SOROT 437

Menelisik Dunia Telik Sandi

VIVA Militer: Pesawat tempur TNI melintas dengan formasi serang di Istana Negara
Sumber :
  • Istimewa/Viva Militer

VIVA.co.id – Kala itu, menjelang pergantian tahun dari 1978 ke 1979. Tercium kabar bahwa akan terjadi pergantian pesawat tempur milik TNI Angkatan Udara.

Sosok Budi Gunawan, Kepala BIN yang Disentil Jenderal Dudung saat Tanggapi Ucapan Megawati

Hal ini sebenarnya wajar, mengingat usia pesawat tempur F-86 Sabre dan T-33 Thunderbird, keduanya buatan Amerika Serikat, makin menua. Pemerintah Indonesia dikejar waktu untuk segera mencari negara produsen yang bisa menjual pesawat dengan segera.

'Pertolongan' datang dari Amerika Serikat. Washington ternyata bisa menjual 16 unit pesawat tempur F-5 E/F Tiger II dengan diskon gede-gedean. Namun, 'bantuan' tersebut ternyata belum cukup untuk mengisi kekosongan skuadron tempur Indonesia.

Kepala BIN Budi Gunawan Respons Isu Mau Diganti Jokowi: Wah, Nggak Tahu

Di saat itulah datang informasi dari negeri nun jauh di Timur Tengah, Israel. Mereka dikabarkan ingin melepas 32 unit pesawat tempur A4 Skyhawk. Badan Intelijen ABRI atau BIA (kini Badan Intelijen Strategis/BAIS TNI) langsung bergerak mengumpulkan dan menggali data informasi secara mendalam.

Terjalinlah kontak antara BIA dan Mossad, badan intelijen Israel. Alhasil, diputuskan Indonesia berminat membeli pesawat bekas yang juga buatan Paman Sam itu. Namun ada kendala. Indonesia dan Israel tidak memiliki hubungan diplomatik. Tetapi sisi lain, TNI-AU sangat membutuhkan pesawat tempur.

Fakta-fakta Jenderal Dudung Tak Tahu Kabar Bakal Ditunjuk jadi Kepala BIN

Kepala BIA kala itu, Mayjen TNI LB Moerdani, memutuskan pembelian armada pesawat tersebut dilakukan secara klandestin (rahasia). Inilah operasi rahasia terbesar yang dilakukan ABRI. (VIVA.co.id/Muhamad Solihin)

Mabes ABRI kemudian membentuk sebuah operasi bernama Operasi Alpha (Alpha Operation). Targetnya, membawa 'merpati' (inisial untuk A4 Skyhawk) hinggap di sarangnya (Indonesia), tanpa terendus publik.

Operasi Alpha dimulai dengan memberangkatkan para teknisi Skadron Udara 11 Lanud Sultan Hasanuddin. Setelah tujuh gelombang teknisi, kemudian berangkatlah rombongan terakhir yang terdiri dari 10 penerbang yang diseleksi ketat untuk belajar mengoperasikan A4 Skyhawk.

Salah satunya Marsekal Muda (Purn) Faustinus Djoko Poerwoko (almarhum). Saat itu ia baru berpangkat letnan satu. Pembekalan langsung dilakukan di Mabes TNI-AU. Djoko dan teman-teman hanya diberitahu bahwa mereka akan berangkat ke AS untuk belajar terbang selama empat bulan. Tidak lebih dari itu.

Dari Bandara Halim Perdanakusuma, kesepuluh penerbang lalu diterbangkan menggunakan Garuda Indonesia ke Bandara Paya Lebar, Singapura. Mereka lalu diinapkan di sebuah hotel. Saat makan malam, salah seorang perwira BIA meminta paspor mereka untuk diganti dengan Surat Perintah Laksana Paspor (SPLP).


Digelandang Mossad

Saat itulah, Benny, panggilan akrab LB Moerdani, muncul di depan Djoko dan teman-temannya dan langsung memberikan perintah sebenarnya. Malam itu juga 10 penerbang diganti identitasnya. Esok hari, mereka diterbangkan ke Bandara Frankfurt, Jerman, menggunakan Boeing 747 Lufthansa.

Sampai di sana, mereka menerima boarding pass untuk penerbangan menuju Bandara Ben Gurion, Tel Aviv, Israel. Djoko dan teman-teman nampak kaget dan bingung. Ketika turun dari pesawat, tiba-tiba mereka ditangkap dan digiring petugas keamanan bandara.

Para petugas itu ternyata agen rahasia Mossad dan membawa ke ruang bawah tanah. Di ruang itu sudah ada para perwira BIA. Rupanya, mereka sengaja di-skenario-kan untuk ditangkap dan bisa lewat 'jalur khusus’ guna menghindari perhatian masyarakat.

Di situ mereka diajarkan menghafal sejumlah kalimat bahasa Ibrani. Ani tayas mis Singapore atau aku penerbang dari Singapura. Ada sapaan boken tof berarti selamat pagi. Selanjutnya, melakukan perjalanan darat menuju selatan, menyusuri Laut Mati.

Setelah dua hari perjalanan, tibalah di kota Eliat. Di sana terdapat pangkalan tempur besar di sebelah barat kota tersebut. Uniknya, pangkalan itu tidak pernah memiliki nama pasti, hanya berupa angka dan bisa berubah setiap waktu.

Sesuai kesepakatan, tempat ini disebut ‘Arizona’. Sebab, dalam skenario awal pendidikan, dalam isi surat perintah disebutkan berlatih terbang di Arizona, AS. Mabes TNI-AU juga mengetahui kalau personelnya melanjutkan pendidikan di sana.

Singkatnya, Djoko dan teman-teman dilatih tempur seperti menembak sasaran dan menembus pertahanan/negara lawan tanpa diketahui. Latihan terbang berakhir 20 Mei 1980, setelah itu mereka berangkat ke New York, AS, sebelum kembali ke Indonesia.

Namun, sebelumnya pada 4 Mei, persis sehari sebelum pesawat C-5 Galaxy AU AS mendarat di Lanud Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur, mengangkut F-5 E/F Tiger II, paket A4 Skyhawk gelombang pertama - terdiri dua pesawat single seater dan dua double seater tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Pesawat-pesawat ini diangkut dengan kapal laut langsung dari Israel, dibalut plastik pembungkus, cocoon, berlabel F-5. Dengan demikian, seakan-akan satu paket proyek kiriman pesawat terbang namun diangkut dengan media transportasi berbeda.

Gelombang demi gelombang pesawat A4 Skyhawk akhirnya datang ke Indonesia setiap lima minggu, hingga lengkap 32 unit sekitar September 1980, dan sudah dipersenjatai. Hal ini berbeda dengan F-5 yang masih belum dilengkapi persenjataan.

Puncaknya, A4 Skyhawk tampil ke publik kali pertama pada Perayaan HUT ABRI 5 Oktober 1980, saat melakukan fly pass bersama F-5. Hingga kini, Mabes TNI-AU tidak pernah mengakui Operasi Alpha pernah terjadi.

Itulah kisah sukses operasi intelijen yang diungkap Djoko di dalam buku biografinya "Menari di Angkasa", 2007.

Melanggar Hukum

Intelijen atau telik sandi merupakan salah satu bagian penting dalam sebuah negara. Intelijen berfungsi sebagai mata dan telinga negara untuk menentukan sebuah kebijakan. Intelijen sendiri terbagi menjadi dua jenis, sipil dan militer.

Intelijen juga merupakan “nafas utama” negara. Oleh karena itu, sepak terjangnya tak boleh diungkap, baik saat bertugas maupun tidak. Penyelesaian tugas yang tanpa diketahui merupakan sebuah keberhasilan mutlak.

Menjadi seorang agen atau mata-mata bukan perkara mudah. Mereka pilihan. Terbaik di antara yang paling baik. Agen pun terbagi lagi. Warga lokal dan warga asing. (REUTERS/Kacper Pempel)

Mantan Kepala BAIS TNI, Laksda (Purn) Soleman B Ponto mengatakan, apa yang menimpa Siti Aisyah (25) di Malaysia adalah pola kerja intelijen dalam menjalankan operasinya yang selalu terputus.

“Itu ciri khas intelijen dalam bekerja. Intelijen itu bersel-sel atau terputus, sehingga kalau ada perintah dari atas ke bawah, maka yang di bawah pasti tidak tahu atasnya,” ujarnya kepada VIVA.co.id,  Jumat 24 Februari 2017.

Menurut dia, Siti bekerja di paling ujung. Artinya langsung eksekusi target, sehingga dirinya tidak tahu kalau sedang diperalat intelijen asing. Dalam operasi intelijen siapa pun bisa dimanfaatkan, bahkan hantu sekali pun.

"Dia pasti tidak tahu apa yang diperbuat. Dia kira itu main-main, tak tahunya matiin orang. Dan ternyata yang dibunuh salah satu keluarga pemimpin Korea Utara. Mana tahu apalagi kenal dia siapa itu Kim Jong-nam," ujarnya menambahkan.

Ia mengatakan, jika melihat kasus Siti, operasi intelijen dilakukan secara berlapis, sehingga kalau ada yang tertangkap maka yang mengoperasikan pasti tidak terungkap.

Soleman menjelaskan, dalam sebuah operasi intelijen pasti ada yang terbunuh, ada yang dibunuh, dan ada yang membunuh. "Itu biasa saja. Lumrah. Kalau kasus Siti ini menurut saya bernasib apes saja. Dia salah karena dia tidak tahu," ujarnya menerangkan.

Mengenai fungsi dan peran intelijen, Soleman membaginya menjadi dua. By Law dan Bye on The Law. Ranah intelijen ada di poin kedua atau Bye on The Law. Jadi, tidak mungkin dalam bernegara itu bekerja hanya sesuai dengan hukum yang berlaku.

"Ada suatu saat pekerjaan di luar hukum. Itulah ruang main intelijen. Makanya, seorang intelijen itu dipilih dan dididik memang untuk melanggar hukum. Mana ada intelijen taat hukum? Itu bukan dunia kita," ujarnya menjelaskan.

Dalam dunia intelijen juga perlu menerapkan teknik elisitasi, yaitu cerdas mendapatkan data dan informasi dari orang lain tanpa disadari oleh yang bersangkutan. Teknik ini biasanya terjadi di ranah atase pertahanan kedutaan besar. Soleman pun memberi contoh.

"Misalnya, saya janjian mau ketemu dengan atase pertahanan lain. Pastinya, mereka juga akan mencari sesuatu dari saya. Di situlah permainannya," ujarnya menuturkan.

Ia melanjutkan, antara kedua atase saling mencari dan mendapatkan informasi masing-masing. Kalau salah satunya nihil, maka pertemuan batal. Begitu pula sebaliknya. "Itulah peran intelijen, siapa mendapatkan apa. Tidak mudah memang menjadi seorang mata-mata."

Gagal Dicaci, Hilang Tak Dicari

Mantan Dansuspa Intelstrat BAIS TNI, Kolonel (Purn) Fauka Noor Farid mengatakan, merekrut agen yang terpenting adalah tujuannya untuk apa. Sebab, seorang agen adalah orang yang digunakan, sedangkan yang merekrut adalah pengguna.

“Kita direkrut apakah untuk membunuh, atau hanya untuk tujuan spionase (mata-mata). Jadi, tergantung dari tujuannya,” kata Fauka kepada VIVA.co.id, Kamis 23 Februari 2017

Ia mengatakan, pemanfaatan warga negara asing untuk melancarkan operasi intelijen, adalah salah satu hal yang umum dilakukan. Mantan anggota Tim Mawar Grup IV Kopassus ini menjelaskan, kalau tidak bisa membunuh dengan tangan sendiri, maka ‘dipakailah’ agen atau tangan orang lain.

Jika operasi pembunuhan terhadap seseorang di negara lain tidak bisa dilakukan oleh agen intelijen dari negara bersangkutan, maka cara yang bisa ditempuh adalah merekrut agen yang merupakan warga negara dari lokasi sang target berada.

Ia pun bersedia menceritakan seluk-beluk merekrut seorang agen yang berstatus warga negara asing. Menurut Fauka, hal itu bisa dilakukan melalui observasi yang mendalam terhadap calon agen. Misalnya, seseorang yang ingin direkrut harus berkarakter khusus.

"Kalau tujuannya membunuh, maka karakter dia harus berani. Kemudian, dilihat latar belakang keluarganya. Baru lah didoktrin, dibentuk. Kalau dia sudah matang langsung terjun ke lapangan,” ujarnya menjelaskan.

Menurut dia, cara lain untuk memotivasi calon agen untuk melakukan pembunuhan demi pemerintahan negara lain, adalah dengan uang. "Dengan janji akan diberikan uang dalam jumlah besar, maka seseorang bisa dimanfaatkan untuk membunuh,” ujarnya menambahkan.

Fauka juga mengaku jika banyak warga Indonesia yang telah direkrut oleh agen intelijen asing, untuk melakukan operasi-operasi intelijen yang menguntungkan pemerintahan negara lain. Meski begitu ia enggan menjelaskan.

“Jadi agen itu mutlak harus menjaga rahasia sekeras-kerasnya. Sampai mati tidak akan membongkar rahasia. Bahkan, ada motto di intelijen, ‘berhasil tidak dipuji, gagal dicaci-maki, dan hilang tak dicari,” ujarnya.

Karena kerahasiaan tingkat tinggi ini, keluarga pun tidak diperkenankan mengetahui profesi seorang agen. “Istri tidak pernah tahu kalau saya jadi agen. Kita sembunyikan dari keluarga karena risikonya sangat tinggi. Terkadang, ada satu-dua, ya, oknum yang tidak bisa menjaga kerahasiaan.”

Singapura, Gudang Informan Intelijen

Mantan Penasihat Menteri Pertahanan Bidang Intelijen era Matori Abdul Djalil (Alm), Marsda (Purn) Prayitno Ramelan mengatakan, Singapura adalah negara yang memiliki informan intelijen paling lengkap.

Menurut Pray, sapaan akrab Prayitno, Negeri Singa membina informan-informannya mulai dari level pekerjaan paling bawah, seperti supir taksi di bandara atau petugas kebersihan. Mereka kemudian dibuat berkelompok.

“Kelompok ini yang melapor ke atasannya, yaitu handler atau pengendali. Dari situ akan dilaporkan lagi ke tingkat yang lebih tinggi. Jadi, beda antara informan dan intelijen,” kata Pray kepada VIVA.co.id, Jumat 24 Februari 2017.

Intelijen punya kemampuan yang berkaitan dengan teknik intelijen. Kalau informan hanya dapat instruksi mencari keterangan atau data tertentu. (REUTERS/Aly Lagu)

Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, semua yang berbau mata-mata sudah diatur dalam UU Intelijen No.17/2011. Secara prinsip, fungsi intelijen adalah melalukan deteksi dini dari berbagai ancaman keamanan nasional.

Soal pola perekrutan, saat ini di Indonesia sudah mulai ditata, dan berbeda jauh di era Orde Baru dahulu. “Sekarang kita punya sekolah intelijen di Sentul, Bogor. Di sana tempat membangun kualitas intelijen yang mumpuni dan profesional serta menghindari pola intelijen represif ala Orde Baru,” ujar Al Araf kepada VIVA.co.id, Jumat 24 Februari 2017.

Meski begitu, lantaran baru menata, Badan Intelijen Negara (BIN) belum bisa dikatakan sepenuhnya profesional. Sehingga, belum bisa disejajarkan dengan CIA milik AS, MI6 Inggris, FSB Rusia maupun Mossad Israel.

“Secara keseluruhan, intelijen yang paling ditakuti saat ini masih sekitar Amerika, Rusia, Israel, dan Inggris. Itu karena didukung oleh kualitas dan kompetensi sumber daya intelijennya profesional dan memiliki keahlian serta kecerdasan,” ujarnya menambahkan.

Selain itu, teknologi intelijen yang modern, dukungan anggaran negara kuat, proses perekrutan dan pelatihan yang baik, serta pengalaman operasi intelijen di berbagai negara, merupakan faktor-faktor yang membuat sebuah lembaga intelijen disegani dan ditakuti. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya