SOROT 392

Menata Desa Wisata

desa wisata Giriloyo, desa batik tulis
Sumber :
  • VIVA

VIVA.co.id –  Tahun ini pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pariwisata RI mengucurkan dana untuk sektor pariwisata hingga Rp5 triliun. Target wisatawan mancanegara pun ditingkatkan menjadi 12 juta dan wisatawan lokal 260 juta. Desa wisata menjadi salah satu program yang diyakini mampu memikat dan mendongkrak jumlah wisatawan.

Sandiaga Uno Tegaskan Indonesia Aman Dikunjungi Wisatawan

Program desa wisata sebenarnya sudah digalakkan sejak tahun 2009 melalui program PNPM Mandiri Pariwisata dan dibantu dengan dana Bansos. Kala itu, program desa wisata fokus pada pengembangan dan pengelolaan potensi yang ada di desa-desa. 

Asisten Deputi Tata Kelola Destinasi dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Pariwisata Oneng Setya Harini mengatakan, saat ini program desa wisata lebih fokus terhadap pemberdayaan masyarakat desa itu sendiri. Meski begitu, ia mengatakan bahwa pemerintah kini tetap mengembangkan konsep desa wisata.

Hore! Di Gunung Prau Sudah Ada Posko Kesehatan dan Musala

Lebih lanjut, ia mengatakan, konsep desa wisata adalah community based tourism atau pariwisata berbasis komunitas, di mana masyarakat sebagai pemilik sekaligus pengelolanya. Peran pemerintah sendiri lebih kepada sisi pemberdayaan masyarakat.

"Kalau misalnya ada satu desa yang dikelola oleh investor, saya bilang itu bukan desa wisata. Itu wisata pedesaan. Kalau desa wisata itu ya memang dikelola oleh masyarakat," ujar Oneng  saat dihubungi VIVA.co.id, Kamis, 14 April 2016.

Mengintip Wisata Batam, Hotel Mewah Hingga Banyak Pantai Indah

Selanjutnya...Kriteria Desa Wisata

Kriteria dan potensi desa wisata

Dari begitu banyaknya desa di seluruh wilayah Indonesia, tak semua bisa menjadi desa wisata. Sebuah desa tentu harus memiliki daya tarik, baik itu budaya, alam, maupun daya tarik buatan.

Daya tarik tersebut kemudian dikemas menjadi sebuah atraksi yang menarik para wisatawan, misalnya menjelaskan bagaimana cara pembuatan makanan atau mengolah minuman khas desa tersebut dan aktivitas lain yang ada di sana.

"Intinya sih mereka (wisatawan) datang tidak hanya melihat, sudah. Tapi bagaimana wisatawan bisa berinteraksi dengan pengelolanya di situ," ucap Oneng. 

Pengelola Desa Wisata Guliang Kangin, Bali, Putu Suarsana, juga mengatakan bahwa keunikan merupakan kriteria wajib bagi desa yang ingin menjadi desa wisata. Jika tak ada keunikan yang bisa ditonjolkan, masih ada faktor SDM yang bisa membantu.

Seperti desa wisata yang dikelola Putu. Ia mengatakan, mereka memiliki beberapa SDM yang sudah terbiasa dengan dunia pariwisata. Warga di desanya, ujar dia, banyak yang bekerja di travel agent dan hotel.

"Kita memang dari awal penataannya bagus, jadi ada pijat, les Bahasa Inggris, penataran budaya dan lain sebagainya," ujar Putu saat dihubungi VIVA.co.id, Kamis, 14 April 2016.

Desa wisata yang pernah dikunjungi siswa-siswi dari sebuah sekolah di Amerika itu menawarkan beragam aktivitas kepada para wisatawan yang berkunjung. Menurut Putu, beberapa aktivitas yang sudah berjalan adalah village trekking, di mana wisatawan diajak mengelilingi desa, kemudian melihat pembuatan alat-alat rumah tangga khas Bali dan melihat warga membuat minyak kelapa. Ada pula kelas memasak hidangan khas lokal dan cara membajak sawah dengan sapi.

"Kita juga ada restorannya. Cuma tidak seramai di Penglipuran. Kita homestay juga ada. Sampai hari ini sudah ada 15 homestay yang sudah standar lah untuk penginapan wisatawan asing," kata Putu.

Oneng juga mengatakan bahwa homestay di desa wisata memiliki daya pikat tersendiri bagi wisatawan. Dengan bermalam di homestay, wisatawan bisa berinteraksi dengan pemilik rumah.

Intinya, konsep-konsep kehidupan sehari-hari warga bisa dikemas menjadi sebuah atraksi. Selain itu, konsep desa wisata biasanya mengenai budaya di masing-masing desa yang dikembangkan.

"Wisatawan sekarang itu kan sudah agak berubah ya. Mereka tidak hanya sekadar datang kemudian pergi, tetapi ada sesuatu yang mereka ingin bawa,” ujar Oneng.

Selanjutnya...Desa Wisata di Nusantara

Desa-desa wisata di seluruh Nusantara

Ia mengungkapkan, desa wisata berperan besar dalam mendongkrak wisatawan. Itu karena, menurutnya, wisatawan saat ini sudah cukup jeli untuk memilih destinasi wisata. Wisata-wisata yang dapat memberikan pengalaman batin sangat diminati orang. Ia mencontohkan, orang-orang yang tinggal di kota umumnya hanya tahu beras tanpa mengenal proses dari benih menjadi beras. 

Nah, di salah satu desa wisata, proses tersebut dijadikan suatu atraksi wisata. Pengunjung mendapatkan pengetahuan bagaimana penduduk desa menyebar benih, membajak sawah hingga memanen beras. 

http://media.viva.co.id/thumbs2/2015/08/25/332529_wisata-baru-di-jogja--kalibiru_663_382.jpg

Kalibiru di Kulon Progo.

Saat ini, keberadaan desa wisata menurut Oneng sudah semakin menjamur. Beberapa yang populer di antaranya adalah Pentingsari di Yogyakarta, Panglipuran di Bali, Kalibiru di Kulon Progo dan Dieng Kulon. Daerah-daerah tersebut tentu sudah memenuhi setidaknya tiga kriteria sebuah destinasi wisata, yaitu infrastruktur, amenitas dan atraksi. 

"Sudah cukup banyak (desa wisata) dan memang fungsinya dari masyarakat setempat, dan mereka tidak bergantung pada pemerintah dengan pendanaannya. Mereka hidup karena mereka yang punya dan itu dari mereka. Jadi itu lebih awet," kata dia.

Namun, saat ditanya berapa jumlah total keseluruhan desa wisata yang ada di Indonesia, ia mengaku tak bisa menyebutkan angka pastinya.

"Banyak sekali sih sebetulnya. Sudah cukup banyak. Ada 100-an, tapi mungkin memang perlu dievaluasi lagi karena dahulu kita pernah mengembangkan lebih dari 1.000, tapi kembali bahwa karena yang mengelola masyarakat, ya memang tergantung masyarakatnya," kata Oneng.

Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf mengaku pihaknya mendukung Kemenpar kembali menggalakkan program desa wisata. Dengan program ini, ia berharap banyak produk ekonomi kreatif yang dikembangkan, karena pastinya akan ada pembinaan-pembinaan, sehingga produk asli daerah tersebut pun semakin dikenal masyarakat luas.  Jadi, selain demi tujuan wisata, produknya pun bisa turut berkembang.

"Malahan, kalau bisa satu desa satu produk. Desa yang satu beda dengan desa yang lain, jadi wisatawan akan mencari desa mana yang akan menjadi favoritnya. Jadi jangan semua produk ada di satu desa. Kalau bisa ada kekhasan," ujar Triawan kepada VIVA.co.id, Kamis, 14 April 2016.

Selanjutnya...Kesiapan Infrastruktur

Kesiapan infrastruktur

Tentu saja, bicara mengenai destinasi wisata, infrastruktur menjadi salah satu kriteria yang paling menentukan kepopuleran sebuah tempat wisata di kalangan wisatawan. Infrastruktur juga berpengaruh pada daya tarik tempat wisata.

Anggota Komisi X Fraksi Partai Hanura Dadang Rusdiana mengatakan bahwa mengacu pada Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa di mana rata-rata desa akan mendapat kucuran dana desa yang cukup besar, yang secara bertahap akhirnya rata-rata mendapat Rp1 miliar, maka akan berdampak pada penguatan infrastruktur desa, jalan, listrik, air dan lain-lain.

"Penguatan infrastruktur ini dibarengi pula dengan kebangkitan kesadaran muatan lokal pedesaan seperti seni dan budaya warisan leluhur yang saat ini cukup menggembirakan. Maka peluang ini tentunya harus ditangkap oleh Kemenpar dengan mengembangkan desa-desa wisata," ujar Dadang di DPR, Senayan, Jakarta, Kamis, 14 April 2016.

Namun, ketika ditanya berapa anggaran yang dikucurkan oleh pemerintah untuk untuk program desa wisata ini,  Oneng mengaku kini Kemenpar tak lagi memiliki dana khusus untuk mengembangkan desa wisata. Setelah ada UU Desa, fokus pengembangan desa wisata dilakukan desa itu sendiri.

"Kalau kami sekarang tidak ada (dana) khusus untuk mengembangkan desa wisata. Karena kan sudah ada Undang-Undang Desa. Kami tidak ada yang langsung ke desa. Dari Kementerian Pariwisata tidak boleh, karena semua kan harus melalui anggaran dana desa. Jadi tidak ada lagi (dana khusus)," ujar Oneng.

Hal itu membuat pihaknya hanya bisa memberi peningkatan kapasitas, bimbingan dan pelatihan teknis kepada masyarakat di desa-desa yang ada di suatu kawasan pariwisata. Pemerintah mendorong pengelola desa wisata dalam salah satu program anggaran dari dana desa, atau melalui anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes). 

Dadang mengungkapkan, anggaran yang dibutuhkan untuk mengembangkan desa wisata terbilang tinggi. Sebagai contoh, barangkali untuk satu kabupaten menghabiskan sekitar Rp500 miliar.

Masih bicara soal kesiapan infrastruktur, Dadang mengatakan, selama ini anggaran Kemenpar sebesar Rp5 triliun lebih banyak diarahkan pada program promosi wisata, demi mencapai target 20 juta wisatawan mancanegara di tahun 2019. 

Sementara, manajemen produk wisata, di mana di dalamnya terdapat penataan infrastruktur destinasi wisata kurang mendapat perhatian.

"Kita khawatir dengan promosi yang gencar dalam jangka pendek mampu mendatangkan wisman. Kemudian setelah mereka datang ke Indonesia mereka kecewa dengan destinasi wisata yang ada, terutama transferability antar kota yang tidak didukung dengan transportasi yang memadai," ujar Dadang.

Senada dengan Dadang, Triawan mengatakan bahwa kelemahan pemerintah Indonesia dalam hal pariwisata saat ini bukan lagi promosi. Yang menjadi kelemahan adalah di mana tujuan wisata harus bisa dikembangkan.

"Potensinya di mana, kemasan, keramahtamahan, kebersihan. Yang masih basic atau mendasarlah, juga seperti keamanan. Itu dulu yang basic, misalnya toilet yang kelasnya internasional, kan bagus," kata dia.

Meski begitu, Triawan menambahkan bahwa saat ini Presiden Joko Widodo sedang mempercepat proyek-proyek infrastruktur dan akses transportasi di berbagai belahan Indonesia. Jadi ia optimis program tersebut dalam jangka panjang akan berdampak baik, apalagi karena desa kaya akan keragaman seni maupun komoditas. 

Optimisme juga diungkapkan oleh Putu, Pengelola Desa Wisata Guliang Kangin. Ia yakin dari sisi informasi dan program, desa wisata mampu mendongkrak jumlah wisatawan. Hanya saja, ia dan warga desa wisata di sana belum melihat implementasinya, karena pemerintah saat ini juga merupakan pemerintah baru, sehingga hasilnya belum bisa terlihat. 

Namun, dari segi program-program yang ditawarkan, mekanisme dan program-program garapan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi RI, ia melihat ada harapan desa wisata akan berkembang dengan baik.

"Kalau dari workshop-nya, dari strategi-strateginya, kemudian dari keinginan untuk mendatangkan sekian juta wisatawan itu sepertinya sih ada harapan. Mudah-mudahan ke depannya bisa seperti apa yang dikonsepkan, seperti apa yang diteorikan," ujar Putu.

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/04/15/5710ebb856768-kubur-batu-wruga_663_382.jpg

Salah satu desa wisata di Minahasa, Kubur Batu Waruga.

Hafid Asisi, seorang traveler asal Jakarta mengatakan bahwa infrastruktur menjadi aspek yang harus mendapat perhatian ekstra demi menjaring para wisatawan untuk singgah ke desa wisata. Ia mengaku pernah traveling ke desa wisata di Kubur Batu Waruga Airmadidi, Minahasa.

Menurutnya, potensi wisata di sana sangat baik, sayang, fasilitas menjadi kendala. Terlihat dari kondisi desa yang kurang terawat dan tak adanya akses yang memadai. Fasilitas wajib seperti toilet saja sulit.

Dari sisi wisatawan, Hafid berpendapat banyak hal yang bisa ia dapatkan dengan berkunjung ke desa wisata. Mulai dari belajar hal-hal yang belum perah ia lihat dan ketahui sebelumnya, hingga mengenal budaya masyarakat setempat yang jarang atau bahkan tidak diketahui masyarakat luas.

Pria berusia 26 tahun itu juga optimis program ini akan mendongkrak jumlah wisatawan. "Wisatawan luar cukup banyak yang menyukai desa wisata. Sayangnya, wisatawan domestik memang kurang suka. Tapi kalau fasilitasnya dilengkapi, publikasinya lebih gencar dengan menonjolkan potensi utama desa wisata, lalu aksesnya dipermudah, pasti bisa menarik perhatian wisatawan domestik," ujar Hafid, Jumat, 15 April 2016. (ms)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya