SOROT 396

'Kami Tak Ada Tawar Menawar'

Ahmad Doli Kurnia dalam sesi kader muda Partai Golkar
Sumber :
  • VIVA.co.id/Irwandi

VIVA.co.id – Hari itu, tanggal 12 Mei 1998. Matahari belum sampai puncaknya ketika ribuan mahasiswa dari berbagai almamater memenuhi titik-titik strategis di Jakarta. Tengah hari, mereka berencana berkumpul di gedung MPR/DPR. Satu tujuan, menumbangkan rezim Soeharto yang sudah berkuasa 32 tahun.

Rampai Nusantara: Ramadan Bisa Jadi Momentum Rawat Persatuan Pasca-pemilu

Hari itu aksi unjuk rasa berakhir dengan tragis. Empat mahasiswa Trisakti Jakarta, Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie meregang nyawa di halaman kampusnya. Timah panas menembus kepala, dada, dan kerongkongan mereka.
 
Bukan menyurut, gerakan mahasiswa justru makin besar, bak bola salju. Pecah, menjalar ke kota-kota besar lain di Indonesia. Mereka semakin gigih ingin perubahan. Kerusuhan pun pecah di Jakarta dan beberapa kota besar lain pada kurun waktu 13-15 Mei 1998. Aksi pembakaran dan kerusakan terjadi di mana-mana.  
 
Tepat sehari usai peringatan Hari Kebangkitan Nasional, 21 Mei 1998, sejarah tercipta. Soeharto menyatakan mundur dari kekuasaannya.  Mendengar itu, ribuan mahasiswa, di antaranya Ahmad Doli Kurnia, yang kala itu ikut menduduki gedung DPR/MPR bersuka cita, mensyukuri perjuangannya membuahkan hasil.

"Paling dramatis itu saat Pak Harto mengumumkan pengunduran diri. Beberapa hari di Gedung DPR, terus kemudian kita mendengar pengumuman itu, kita jadi sujud syukur, nyebur ke kolam dan lain sebagainya,” kata seorang pelaku sejarah itu kepada VIVA.co.id.

Relawan Ganjar-Mahfud Dianiaya Oknum TNI, Aktivis 98 Desak Panglima TNI Lakukan Ini

Ketika peristiwa itu terjadi, Doli merupakan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam. Bersama rekan-rekannya, dia turut menggalang aksi unjuk rasa besar-besaran tersebut. Peristiwa dramatis lain yang dikenangnya selain lengsernya Soeharto adalah insiden penembakan yang terjadi saat unjuk rasa besar-besaran itu terjadi.

”Soal penembakan-penembakan itu, saya kebetulan tidak jauh dari lokasi. Saat ke luar dari daerah Semanggi-Atmajaya, terjadilah penembakan itu,” ujarnya.

Noel Sebut Buku Hitam Prabowo Subianto Kedaluarsa: Beliau 3 Kali Lolos Uji Verifikasi Pilpres

Doli memaknai gerakan mahasiswa 98 sebagai sebuah bentuk kritik terhadap kepemimpinan yang dianggap penuh penyimpangan. Paling menonjol adalah budaya oligarki, bagaimana pemerintah hanya membesarkan kelompok tertentu, memperjuangkan kelompok tertentu, baik dari segi kekuasaan maupun bisnis, termasuk juga keluarga Soeharto. Di lapangan, jurang antara si kaya dan miskin pun kian nyata.

Mahasiswa, kata Doli, sebetulnya tidak mempermasalahkan Soeharto secara pribadi. Di luar kesalahannya di akhir kepemimpinan, harus diakui jasanya sangat besar. Yang dipersoalkan adalah kepemimpinan yang tidak kompatibel lagi dengan perkembangan masyarakat yang terus bergerak maju menuju perubahan.

Doli sendiri mengaku turut membangun gerakan dari kalangan mahasiswa yang kritis terhadap kepemimpinan saat itu. Tahun itu, ia sudah berkiprah di kancah nasional sebagai salah satu ketua di PB Himpunan Mahasiswa Indonesia. Di intra kampus, Doli merupakan Ketua Senat Mahasiswa Universitas Padjadjaran.

”Beberapa teman-teman yang kritis dari kampus berbeda membangun jaringan komunikasi. Begitu masuk level nasional ketemu semua,” ujarnya.

Sejumlah tokoh gerakan mahasiswa yang bertemu dan membangun gerakan bersamanya antara lain, Rama Pratama dari Universitas Indonesia, Burhanuddin Muhtadi dan Ray Rangkuti dari UIN Syarif Hidayatullah, Sarbini dari FKSMJ, dan Simanjuntak dari GMKI.

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/05/13/5735e611a458c-taufik-basari_663_382.jpg

Sejumlah aktivis berpose di tengah-tengah aksi demonstrasi 1998. Foto: Dokumentasi Pribadi Taufik Basari 

”Kita tentu berbeda latar belakang, yang jelas beda kampus, beda organisasi kemahasiswaan, ada HMI, PMII, ada GMNI. Juga bersama teman-teman yang independen, yaitu Ray, yang mengambil posisi dalam gerakan-gerakan LSM,” kata Doli.

Gerakan aksi mahasiswa 1998 itu terbilang solid karena tak mempersoalkan latar belakang. Mereka tidak membuat kompromi atau pun tawar menawar. Fokus mereka satu, rezim Orde Baru harus runtuh.

Sebagai aktivis yang tergolong senior, Doli bersama rekan-rekannya mengonsolidasi jaringan guna menyikapi situasi yang tak menentu itu. Diskusi digelar, isu dimatangkan, pemimpin mahasiswa disolidkan, nasihat senior didengar.

”Senior-senior di atas kita ada yang menjadi mentor, misalnya Yudi Latief, beberapa kali kita diskusi, mematangkan situasi, langkah-langkah apa yang akan kita konversi menjadi gerakan, dengan melibatkan senior-senior itu,” dia bercerita.

Meski menjadi pelaku sejarah, Doli menegaskan, bukan orang yang terdepan. Ia dan kawan-kawannya berada di lapis kedua, di belakang ketua-ketua BEM yang lebih muncul banyak muncul di publik.

Selanjutnya...Mahasiswa Tak Lagi Kritis

Mahasiswa Tak Lagi Kritis

Namun hingga kini, Doli mengungkapkan, para aktivis 98 itu terus menjalin komunikasi, meskipun pascareformasi 98 mereka tersebar. Sebagian aktivis itu  bertemu kembali dalam pentas politik maupun ranah lain. Doli yang kemudian terjun di dunia politik mengaku kerap bertemu dengan kawan perjuangannya di berbagai kesempatan.

"Hubungan masih bagus. Waktu saya ketua umum KNPI, Rama (Pratama) saya masukkan menjadi wakil ketua umum. Burhan ketemu kalau di politik. Saya kan di politik, kemudian Burhan pengamat politik, kita sering ketemu di forum-forum diskusi, sama Ray juga begitu,” ujarnya.

Mereka juga kerap melakukan pertemuan yang sifatnya informal dalam rangka terus menjaga silaturahim. Misalnya saja dengan kegiatan reuni. Dalam pertemuan itu, bahasan tentang gerakan mahasiswa menjadi topik menarik.

"Kami sempat mendiskusikan bahwa ada terjadinya penurunan semangat daya kritik terhadap gerakan mahasiswa sekarang. Sempat waktu itu kita membangun komunikasi lagi, memberi semangat ke adik-adik, tapi karena kesibukan masing-masing, itu jadi tidak terwujud,” ujarnya.

Bila dibandingkan gerakan mahasiwa 98, Doli menilai gerakan mahasiswa saat ini terkesan adem ayem. Ia menilai hal itu tidak terlepas dari situasi dan kondisi saat ini yang juga berbeda dengan saat itu. Namun demikian, bila bicara kepedulian mahasiswa saat ini terhadap aktivitas organisasi dalam mengkritisi sosial politik cenderung terjadi penurunan kualitas.

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/05/13/5735e92e31bc4-ahmad-doli-kurnia_663_382.jpg

Faktor eksternal membuat gerakan mahasiswa saat ini kurang eksis karena munculnya model baru dalam melakukan kritik. Foto: ANTARA/Yudhi Mahatma

”Kalau sekarang ini polanya mahasiswa dipaksa belajar, cepat lulus, mengejar SKS, IPK tinggi dan segala macam. Aktivitas di luar menurun. Tidak peduli aktivitas organisasi. Itu yang kemudian berdampak pada kualitas gerakan mahasiswa,” ujarnya.

Faktor eksternal yang membuat gerakan mahasiswa saat ini kurang eksis karena munculnya model baru dalam melakukan kritik, yakni kritik by order alias bayaran. Kritik apa pun atau kampanye bisa dilakukan dengan mudah dengan membayar sejumlah nominal tertentu tergantung kebutuhan.

”Kemudian muncul pragmatisme yang juga ternyata jauh tingkat keparahannya. Sekarang kan ada model baru, gerakan kritik sesuatu, kita tinggal bayar. Ada istilah PT Demo, yang (bayarannya) dihitung per kepala segala macam. Itu kan jadi mendiskreditkan gerakan mahasiswa saat ini. Masyarakat tidak percaya lagi, karena banyak pendemo bayaran,” ujarnya.

Selanjutnya...Cita-cita Tak Tercapai

Cita-cita Tak Tercapai

Kini 18 tahun berlalu sejak 1998. Pemerintahan silih berganti. Perubahan memang banyak terjadi. Baik di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Namun, apakah perubahan yang terjadi itu sudah sesuai dengan cita-cita reformasi yang digulirkan para mahasiswa?

Sebagai aktivis 98, Doli menilai situasi sekarang ini, masih jauh dari harapan dan cita-cita reformasi. Fakta-fakta di lapangan, jika diukur dari apa yang menjadi cita-cita bangsa negara, masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, ia menilai belum tercapai. Kesenjangan antara kaya dan miskin sudah jauh dan besar. ”Sehingga kalau itu bicara keadilan dan kemerataan, itu belum terjadi,” ujarnya.

Kini, Doli tercatat sebagai politikus muda yang kariernya relatif gemilang. Dia duduk sebagai Ketua Umum Angkatan Muda Partai Golkar. Aktivitasnya di partai politik itu, kata dia, sebagai pengabdian, bukan tempat mencari penghidupan.

Politik baginya alat memperjuangkan cita-cita dan idealisme, sebagaimana dulu diperjuangkan saat jadi aktivis, yakni ingin Indonesia makin lebih baik, demokratis, hubungan antara negara dan masyarakat itu terbuka, aspirasi masyarakat didengar, sehingga cita-cita menjadikan negara lebih sejahtera dan maju bisa terwujud.

Biodata

Nama: Ahmad Doli Kurnia
Tempat Tanggal Lahir: Medan, 26 Juli 1971
Jabatan Terakhir: Ketua Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG)
Pendidikan: SMAN 1 Medan, Sarjana Unpad, Master ITB, dan Doktor Unpad

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya