakan perajin dolanan anak atau permainan tradisional.

"Saya tanya kepada simbah-simbah, kenapa mereka bisa membuat dolanan anak, karena keahlian turun-temurun," kata Wahyudi ditemui di Balai Desa Panggungharjo, Kamis 2 Maret 2017.

Pada 1990-an seiring dengan mulai masuknya permainan dari China yang murah dan menarik, dolanan tradisional mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Perajin dolanan anak pun berkurang drastis di Dusun Pandes.

"Atas dasar sejarah itu, saya bersama generasi muda mencoba menghidupkan kembali dolanan anak atau permainan tradisional yang kaya dengan makna tersebut," tuturnya.

Pada 1999, muncul komunitas Pojok Budaya yang secara resmi diluncurkan pada 2007, satu tahun usai gempa bumi 2006 yang meluluhlantakkan Bantul. Dalam kondisi bencana itu sangat mudah untuk membangkitkan masyarakat kembali melestarikan dolanan anak yang hampir punah. 

"Dolanan anak kala itu juga sebagai media trauma healing bagi anak-anak," kata Wahyudi yang juga kepala Desa Panggungharjo ini.

Sekar Mirah Satriani, penggiat kampung wisata dolanan anak Dusun Pandes lainnya mengatakan, meski komunitas Pojok Budaya resmi diluncurkan, mewujudkan kampung wisata dolanan anak tidaklah mudah. Karena perajin semakin sedikit dan anak-anak saat ini lebih suka main game di gadget mereka.

"Tantangan memang berat. Namun, berkat CSR dari bank swasta terbentuk sanggar sekaligus PAUD, bisa sebagai media untuk pembelajaran bagi anak usia dini tentang dolanan anak yang hampir punah," ucap Sekar yang masih keponakan Wahyudi ini.

Mulai adanya PAUD dan wisata dengan minat khusus dolanan anak, menjadi harapan cerah bagi perajin dolanan anak yang mulai bergairah memproduksi dolanan anak seperti kitiran, payung, manukan, klunthungan, angkrek hingga wayang-wayangan.

"Minimal para perajin dolanan anak tidak lagi menjual produksinya ke pasar atau ke tempat-tempat karamaian, tapi memenuhi pesanan jika ada kegiatan outbond wisata minat khusus," ungkapnya.

Atemo Wiyono (81) salah satu perajin dolanan anak di Dusun Pandes mengaku ramainya mainan tradisional sebelum tahun 1980, hasilnya bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup.

"Kalau sekarang, memproduksi dolanan anak tak cukup untuk kebutuhan hidup. Usia saya juga sudah tua, mau jualan dolanan anak ke sekolah atau ke pasar juga sudah tak mampu," ujarnya.

Meski tak seproduktif saat usia muda, Mbah Atemo ini hingga saat ini masih memproduksi dolanan anak mulai dari payung, angkrek, kluntungan, dan manukan.

Harga yang ditawarkan, kata Atemo, relatif murah. Satu buah payung atau angkrek dijual Rp2.500. Biasanya dijual per paket Rp25.000. "Sebenarnya biaya dengan harga tak sebanding. Namun ini untuk isi waktu senggang saja," lanjut dia. (ren)

Baca juga:

Gadget Vs Permainan Tradisional

Ragam Permainan Tradisional

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya