SOROT 425

Magnet Pilkada dan Kontroversi Ahok

Aksi Damai 212 di Monas beberapa waktu silam.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

VIVA.co.id – Hujan yang mengguyur tak menyurutkan langkah pria itu melangkahkan kaki. Berpayung biru, berkoko putih, langkahnya mantap. Jumat, 2 Desember 2016. Presiden Joko Widodo turut serta salat Jumat yang digelar di lapangan Monas sebagai rangkaian aksi super damai 212 umat Islam menyuarakan aspirasi agar Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama dipenjara atas tuduhan menista agama.

Ogah Usung Anies di Pilgub Jakarta, Gerindra: Kita Punya Jagoan Lebih Muda dan Fresh

Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, serta sejumlah menteri kabinet berbaur dengan massa. Mereka bersama-sama melakukan ibadah salat Jumat dan doa bersama untuk kebaikan negeri.

Usai salat, Presiden Jokowi menyampaikan sambutan. Jokowi mengucapkan salam kepada para kiyai, ulama dan habib yang hadir. "Terima kasih atas doa dan zikir yang telah dipanjatkan untuk keselamatan bangsa dan negara kita," ujar Presiden Jokowi.

Gerindra Siapkan Kader Internal yang Potensial Menang di Pilkada Jakarta

Setelah itu Jokowi mengumandangkan takbir "Allahu Akbar" sebanyak tiga kali dan diikuti takbir yang sama oleh massa. "Saya ingin memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya karena seluruh jemaah yang hadir dalam ketertiban sehingga semua acaranya dalam keadaan baik," kata Presiden.

Ia meminta agar para jemaah yang hadir setelah itu bisa kembali dengan selamat ke daerah masing-masing. "Terima kasih dan selamat kembali ke tempat asal masing.”

KPU DKI Sudah Antisipasi Banjir saat Proses Pemungutan Suara Pilgub 2024

Aksi super damai 212 itu aksi ketiga setelah sebelumnya mereka menggelar serupa pada 14 Oktober dan 4 November. Semuanya digelar pada hari Jumat. Tuntutannya pun sama: Tangkap Ahok.

Pidato Singkat, Jokowi Temui Aksi Bela Islam III atau Aksi Damai 212

Presiden Joko Widodo didampingi Wapres Jusuf Kalla, Menko Polhukam Wiranto dan Menag Lukman Hakim Saifuddin menyapa massa Aksi Bela Islam III di kawasan silang Monas, Jakarta, Jumat 2 Desember 2016. Foto: VIVA.co.id/Muhamad Solihin

Muaranya, Ahok dinilai menista agama karena pernyataannya saat berdialog dengan warga di Pulau Pramuka pada 27 September 2017 lalu. Saat berdialog dengan warga, Ahok mengatakan bahwa program pemberdayaan kerapu di Kepulauan Seribu akan tetap berlanjut, meski ia tak terpilih lagi menjadi Gubernur DKI. Namun, Ahok spontan menyebut Alquran Surat Al Maidah yang kerap dijadikan dalih lawan politiknya untuk tidak memilih pemimpin nonmuslim. Kini, Ahok menyandang status tersangka dalam kasus itu.

Setelah Ahok menyandang status tersangka, aktivitasnya berkampanye sempat terganggu. Sejumlah aksi pengadangan terjadi saat Ahok dan pasangannya, Djarot Saiful Hidayat, berkampanye. Namun, aksi pengadangan itu telah berhasil ditangkal aparat karena terkategori pidana.

Kasus penistaan agama itu mencuat di saat Ahok harus berjibaku untuk kembali menduduki kursi Gubernur Ibu Kota. Sebagai petahana bersama Djarot, Ahok ditantang putra Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Yudhoyono, yang berpasangan dengan Birokrat DKI Sylviana Murni dan mantan Mendikbud Anies Baswedan yang bersanding dengan pengusaha Sandiaga Uno.

Meskipun kasus Ahok berdekatan atau bertepatan momen Pilkada, pengamat politik mengingatkan sebaiknya memandangnya secara terpisah. ”Saya agak susah jawabnya itu, karena berhimpitan memang. Tapi sebaiknya kita coba pisahkan proses hukum dengan pelaksanaan Pilkada,” kata Pengamat Politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes.

Arya mengungkapkan, pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan pemilihan yang paling demokratis dan sejauh ini tidak ada masalah yang cukup signifikan. Menurutnya, pelaksanaan Pilkada serentak itu tidak bisa disatukan dengan kasus hukum Ahok. Pilkada bisa tetap berjalan sesuai dengan prosesnya, begitu juga proses hukum terhadap kasus dugaan penistaan agama tetap berjalan.

Memang pada saat yang sama Ahok itu memang juga peserta dalam pilkada serentak ini, dia menilai masyarakat sudah semakin dewasa berpolitik. ”Jadi saya kira proses Pilkada akan tetap berjalan, dan proses hukum akan tetap berjalan juga. Sampai sekarang saya masih optimis bahwa Pilkada akan berjalan dengan baik dan lancar ke depan,” kata Arya.

Pengaruhi Pilkada

Ubedillah Badrun, Direktur Puspol Indonesia, menilai kasus Ahok yang ramai pada 2016 sesungguhnya murni problem hukum, tetapi karena momentumnya menjelang Pilkada maka sedikit banyak memengaruhi dinamika politik Pilkada. ”Terutama terkait menurunnya angka elektabilitas Ahok,” ujarnya.

Komisioner Komisi Pemilihan Umum Fery Kurnia Rizkiansyah menilai, situasi politik saat ini masih kondusif. Kasus Ahok pun tidak akan mengganggu Pilkada karena menurutnya, tidak ada hubungannya. ”Dua sisi yang berbeda, tidak ada masalah, tahapan masih on the track.”

Dia yakin, kondisi politik saat ini tak akan menjadi masalah saat pencoblosan nantinya pada Februari 2017.  Dia berharap, kasus itu tidak memengaruhi proses yang ada.

”Kalau memang ada kasus, kan itu bisa diselesaikan sesuai prosedur yang ada, tidak akan pengaruh ke proses Pilkada, pesta demokrasi ini tetap jalan. Kita akan berjalan sesuai tahapan, meski kasus Ahok diputus sebelum atau sesudah pencoblosan,” ujarnya.

KPU menilai, secara umum sejauh ini tahapannya berjalan lancar. Belum ada hambatan yang berarti, kecuali memang masih ada 16 daerah yang sedang sengketa pencalonan di Pengadilan Tata Usaha Negara. ”Nah itu saja nanti yang akan kita tunggu,” ujar Fery.

Soal daftar pemilih itu juga menjadi perhatian KPU yang tengah memprosesnya menjadi Daftar Pemilih Tetap. Ada beberapa yang perlu divalidasi karena ada data-data ganda, itu sedang dirapikan oleh internal KPU, itu akan cepat. ”Kalau untuk eksternal kaitannya dengan dukcapil Kemendagri terkait KTP elektronik,” katanya.

Pengundian Nomor Urut Cagub-Cawagub untuk Pilkada DKI Jakarta

Tiga pasangan Calon Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta menunjukkan nomor urut saat rapat pleno pengundian nomor urut Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI di Jakarta, Selasa 25 Oktober 2016. Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak

Pengamat Politik dari Universitas Padjadjaran, Idil Akbar, mempertanyakan kenapa hanya Pilkada Jakarta saja yang dihebohkan. Padahal, ada 101 daerah lain yang juga menggelar Pilkada serentak 2017.

”Ini timbulkan pertanyaan besar, ada banyak daerah yang Pilkada tapi Jakarta jadi perhatian besar,” kata Idil kepada VIVA.co.id.

Idil menilai, fenomena hebohnya Pilkada Jakarta dan sepinya Pilkada daerah lain dari ruang publik baik di media dan media sosial merupakan fenomena sentralisasi politik kekuasaan karena Jakarta menjadi barometer. Personifikasi dan dinamika serta pencitraan oleh berbagai stakeholder serta kecenderungan media memberikan porsi pemberitaan membuat masyarakat tersedot ke Jakarta.

”Ini tak bagus bagi perkembangan demokrasi Indonesia secara keseluruhan,” kata Idil.

Realitas itu membuatnya khawatir ada pandangan bahwa pemerintah cenderung abai dengan perkembangan demokrasi daerah lain. Menurutnya, tidak menutup kemungkinan daerah akan marah karena berpikir kenapa hanya Jakarta saja yang diperhatikan.

”Contohkan Provinsi Bangka Belitung salah satu yang ikut Pilkada serentak 2017. Tapi sampai sekarang adem ayem saja seolah tidak akan ada Pilkada di sana. Jadi seperti air mengalir orang tak begitu fokus. Dulu tiap daerah punya kekhasan masing-masing. Ini harus jadi perhatian bersama kita,” ujarnya.

Isu Makar

Sepanjang 2016, Presiden Jokowi dinilai berhasil menyolidkan partai-partai pendukungnya. Itu terlihat kini di parlemen relatif tidak ada gangguan yang serius, bahkan dukungan dari partai politik kepada pemerintah sudah mencapai 60% lebih dari total kursi di DPR. ”Jadi pada pada level eksekutif maupun legislatif relatif tidak ada apa-apa yaa,” ujar Arya, peneliti CSIS.

Berdasarkan datanya, tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi naik dibandingkan tahun sebelumnya. Jokowi juga dinilai mulai bisa menunjukkan power-nya sebagai seorang presiden. Dalam proses perombakan kabinet misalnya, proses pergantian menteri lebih dominan di lakukan atas dasar evaluasi kinerja menteri, sementara dalam penentuan menteri pada saat pertama itu kan memang berdasarkan kompromi partai politik. Di saat bersamaan, relasi politik Jokowi terhadap partai-partai politik tidak ada permasalahan serius.  

”Yang akan menjadi catatan serius menurut saya ke depan adalah proses kontrol di DPR yang mulai lemah,” kata Arya. Kontrol parlemen berpotensi melemah karena dukungan terhadap pemerintah akan lebih dominan lebih di atas 60 persen dari total kursi di parlemen. Kondisi itu berpotensi membuat partai-partai oposisi suaranya kemungkinan tidak akan terdengar atau tidak terlalu kritis.

Arya juga melihat lemahnya kontrol dari kalangan masyarakat sipil. ”Saya melihat evaluasi dari kelompok-kelompok masyarakat sipil kecenderungannya tidak semasif di masa pemerintahan SBY,” ujarnya.

Melihat kuatnya posisi Presiden Jokowi tersebut, Arya menilai mustahil bila ada upaya makar bakal berhasil dilakukan saat ini. Dalam konstitusi, usaha untuk memakzulkan Presiden itu sangat  berat. Bahkan untuk memperoleh dukungan dari parlemen untuk memakzulkan dari DPR saat ini sudah dipastikan sangat sulit. Menurutnya, mustahil itu dilakukan sekarang ini dengan kekuatan yang dominan di DPR kini dikuasai oleh partai-partai pendukung pemerintah.

“Dalam Undang-Undang Pasal 7, sangat sulit [pemakzulan] itu dilakukan. Dia harus melalui persetujuan paripurna DPR, kemudian dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Setelah itu dibawa lagi ke rapat paripurna DPR,” kata dia.

Terkait adanya penangkapan sejumlah tokoh terkait dugaan upaya makar, Arya memilih tak mengomentari. Dia mengaku belum mengetahui persis kasusnya sehingga lebih baik menunggu proses hukum yang dilakukan kepolisian.

Rachmawati Soekarnoputri ditangkap karena dituduh makar

Rachmawati Soekarnoputri ditangkap karena dituduh makar. Foto: Istimewa

Idil Akbar, Pengamat Politik dari Universitas Padjadjaran, menilai tidak ada celah untuk menjatuhkan presiden saat ini. Dijelaskannya, hal yang bisa membuat presiden dijatuhkan ada tiga, yakni melanggar konstitusi, melakukan perbuatan asusila, atau korupsi.

”Itu agak susah. Kecuali ada semacam kudeta politik atau people power yang luar biasa seperti 1998,” ujarnya.

Sementara itu, Ubedilah Badrun menilai Presiden Jokowi tampak galau dan kehilangan kontrol dalam sejumlah keterangan persnya ketika menyebut ada aktor politik di balik aksi 4 November. Pernyataan tersebut kemudian disusul dengan pernyataan Kapolri yang menyimpulkan ada upaya makar atau upaya memakzulkan Presiden.

”Respons Jokowi yang menyebut ada aktor politik tersebut menunjukan Jokowi galau dan tergesa-gesa mengambil kesimpulan,” ujar Ubed.

Dia menilai, situasi politik sepanjang tahun 2016 diwarnai dinamika yang menunjukkan kepemimpinan nasional yang tidak efektif. Fakta tidak efektifnya kepemimpinan nasional tersebut terlihat dari tidak sedikitnya target pemerintahan yang tidak tercapai. Misalnya, target perolehan pajak yang hanya mencapai kurang lebih 80% dari target pajak.

”Upaya membangun soliditas kabinet sebagai prasyarat efektifnya pemerintahan juga diwarnai kegaduhan, terbukti dengan gaduhnya sesama menteri berbulan-bulan dalam perkara Blok Masela, gaduh reklamasi dan reshuffle kabinet yang dibatalkan hanya dalam beberapa pekan. Hubungan yang tidak sehat antara Presiden dengan Wakil Presiden juga terlihat pasca reshuffle kabinet jilid II,” ujarnya.

Meneropong 2017

Ubed menilai, secara umum politik 2016 masih menunjukkan kuatnya pencitraan politik, dramaturgi politik, oligarkis, dan pragmatis transaksional. Aspek national interest atau kepentingan nasional masih dilupakan dan diabaikan para politisi dan para pemegang kekuasaan.

Tahun 2017 nanti kemungkinannya masih diwarnai kuatnya simulacra politik, dramaturgi politik, oligarkis, pragmatis transaksional dan mobokratis. ”Bedanya tahun depan dinamika politiknya makin seru dan tensi politiknya makin naik. Terutama terkait dengan isu pergantian kekuasaan, isu pilkada dan kembali ke UUD 1945,” ujar Ubed.

Sementara itu, Idil Akbar dari Unpad mengungkapkan bahwa selain Pilkada serentak, tahun depan dinilai mulai akan dipanaskan dengan isu-isu Pemilu. Pemilihan umum legislatif dan Pemilihan Presiden yang akan digelar serentak pada 2019 bakal menarik perhatian. Jokowi yang kemungkinan besar maju lagi di Pipres 2019, kemungkinan kembali berhadapan dengan Prabowo Subianto dan bisa jadi SBY juga maju atau mengajukan orang terdekatnya berlaga.

”Ini mungkin akan terus naik eskalasinya karena ada peningkatan yang terpelihara karen konstruksi media atau titik klimaksnya, justru 2019 akan mengalami penurunan,” kata Idil.

Peneliti CSIS, Arya Fernandes, menilai 2017 mendatang akan diwarnai isu Pilkada serentak serta diskursus hangat di parlemen seputar pembahasan UU Pemilu. Tahun depan akan menjadi ajang pertarungan partai-partai karena desain perhitungan elektoral dan sistem pemilu akan memengaruhi bagaimana cara partai bagaimana memobilisasi masa, dan lain sebagainya.

”Selain Pilkada, saya kira kemungkinan reshuffle akan terjadi lagi baru akan stop di tahun keempat. Karena kalau tahun keempat itu reshuffle dilakukan akan bahaya juga untuk Jokowi kedepankan. Reshuffle akan dilakukan berdasarkan evaluasi kinerja kabinet dan pertimbangan partai politik pendukung pastinya,” ujar Arya.

Baca juga:

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya