SOROT 391

Patgulipat Reklamasi, Siapa Lagi Terbidik

Aktivitas proyek pembangunan Pulau G kawasan reklamasi Teluk Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA/Wahyu Putro A

VIVA.co.id – Ruang wartawan di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis, 31 Maret 2016, mendadak tegang. Ada kabar lembaga anti rasuah di Indonesia, kembali menangkap penyelenggara negara karena diduga suap.

3 Tahun Anies Jabat Gubernur DKI, Nasdem Soroti Reklamasi Ancol

Semua isu itu menjadi jelas, tatkala pukul 20.00 WIB, tampak rombongan kendaraan dinas KPK masuk dari pintu samping KPK. Tiga kendaraan langsung memasuki parkir di lantai bawah tanah gedung, termasuk di antaranya sebuah mobil Jaguar hitam dengan plat B 123 RX.

Para pemburu berita curiga. Menduga mobil mewah itu milik orang yang tertangkap dalam operasi KPK. Belakangan, mobil itu diketahui milik Mohamad Sanusi. Anggota DPRD DKI Jakarta dari fraksi Partai Gerindra. Mobil berharga miliaran buatan Inggris itu pernah dia gunakan saat dilantik menjadi anggota legislatif.

Anies Menang Gugatan, MA Tolak Kasasi Penghentian Reklamasi Pulau M

Esok harinya, pukul 18.00 WIB, Ketua KPK Agus Rahardjo dan Laode M. Syarif menggelar konferensi pers. Secara resmi KPK menjelaskan adanya upaya suap terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta, dan Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/04/03/5701069b29be5-ketua-komisi-d-dprd-dki-jakarta-mohamad-sanusi-dicokok-kpk_663_382.jpg

Reklamasi Ancol, Persatuan Alumni 212 Tegaskan Anies Tak Ingkar Janji

Muhammad Sanusi tersangka penerima suap terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta, dan Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Dari kasus ini, ditetapkan tiga tersangka, yaitu Muhammad Sanusi sebagai tersangka penerima suap. Sedangkan pegawai PT Agung Podomoro Land (APL), Triananda Prihantoro, serta Presiden Direktur PT APL, Ariesman Widjaja, menjadi tersangka pemberi.

Pimpinan KPK, Saut Situmorang, menjelaskan kasus ini hanya pucuk dari sebuah skandal mega korupsi. Di mana pihak swasta berupaya memengaruhi kebijakan pemerintah, demi mengeruk keuntungan lebih besar.

Menurutnya, suap ini diduga menyangkut strategi pembangunan pantai di kawasan teluk Jakarta. Para pengembang berupaya membuat jalan pintas agar proyek bisa segera dikerjakan, meski Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum memiliki peraturan daerah (Perda) mengenai teknis rencana pembangunan di atas pulau buatan.

"Ada proses yang tidak jalan atau belum sesuai urutan yang benar dalam pelaksanaan proyek atau pelaksanaan pembangunan, yang diperdebatkan kan itu, belum ada izin," ungkap Saut pada VIVA.co.id, Kamis, 7 April 2016.

Saut meyakini, Sanusi, Ariesman, dan Triananda tak sendirian di kasus ini. Pasalnya, kepentingan proyek reklamasi mencakup banyak pihak. Ada 17 pulau dengan total tambahan lahan Jakarta seluas 5.100 hektare. "Ini yang masih kita dalami karena kita tidak boleh langsung (menuding), tapi indikasi-indikasi itu ada."

Menurut Saut, dilihat dari rencana pembangunan yang disiapkan di atas pulau buatan ini, maka pihak yang berkepentingan agar proyek reklamasi di Teluk Jakarta bisa segera dimulai, tak hanya sembilan perusahaan yang kebagian proyek reklamasi ini.

"Di sana (pulau reklamasi) nanti tidak hanya orang yang menguruk saja. Di situ banyak orang juga kan, di situ nanti ada kepentingan bikin hotel dan lain-lain. di atas tanah segala kemungkinan bisa, mau bikin judi di masa depan, rumah, ruko, apartemen, tempat hiburan," ungkap Saut.

Dari sisi pembuat kebijakan, legislatif juga tak bisa sendirian merancang dan mengesahkan sebuah peraturan daerah (Perda). Kebijakan ini merupakan hasil keputusan bersama antara DPRD dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. "Mereka berinteraksi di situ. Itulah, sepanjang negara ini berdiri kan begitu, perselingkuhan persekongkolan antara eksekutif dan legislatif dalam menetapkan pasal-pasal," ujar Saut.

Suap pun ditengarai mengarahkan pembuat kebijakan, agar pasal dalam Raperda mengenai Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta, menjadi lebih ramah pada pihak swasta. Hal ini menyangkut proses perizinan, pembagian kontribusi pulau, serta penataan ekologi dan sosiologi.

"Orang bilang kan itu ngurukin pasir doang, sebenarnya tidak juga kalau hanya itu yang disasar dengan Perda. Bukan begitu, rencana tata ruang kan bukan begitu, harus jelas," terangnya.

Demi memudahkan penyidikan kasus ini, KPK juga melarang sejumlah orang bepergian ke luar negeri. Dalam surat permohonan cegah yang dikirimkan ke kantor Imigrasi, mereka adalah bos PT Agung Sedayu Grup, Sugiyanto Kusuma alias Aguan; Direktur Utama PT Agung Sedayu Richard Halim Kusuma; staf khusus Gubernur DKI Jakarta Ahok, Sunny Tanuwidjaja; sekretaris direksi PT APL, Berlian dan seorang swasta Geri Prasetya.

Larangan bepergian ke luar negeri ini dimaksudkan agar saat KPK membutuhkan keterangan mereka, para pihak itu memenuhi panggilan pemeriksaan, sehingga kasus ini bisa cepat selesai.

Sebab, dari pemeriksaan sementara, diduga mereka yang tertangkap hanya menjalankan perintah dari pihak yang lebih berkuasa dari mereka. Adalah mereka yang memiliki kaitan dengan semua perusahaan bidang properti itu, dan berkepentingan dengan investasi di 17 pulau buatan.

"Sebetulnya itu bagian dari perusahaan dia juga kan, jadi maksudnya apakah ada pengembangan-pengembangan ke (perusahaan) pengembang yang lain. Kami (KPK) belum bisa katakan ada kaitan lebih lanjut, tapi akal sehat kita mengatakan ada big boss-nya," tambah Saut.

Selanjutnya...Reklamasi Tetap Jalan

Reklamasi Tetap Jalan

Di tengah kisruh pengungkapan kasus korupsi ini, pembangunan proyek G di Teluk Jakarta tetap berjalan normal. Para pekerja terlihat tetap menimbun pasir, kapal berseliweran mengangkut material, serta crane dan alat berat lainnya beroperasi meratakan tanah.

Padahal, "Kalau Perda tentang zonasi belum ada, ya enggak bisa terus," ungkap Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, saat ditemui VIVA.co.id di kantornya, Kamis 7 April 2016.


Dua Raperda yang dimaksud Ahok, ini akan mengatur tentang teknis tata ruang dan pembagian wilayah pembangunan di atas pulau buatan. Selama ini, proyek reklamasi masih berlandaskan pada Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang kini diperbarui dengan Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Selain itu, Perpres No. 54 Tahun 2008 tentang Tata Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur).

"Pemda belum keluarkan izin apa-apa, saya juga belum tanda tangan beri izin. Izin yang didapat itu, masih bersandarkan Keppres dan Perda yang lama. Makanya saya bilang, kalau Perda Zonasi belum ada, dia mau ajukan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) ya tidak bisa," tegas Ahok.

Untuk diketahui, selama Ahok menjabat DKI 1, setidaknya ada empat Peraturan Gubernur yang menunjuk 4 pengembang untuk mereklamasi laut Jakarta.

Yakni, Keputusan Gubernur Nomor 2485 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau kepada PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk. Keputusan Gubernur Nomor 2269 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau I Kepada PT Jaladri Kartika Pakci. Keputusan Gubernur Nomor 2268 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F kepada PT Jakarta Propertindo. Dan Keputusan Gubernur Nomor 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G Kepada PT Muara Wisesa Samudra.

Dalam membahas Raperda itu, Ahok menyebutkan adanya tarik ulur kepentingan. Pihak DPRD beberapa kali mencoba meminta untuk menghilangkan angka 15 persen tersebut dari Raperda yang hendak dibahas. Namun, Pemda DKI tidak mau mengubah kewajiban itu.

Selama ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengusulkan agar 15 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dari setiap Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pengelolaan (HPL) yang dijual pengembang, menjadi hak bagi Pemprov DKI.

"Kalau misalnya itu benar, berarti mereka (perusahaan pengembang) mengkhianati saya juga. Di depan saya tanda tangan, bilang iya, di belakang nego. Makanya itu yang saya bilang sama Bappeda, Sekda, tidak mau saya mundur jadi di bawah 15 persen. Besaran itu juga bukan saya yang tetapkan, tapi ada berdasarkan hitungan," jelas Ahok.

Usulan 15 persen ini menjadi solusi yang ditawarkan Ahok dari masalah proyek reklamasi. Bayangkan, sejak keluar Keputusan Presiden Soeharto pada 1995, pembangunan pulau buatan tak kunjung dikerjakan. Masyarakat kerapkali menolak proyek ini, dan sudah beberapa kali digugat ke pengadilan. Sementara itu, Pemprov DKI sekarang tak bisa menolak keputusan itu karena menjadi kebijakan pemerintah pusat.

Ahok mengakui, proyek ini memang dibagi-bagikan pengerjaannya ke perusahaan properti. Sebagai gantinya, Pemprov DKI mendapatkan hak pengelolaan (HPL) dengan tanah bersertifikat di sana.

Timbal baliknya, "Kita kan bisa dapat BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), dapat PBB, dapat pajak penghasilan. Tanah di pulau reklamasi 45 persen, juga tidak bisa dijual, itu untuk lahan hijau. Lalu, 5 persen itu bisa dipakai DKI. Kita untung," klaim bakal calon gubernur DKI ini.

Sementara itu, di atas lahan 5 persen yang akan digunakan DKI, Ahok berjanji, akan membangun area terpadu untuk masyarakat yang tinggal di pesisir Jakarta, dan hidupnya terkena dampak dari proyek ini. Terutama nelayan yang tak lagi bisa melaut karena akses mereka terhalangi pulau buatan.

"Kami bisa bikin kantor, area komersial, rusun (rumah susun) terpadu. Rusun bisa dibikin untuk pekerja, untuk nelayan," tuturnya.

Ahok menegaskan bahwa meski proyek ini dikerjakan oleh perusahaan swasta, tapi hasilnya akan dibuat sesuai pertimbangan ahli di masa lalu. Saat Soeharto masih menjadi Presiden dan mengeluarkan Keppres itu pada 1995, disebutkan salah satu cara memperbaiki kawasan laut yang sudah tercemar adalah dengan melakukan reklamasi.

Dia menyangkal mendesak percepatan proyek ini, dan menyatakan siap dipanggil dan diperiksa KPK, terkait dugaan suap yang menyangkut pembahasan Raperda proyek reklamasi. "Sederhana saja saya bilang, kamu cek saja karakter saya. Suruh saya diperiksa," tegasnya.

Selanjutnya...Polemik Proyek Reklamasi

Polemik Proyek Reklamasi

Proyek pembuatan 17 pulau buatan memang sudah lama menjadi perdebatan. Bahkan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, mengungkapkan mestinya sebelum proyek reklamasi dikerjakan, rekomendasi yang dikeluarkan pihaknya selesai dipenuhi.

Rekomendasi ini mencakup revitalisasi sungai Jakarta, memberikan solusi pada aspek lingkungan, dan juga masyarakat nelayan yang menyandarkan kehidupannya pada laut. Mereka menjadi korban utama dari reklamasi pantai. "Jakarta diteruskan reklamasi tanpa ada pendalaman sungai, pendalaman laut, itu akan berakibat Jakarta it's flooding, it's digenangi. Itu persoalan yang pasti akan muncul," kata Susi, Selasa, 5 April 2016.

Dari segi teknis, untuk aspek sosial dan lingkungan. Proyek reklamasi juga mesti dibuat minimal 300 meter dari daratan terdekat. Sementara itu, kata Susi, proyek yang sekarang berjalan, ada yang hanya 100 meter. Dia khawatir, jika diteruskan, pulau buatan ini justru menghambat laju air dari sungai ke laut.

"Ini akan menyebabkan beberapa fasilitas pemerintah di pinggir akan mengalami genangan. Ini saya bilang, semestinya bendungan dibangun dulu, diselesaikan dulu, sungai didalami, tidak membangun sana dulu, karena air akan ke mana?" ungkapnya.

Untuk itu, Susi meminta agar Pemprov DKI menunda proyek ini, sampai semua masalah mengenai dampak lingkungan dan sosial diselesaikan. Jika tetap memaksakan, dia memperkirakan ke depannya pemerintah perlu membuat proyek baru untuk menjaga agar Jakarta bebas banjir.

Hal senada juga diungkapkan mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Prijanto. Menurut dia, Pemprov DKI mesti memprioritaskan Amdal terhadap proyek reklamasi. Tanpa itu, pulau buatan ini hanya akan menimbulkan masalah di masa mendatang.

"Dia (pengembang) sudah bilang ada amdal, tapi ini perlu diuji, benar atau tidak itu oleh pakar lingkungan hidup, dan pakar lainnya yang terkait. Benar tidak amdal itu. Kalau memang amdalnya sudah diuji betul kan dijabarkan bahwa amdal itu harus melakukan apa dulu sebelum reklamasi, ya turuti itu," kata Prijanto pada VIVA.co.id, Kamis, 7 April 2016.

Dari segi pembuatan keputusan, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia, Lisman Manurung, menjelaskan saat kebijakan pemerintah dibuat berdasarkan keinginan pihak tertentu dengan cara yang curang, tentu yang paling dirugikan adalah masyarakat.

Kebijakan pemerintah lahir dari kesepakatan antara legislatif dan eksekutif, dan masyarakat adalah objek dari aturan yang dihasilkan. Sebagai kontrol atas itu, masyarakat pun diminta kritis dan jeli dalam menanggapi kebijakan pemerintah.

"Dalam teorinya ada yang disebut dengan semacam persekongkolan antara eksekutif dan legislatif untuk memformulasi atau mewujudkan kebijakan yang belum tentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Nah, apakah sekarang itu terjadi dalam kaitannya dengan reklamasi di teluk Jakarta itu. Secara teori hal demikian mungkin terjadi. Sekarang berpulang lagi kepada legislatif dan eksekutif itu, betul tidak semua yang mereka putuskan itu demi rakyat," jelas Lisman pada VIVA.co.id.

Sementara KPK, diharapkan bisa membongkar kasus ini hingga tuntas sehingga memberikan jaminan pada masyarakat menyangkut proyek reklamasi. Sebab, Lisman bilang, kasus ini bisa memberikan gambaran pada masyarakat, "seberapa konsisten para wakil rakyat termasuk eksekutif mendahulukan kepentingan rakyat daripada kepentingan mereka sendiri."

Saat ini, penentang paling gigih terhadap proyek reklamasi adalah masyarakat nelayan, yang tergabung dalam Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Mereka sudah melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengenai izin proyek reklamasi Teluk Jakarta. Saat ini, proses pengadilan masih berjalan.

"Kami sejak awal sudah tahu reklamasi ditentang masyarakatnya. Juga sejak awal diingatkan para ahli bahwa reklamasi tidak akan pernah menjawab banjir DKI Jakarta. Bahwa ada peraturan perundangan yang dilanggar dalam penyusunan izin reklamasi Teluk Jakarta. Sekarang kita juga tahu ternyata proses penyusunan perda yang terkait proyek reklamasi ini juga sarat dengan praktik korupsi," kata Riza Damanik, ketua umum KNTI kepada VIVA.co.id.

Berdasarkan semua masalah itu, KNTI berharap Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat mau mendorong penghentian proyek ini, karena memaksakan rencana itu bisa berakibat fatal bagi lingkungan dan masyarakat.

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/04/08/5707ced04a033-reklamasi-teluk-jakarta_663_382.JPG

Kapal pembersih sampah Dinas Kebersihan Pemprov DKI Jakarta melintas di sekitar salah satu pulau kawasan reklamasi Teluk Jakarta.

Sebagai gantinya, pemerintah diharapkan melakukan kegiatan konservasi untuk memulihkan Teluk Jakarta dari pencemaran, termasuk mengembalikan hak nelayan yang menjadi korban dari proses pembangunan reklamasi sementara ini.

Riza menuturkan, dari kasus korupsi yang sedang ditangani KPK, pemerintah pun bisa mengambil hikmah dan menghentikan upaya perusahaan besar mengeksploitasi lingkungan, demi keuntungan mereka.

Bagi nelayan, setidaknya, pulau reklamasi menutup jalan mereka untuk pergi melaut. Contohnya nelayan yang ada di kawasan Muara Angke, berada persis di bawah pulau G, sehingga mereka harus berputar jauh untuk bisa sampai ke perairan luas.

Tak hanya itu, reklamasi juga membuat mereka harus pergi lebih jauh ke tengah laut untuk mendapatkan ikan. Sebab proyek reklamasi mengurangi kedalaman laut di dekat pantai, dan merusak ekosistem. Alhasil, ikan pergi menjauh dan jumlahnya semakin langka.

"Terlalu besar pertaruhan kita (masyarakat) membiarkan korporasi, bisnis properti itu bermewah-mewah memanfaatkan sumber daya kita, mendapatkan keuntungan yang besar. Di sisi yang lain membiarkan masyarakat kita terus merugi bahkan dipersempit wilayah kehidupannya," kata Riza.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya