SOROT 396

Waktu Akan Menguji Aktivis 98

Ridaya Laodengkowe
Sumber :
  • VIVA.co.id

VIVA.co.id –  Di tahun 1998, Ridaya Laodengkowe masih seorang mahasiswa di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Ketika demonstrasi anti-Orde Baru merebak di akhir 1997, Ridaya adalah Ketua Senat Mahasiswa UGM. Yogyakarta khususnya UGM, saat itu adalah salah satu titik terpanas pergerakan mahasiswa menentang Presiden Soeharto. Dan Ridaya tentu menjadi salah satu tokoh sentral saat itu.

Rampai Nusantara: Ramadan Bisa Jadi Momentum Rawat Persatuan Pasca-pemilu

Situasi politik yang panas ini bergulir sejak tahun 1996. Tahun 1997, saat krisis moneter mulai terjadi, terjadilah konsolidasi berbagai kekuatan politik anti-Soeharto, termasuk mahasiswa. "Kami konsolidasi, baca situasi," ujar Ridaya saat ditemui VIVA.co.id, di Mampang, Jakarta Selatan, Kamis, 12 Mei 2016.

Sebuah langkah politik muncul dari Harmoko, Ketua Umum Partai Golkar saat itu. Dia, yang juga Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat pada masa tersebut, melakukan penggalangan "kebulatan tekad" mendukung Soeharto kembali menjadi presiden.

Relawan Ganjar-Mahfud Dianiaya Oknum TNI, Aktivis 98 Desak Panglima TNI Lakukan Ini

Friksi-friksi antarkelompok politik yang ingin mendekati Soeharto merebak. Golkar juga mulai terpecah. "Ada yang pro-Habibie, ada yang berkumpul di sekitar Mbak Tutut (Siti Hardiyanti Rukmana) dan Letjen Hartono," ujar Ridaya.

Di sisi lain, kelompok-kelompok kritis mengkristal, konsolidasi terjadi secara diam-diam. Berbagai momentum seperti pernyataan pejabat pemerintahan yang keliru ditindaklanjuti dengan demonstrasi.

Noel Sebut Buku Hitam Prabowo Subianto Kedaluarsa: Beliau 3 Kali Lolos Uji Verifikasi Pilpres

Namun, Ridaya dan koleganya melakukan langkah cerdik pada masa itu, dengan membuat survei popularitas Soeharto untuk dicalonkan kembali sebagai presiden. Hasilnya, dukungan terhadap Soeharto untuk kembali menjadi Presiden terbilang kecil.

Mereka berencana mempublikasikan hasil jajak pendapat itu pada November 1997. Namun, sebelum dipublikasikan, muncul tekanan dari aparat. Mereka lantas menyiasatinya dengan melansir temuan itu secara sembunyi-sembunyi. Kompromi dengan pihak kampus pun dilakukan.

Mahasiswa mulai menggelar demonstrasi secara terbuka dengan menggunakan momen-momen tertentu. Momen peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM) pada 10 Desember 1997 misalnya, dipakai untuk melakukan demonstrasi menyuarakan pelanggaran hak asasi manusia. Aksi ini kemudian dibubarkan aparat keamanan.

Namun kemudian pada Sidang Umum MPR, 10 Maret 1998, Soeharto terpilih kembali menjadi presiden. Tak lama setelah itu, mulai terjadi sejumlah penculikan. “Ketika sudah main culik, sudah serius. Ini rezim sudah putus asa. Mereka sudah pakai cara yang berlebihan. Ini keyakinan kami rezim ini sudah mau berakhir," ujar Ridaya.

Gerakan mahasiswa pun akhirnya menjamur. Demonstrasi terjadi di sejumlah tempat, seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Semarang, Solo. April 1998, mahasiswa UGM menggelar demonstrasi besar-besaran, meminta Soeharto mundur dari posisi Presiden.

Adrenalin mereka saling terpacu ketika melihat rekan-rekannya semakin menunjukkan aksinya. Kota-kota itu pun menjadi “panas”. Ridaya menampik ada skenario munculnya demonstrasi itu. “Itu tidak ada skenario, cuma psikologi massa saja. Itu secara alamiah yang bergulir kemudian terjadi eskalasi," ujarnya.

Suasana semakin membara ketika terjadi penembakan empat mahasiswa Trisakti, pada 12 Mei 1998. Kerusuhan lantas pecah di Jakarta dan beberapa kota besar lain, pada 13-15 Mei 1998.

Massa menentang Soeharto semakin banyak turun ke jalan. Ridaya melihat fenomena itu sudah yakin massa tak bisa dibendung. Puncak eskalasi terjadi pada 20 Mei. "Psikologis juga 20 Mei hari Kebangkitan Nasional, enggak boleh lagi ada Soeharto. (Soeharto) harus turun," ujarnya. Dan keesokan harinya, Soeharto lengser.

Selanjutnya...Profesional

Profesional

Kini, para aktivis 98 tak lagi demonstrasi turun ke jalan. Mereka menekuni bidangnya masing-masing. Di antara mereka ada yang terjun ke jagat politik dengan menjadi anggota DPR, ada juga yang menjadi staf ahli kementerian, dan profesi lainnya.

Ridaya sendiri saat ini bekerja di dunia yang dekat dengan lembaga swadaya masyarakat. Ridaya yang meraih master di bidang International Political Economy, POLSIS, University of Birmingham UK (2004) ini berkecimpung di development sectors (project management), khususnya pada isu-isu tata kelola, natural resources management, budget advocacy, dan knowledge sector.

Pria kelahiran Banggai, Sulawesi Tengah, Juni 1974 sudah 13 tahun bergerak di dunia LSM ini. Penghobi lari jarak jauh ini pernah bekerja di Perkumpulan Institute for Development and Economic Analysis (IDEA), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia.

Saat ini, ayah tiga anak itu tengah sibuk menyusun tim untuk menyusun sebuah rekomendasi kebijakan guna memperbaiki sistem penganggaran negara. "Presiden di media tiga minggu lalu bilang ingin ubah pendekatan-pendekatan kita dari money follow function ke money follow programme," ujarnya.

Dia melihat ada peluang dari masyarakat untuk mengusulkan arah perubahan yang lebih baik dari anggaran negara. Hal itu agar pembiayaan program pemerintah untuk kesejahteraan masyarakat lebih optimal.

Selanjutnya...Catatan Ridaya

Catatan Ridaya

Setelah 18 tahun masa reformasi bergulir, Ridaya mencatat ada sejumlah kemajuan di Tanah Air. Pers relatif bebas, reformasi politik juga bergulir.

Awalnya, kata dia, para mahasiswa tak terpikir soal kebebasan pers. Tapi ternyata, kebebasan pers membantu memperluas cakupan tentang reformasi. "Itu bonus yang kita enggak menyangka," ujarnya.

Setali tiga uang. Dari segi reformasi politik juga sudah banyak kemajuan. Masyarakat bebas untuk masuk partai, pemilu yang relatif fair, sistem pemilu yang relatif maju. "Belum sempurna demokrasi kita, tapi kita sudah di jalur yang benar untuk membangun sistem demokrasi yang sehat," katanya.

Namun, masih banyak hal yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Penegakan hak asasi manusia masih terbatas. “Baru 20 persen,” kata Ridaya. Penegakan HAM ini terutama dalam hal perlindungan terhadap kelompok berbeda kepercayaan dari kelompok mayoritas. Begitu juga penyelidikan HAM, seperti peristiwa ‘98 dan peristiwa ‘65 yang belum tuntas.

Persoalan lain yang mesti diperbaiki adalah pembangunan ekonomi. Meski terjadi pertumbuhan ekonomi, belum dinikmati oleh semua kalangan. "Kita harus punya ambisi untuk sebanyak mungkin orang bisa menikmati hasil pembangunan. Tidak ada lagi yang tinggal di kolong jembatan, gubuk reyot," ujarnya.

Di tengah kesibukannya, Ridaya tetap berusaha menjalin komunikasi dengan sesama aktivis 98. Mereka tetap berhubungan satu sama lain untuk saling menjaga idealisme.

Dia menyayangkan, banyak rekan aktivis 98 yang sudah main proyek. "Waktu akan menguji kita semua siapa yang masih pegang nilai-nilai yang kita tabur saat jadi aktivis mahasiswa atau dimakan hasrat untuk cepat kaya," ujarnya. [aba]

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya