SOROT 425

La Nina Menikam Perut

Petugas TNI mencari korban bencana banjir bandang di Garut, Jawa Barat. Foto: ANTARA/Wahyu Putro A
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA.co.id – Ketakutan bercampur panik mengumpul di kepala Entin. Gelombang air pekat berwarna cokelat dengan cepat menerjang rumahnya. Dalam sekejap, semua barang tersapu air bah, termasuk kasur bayi laki-laki Entin.

Golkar dan Gerindra Sepakat Rekomendasikan Ridwan Kamil untuk Pilkada DKI

Setengah mati, Entin berusaha menggapai kasur yang berisi bayi laki-lakinya yang baru berusia delapan bulan tersebut. Namun sial, air yang meruah tak memberi ruang sedikit pun.

Genangannya terus meninggi hingga ke leher Entin. Ditambah lagi dengan hantaman gelombangnya yang begitu kuat. Perempuan berusia 35 tahun itu pun sulit bergerak.

Tahapan Pilkada Jakarta 2024: Pendaftaran Paslon Dibuka 27 Agustus

Hari itu, Selasa, 20 September 2016, menjadi malam yang tak terlupakan bagi Entin dan warga di Kampung Cikisik, Kelurahan Sukajaya, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Saat itulah, Sungai Cimanuk mengamuk. Muntahan airnya merobohkan rumah-rumah dan segala yang ada di depannya.

"Hampir setengah jam lamanya baru bisa menggapai kasur (bayinya) yang mengapung di atas derasnya air Sungai Cimanuk," kenang Entin.

Isu Kaesang Maju Pilgub DKI, Demokrat Masih Lihat-lihat

Ya, Tuhan memang masih berkehendak, Entin dan bayinya selamat. Malam itu, dengan tergopoh-gopoh dan semangat hidup tersisa, Entin pun memaksa diri menembus hempasan banjir.

"Saya berusaha menggendong anak, hingga terpaksa mengangkat anak saya di atas kepala," tutur Entin.

Tekadnya pun berbuah pertolongan. Rupanya ada tetangga yang melihat Entin yang timbul tenggelam dengan bayi delapan bulan di kepalanya sedang menembus banjir. Ia pun berhasil diselamatkan dan dibawa menjauh dari lidah air yang mengerikan.

"(Kini) Saya tidak memiliki apa-apa lagi, perabotan rumah tangga, pakaian, dan benda berharga lainnya lenyap dalam hitungan beberapa menit," kata Entin dengan air mata berlinang.

Petugas PMI menggunakan kendaraan Haglund di lokasi banjir Garut

Petugas PMI menggunakan kendaraan Haglund di lokasi bencana banjir bandang aliran Sungai Cimanuk di Kampung Cimacan, Tarogong, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Jumat (23/9/2016). Foto: ANTARA/Wahyu Putro A

Tahun ini, diakui bencana banjir bandang di Garut memang menjadi sorotan. Korban meninggal akibat kejadian ini bahkan mencapai 54 orang dan hanya 38 di antaranya yang ditemukan jasadnya. Sementara itu, sisanya 16 orang lagi tak diketahui rimbanya.

Bupati Garut Rudy Gunawan menyebut kejadian banjir bandang tahun ini memang luar biasa setelah terakhir terjadi pada 1919. Kata Rudy, hempasan air yang merangsek masuk ke permukiman bahkan mencapai 1.300 mililiter per detik, hampir 13 kali lipat dari debit normal Sungai Cimanuk yang hanya antara 40-100 mililiter per detik.

"Jadi memang bencana sudah tak bisa dihindari. Dulu tahun 1919 silam, banjir bandang terjadi, hutan dalam kondisi masih hijau," kata Rudy.

Longsor dan Banjir Mematikan
Sejak lama, Indonesia memang sudah dikenal sebagai negara rawan bencana. Segala macam bencana mulai dari gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, kemarau, banjir, longsor hingga kebakaran hutan menjadi hal yang sering ditemui.

Namun, dari sekian banyak bencana itu, hanya banjir dan longsor yang paling membahayakan dan memakan banyak korban jiwa serta terus berulang di Indonesia.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) untuk tiga tahun terakhir, 2014-2016, longsor menjadi bencana paling mematikan.

Dalam laporan akhir tahun 2014 BNPB, terjadi 1.475 bencana alam. Jumlah itu menurun dibanding tahun 2013 yang mencapai 1.674 bencana.

Namun, pada 2014 itu, tercatat tanah longsor menjadi bencana paling banyak terjadi, yakni 413 kali. Diikuti puting beliung 296 kali dan banjir sebanyak 458 kali. Sisanya baru kebakaran hutan dan lahan yang mencapai 35 kali.

Bergeser pada 2015. BNPB mencatat ada 1.582 bencana, angka ini turun 20 persen dari 2014. Tercatat, longsor masih terjadi, banjir dan puting beliung menjadi bencana paling merugikan serta mematikan.

Tercatat, 64 persen korban tewas akibat longsor. "Bencana itu menyebabkan 240 orang tewas dan 1,18 juta orang mengungsi," kata Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB Sutopo Purwo Nugroho, akhir tahun lalu.

Pada 2016, kejadian bencana alam meningkat drastis. Data BNPB hingga November 2016, setidaknya telah terjadi 2.100 kejadian bencana. Data terakhir pada Oktober. Sementara itu, total korban meninggal dan hilang mencapai 478 orang.

Untuk korban menderita mencapai 2,4 juta orang di seluruh Indonesia. Kembali tercatat bahwa bencana banjir, tanah longsor serta puting beliung memuncaki kejadian bencana.

"Tahun ini memang jumlah kejadian bencana paling banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, ini rekor paling banyak, mencapai 2.100 lebih," kata Sutopo, Kamis, 1 Desember 2016.

Tahun 2014

Kejadian: 1.475
Banjir: 458
Banjir dan longsor: 33
Tanah longsor: 413
Puting beliung: 296
Korban tewas: 566 orang
Mengungsi: 2,66 juta jiwa

Tahun 2015

Kejadian: 1.681
Banjir: 492
Banjir dan longsor: 31
Tanah longsor: 501
Puting beliung: 561
Korban tewas: 259 orang
Mengungsi: 1,23 juta jiwa

Tahun 2016 (November)

Kejadian: 2.175
Banjir: 713
Banjir dan longsor: 60
Puting beliung: 608
Tanah longsor: 552
Korban tewas: 567 orang
Mengungsi: 2,8 juta jiwa

Menurut Sutopo, berdasarkan analisis BNPB, dipastikan 95 persen kejadian bencana di Indonesia  didominasi oleh bencana Hidrometeorologi, yakni bencana yang dipengaruhi oleh cuaca seperti banjir, longsor, kekeringan, puting beliung, cuaca ekstrem, dan lain sebagainya.

"Paling banyak terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat," kata Sutopo.

Proses pencarian korban longsor di Karanganyar

Relawan dari SAR, TNI, Polri dan warga berusaha mencari korban longsor di Tegalsari, Bulurejo, Karangpandan, Karanganyar, Jawa Tengah, Rabu (30/11/2016). Foto: ANTARA/Maulana Surya

Hasil analisis menunjukkan, penyebab tingginya bencana Hidrometeorologi di Indonesia ditengarai oleh tingginya curah hujan. Bahkan, saking tingginya curah hujan pada 2016, hampir tidak terjadi masalah kemarau seperti pada 2015.

Kondisi yang sempat menyebabkan krisis air dan kebakaran hutan dan lahan yang hebat di sejumlah wilayah Indonesia.

"Tahun 2016, kalau bicara kejadian memang banyak. Tapi kerugian ekonominya turun. Tahun 2015, meski sedikit, tapi terjadi bencana El Nino (kemarau panjang). Kerugian mencapai Rp221 triliun," kata Sutopo.

Sejauh ini, BNPB belum merilis total kerugian akibat bencana pada 2016. Namun, diperkirakan memang jauh menurun dibandingkan dengan kerugian pada 2015 akibat El Nino.

"Kami belum mendata total. Tapi, kalau dikalkulasi, total kerugian bencana-bencana, rata-rata sekitar Rp30 triliun per tahunnya," kata Sutopo.

Prakiraan 2017
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), merujuk pada kondisi cuaca pada 2016 yang didominasi hujan hingga Desember, maka sisa hujan diperkirakan masih terjadi hingga Januari dan Mei 2017.

"Puncak musim hujan akan terjadi para periode bulan Desember-Januari-Februari. Sifat hujan berada sedikit di bawah normal, artinya curah hujan pada periode tersebut sedikit lebih rendah dari kondisi normalnya," kata Kepala Bagian Humas BMKG, Hary Tirto.

Meski begitu, Tirto tetap mengingatkan bahwa sepanjang 2017, hujan dengan intensitas sedang dan durasi lama harus tetap diwaspadai. Karena, hujan tersebut dapat memicu terjadinya ancaman bencana banjir dan longsor atau bencana hidrometeorologi lainnya.

"Masyarakat diminta meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi hal ini. Pantau informasi cuaca BMKG dan peringatan dini banjir dan tanah longsor," kata Tirto.

Sementara itu, Sutopo menyebutkan, berdasarkan kebiasaan, kemungkinan pada 2017, bencana yang berkaitan dengan hidrometeorologi akan menurun. Mengingat pada 2016, La Nina memang sudah mendominasi.

"Kemungkinan tahun 2017 terjadi penurunan kejadian bencana hidrometeorologi. Tapi, kalau bencana geologi, kami tidak bisa memprediksi atau memperkirakannya secara pasti. Karena gempa, tsunami itu kami tidak bisa prediksi," kata Sutopo.

Budaya Sadar Bencana
Lantas, apa yang harus dilakukan masyarakat untuk bersiap menghadapi bencana? Jika merujuk pada data BNPB, fakta memang menunjukkan bahwa ada tiga bencana alam yang patut menjadi prioritas publik dan pemerintah di Indonesia.

Bencana itu meliputi banjir, tanah longsor, dan puting beliung. Dan tentunya, yang paling banyak memakan korban adalah bencana banjir dan longsor. Sebab, kejadian ini sering berdampak luas dan kerap berulang.

Banjir bandang Garut, sebagai bencana terdekat yang masih bisa menjadi catatan. Ditunjukkan bahwa banjir yang ditengarai oleh meluapnya Sungai Cimanuk itu terjadi pada Selasa malam, 20 September 2016.

Banjir disebabkan oleh buruknya kondisi hulu sungai. Aktivitas illegal logging, perambahan dan perubahan fungsi kawasan juga menjadi akar masalah banjir bandang Garut.

"Tahun 2015, kami memperoleh data kegiatan illegal logging sudah mencapai 600 hektare lahan rusak (di hulu Sungai Cimanuk)," kata Ketua Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) Garut, Mohamad Aip Rizik.

Akibat itu, kemudian di Garut tidak ada lagi daerah resapan air yang memadai ketika hujan deras melebihi normal. Air pun meruah tak tertampung lagi di sungai dan kemudian menerjang permukiman.

Dan tentunya, Aip melanjutkan, rusaknya kawasan hulu itu disebabkan buruknya kepatuhan pemerintah setempat atas penetapan kawasan yang sesuai fungsinya.

"Sebanyak 81 persen kawasan Garut adalah hutan lindung dan konservasi. Jadi harus menerima takdir, sehingga jangan sampai ada perda yang dilabrak," kata akademisi Universitas Garut Abdusy Syakur Amin.

Pendapat Sutopo, secara prinsip yang harus diwaspadai secara menyeluruh adalah upaya menata ulang ruang untuk penanganan daerah yang rawan banjir dan longsor.

Sebab, saat ini setidaknya ada 40,9 juta orang Indonesia tinggal di daerah rawan longsor dan sebanyak 60,4 juta jiwa berada di kawasan rawan banjir.

"Oke lah, katakan itu sudah telanjur, ada 40,9 juta yang tinggal di daerah rawan longsor, tapi ke depan itu kita jangan mengulang lagi dengan membiarkan masyarakat berkembang di tempat-tempat yang rawan. Artinya tata ruang harus diatur," katanya.

Sementara itu, untuk masyarakat, Sutopo pun mengingatkan agar publik perlu meningkatkan kemampuan mitigasi mereka. Sebab orang Indonesia masih belum memiliki budaya sadar bencana yang baik.

Kondisi terbaru Sungai Cimanuk di Garut, Jawa Barat

Kondisi terbaru Sungai Cimanuk di Garut, Jawa Barat. Foto: VIVA.co.id/Diki Hidayat

Paling sederhananya, kata Sutopo, adalah dengan memperhatikan imbauan dari BMKG soal prakiraan cuaca. Sebab faktanya, banyak masyarakat justru mengabaikan soal ini.

"Ramalan cuaca BMKG semakin hari mendekati akurat. Tapi, respons masyarakat minim. Sudah tahu akan terjadi hujan lebat tapi masih keluar rumah. Nah hal-hal seperti ini yang harus diantisipasi masyarakat," kata Sutopo.

Apa pun itu, kondisi cuaca saat ini memang tak lagi seragam seperti tahun-tahun lalu. Perubahan iklim yang menyentuh seluruh dunia kini mengubah segalanya. Dampak terburuk dari itu selain bencana adalah ancaman menurunnya produktivitas tanaman pangan.

Akibatnya, perubahan kondisi cuaca dan iklim jelas akan mengganggu siklus hidup tanaman, khususnya yang berhubungan dengan pangan. Tak cuma itu, hal yang juga perlu dikhawatirkan adalah meningkatnya tren infeksi hama dan penyakit tanaman.

“Perubahan iklim dapat memicu gagal panen, karena petani kini sulit menemukan waktu yang tepat untuk menanam tanamannya, karena cuaca yang tidak menentu,” kata Kepala Research Center for Climate Change Universitas Indonesia, Jatna Supriyatna, akhir tahun lalu.

Dan sekali lagi yang paling menakutkan adalah dampak dari tidak terjaganya ketahanan pangan. Karena, jika memang prediksi tidak meleset, maka pada 2050, jumlah penduduk dunia akan mencapai 6 miliar orang termasuk Indonesia yang dihitung akan mencapai 350 juta jiwa.

Rapuhnya ketersediaan pangan jelas menjadi ancaman menakutkan. Ini ibarat La Nina atau El Nino yang kemudian menikam perut sendiri. Atas itu, kini penting bagi Indonesia untuk bersiaga menyikapi perubahan iklim tersebut.

"Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim agar produksi pangan di Indonesia tetap berlanjut mengalami peningkatan adalah melalui upaya penggunaan teknologi adaptasi," kata Kepala Bidang Ketahanan Pangan dan Pembangunan Daerah tertinggal Kedeputian Perekonomian Sekretariat Kabinet Oktavio Nugrayasa.

Adaptasi itu berupa penyesuaian pola tanam, penggunaan varietas unggul, dan teknologi pengelolaan air. "Misalnya,  teknologi panen hujan, yaitu prinsipnya menampung kelebihan air hujan dan memanfaatkannya pada musim kemarau dalam mengairi tanaman dengan pembuatan embung dan parit," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya