SOROT 371

Berburu 'Hantu Merah'

Diskusi dan bedah majalah Lentera UKSW
Sumber :
  • ANTARA/R. Rekotomo

VIVA.co.id - Salatiga Kota Merah. Begitu judul tiras yang diterbitkan lembaga pers mahasiswa  Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana Jawa Tengah awal Oktober silam.

Sepintas tidak ada yang aneh dari majalah edisi tiga yang diterbitkan mahasiswa itu. Gambar hitam putih dan tulisan berwarna merah pada judulnya, membuat apik majalah yang dicetak sebanyak 500 eksemplar.

Per eksemplarnya, majalah bernama Lentera ini dihargai Rp15 ribu dan bisa ditemui di sejumlah tempat di Salatiga.

Namun siapa kira sepekan berjalan, 500 eksemplar majalah yang terlanjur terdistribusi tersebut mendadak "dicekal". Baik kampus maupun kepolisian menarik paksa lalu membakar hasil karya jurnalistik yang mendokumentasikan kisah di balik tragedi 1965.

Bima Satria Putra, Pemimpin Redaksi Lentera, mengaku menyesalkan "pemberedelan" ini. Terlebih misi yang diemban Lentera hanya untuk mendokumentasikan kepingan sejarah kelam pada 1965.

Tak ada pelanggaran etik jurnalistik yang dilakukan. Semua dilakukan dengan presisi dan terverifikasi merujuk ke sejumlah narasumber valid dan memang berkompeten memaparkan kisah tragis di 1965.

"Majalah kami dianggap menimbulkan polemik, tidak berizin untuk dijualbelikan, tidak ada Surat Izin Usaha Perdagangan penerbitan pers kampus, tidak ada pajak iklan dan katanya informasi narasumber tulisan kami tidak valid," kata Bima, Rabu 18 November 2015.

Berangus paksa karya jurnalistik itu pun akhirnya terpaksa dilakukan atas dalih "kesepakatan" bersama antara pihak kampus dan kepolisian setempat serta redaksi Lentera.

"Kita menjaga supaya ini tak terjadi (protes masyarakat). Yang menarik (Lentera) kan UKSW. Peran kepolisian adalah menginginkan agar situasi Kamtibmas tetap kondusif," kata Kapolresta Salatiga AKP Yudho Hermanto saat dikonfrimasi perihal penarikan majalah itu.

Dekan Fiskom UKSW Daru Purnomo menilai apa yang menjadi karya dari redaksi Lentera sebagai publikasi yang sensasional. Tema "Salatiga Kota Merah" telah memunculkan persepsi masyarakat bahwa Salatiga sebagai kota Partai Komunis Indonesia (PKI).

"Temanya sangat multitafsir sekali dan sangat sensasional," kata Daru.

Daru sendiri membantah telah melakukan "pemberedelan" terhadap karya mahasiswanya tersebut. Menurutnya USKW hanya menarik khusus edisi itu.

"Untuk terbitan selanjutnya silakan, enggak masalah. Dengan catatan dia menempatkan diri sebagai kelompok minat belajar di bidang jurnalistik yang mekanismenya itu ada di fakultas," katanya.

Pemberedelan terbitan Lentera edisi ketiga tak pelak menuai reaksi banyak pihak. Meski sayup-sayup, simpatik pun mengalir ke Lentera.

"Itu publikasi dari anak muda yang sedang belajar sejarah bangsanya, kalau diancam begini, mereka takut untuk belajar bangsa sendiri," kata sejarawan Indonesia Baskara T Wardaya.

Sejak lama, menurut Baskara, konseptual komunis atau PKI sesungguhnya telah mati di dunia. Negara penganut seperti Rusia, Vietnam, dan China pun sudah lama meninggalkan jubah itu.

Karena itu, seharusnya tidak perlu ada yang dikhawatirkan ataupun ditakutkan dari simbol komunis.

Justru, lanjut Baskara, dengan munculnya kembali gaya pemberedelan  mencederai konsep demokrasi yang kini dijunjung Indonesia.

Mencari Keadilan di Den Haag



Menjagal Simbol Hantu

Sejatinya, kisruh "hantu merah" yang kerap dipersonifikasikan sebagai PKI dan segala bentuk turunannya bukanlah sesuatu yang baru. Cukup banyak catatan yang menjadi bukti bahwa ketakutan akan "hantu merah" mengakar di Indonesia.

Tak jelas dasar ketakutannya. Namun dipastikan, apapun itu, yang berkaitan dengan logo, simbol, pembicaraan atau pun sekadar mendengar tentang hal yang berbau komunis menjadi sesuatu yang haram dan harus ditegur, dijagal, ditangkap atau pun dihilangkan.

Awal tahun 2015, Anindya Kusuma Putri, Puteri Indonesia, pernah bersinggungan dengan ini. Ia pun dilaporkan polisi oleh Front Pembela Islam di Solo Jawa Tengah terkait fotonya yang mengenakan baju kaus bergambar palu dan arit.

Anindya pun dianggap meresahkan dan langsung dituduhkan dengan pelanggaran terhadap TAP MPRS Nomor 25/1996 tentang komunisme.

"Kami mendesak pelaku ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Walaupun itu diunggah di Vietnam, tapi diunggah melalui media sosial ke Indonesia," kata Koordinator FPI Solo Raya Khoirul RS kala itu.

Anindya Kusuma Putri mengenakan kaus bergambar palu arit

Mengungkap Peristiwa 1965

Foto Puteri Indonesia Anindya Kusuma Putri mengenakan kaus bergambar palu arit yang sempat memicu kontroversi.


Di Yogyakarta. Puluhan orang tak dikenal bahkan membubarkan paksa sebuah aktivitas mahasiswa, lantaran hendak menonton bareng sebuah film berjudul The Look of Silence atau Senyap hasil karya dari Joshua Oppenheimer.

Film berdurasi 1 jam 43 menit dan peraih 17 penghargaan internasional itu katanya dianggap berseberangan dengan sejarah Indonesia tentang kengerian terhadap PKI.

"PKI itu musuh negara. PKI dilarang oleh negara. Kalian tahu, tidak," teriak massa saat membubarkan aktivitas menonton bersama film tersebut.

Lalu berikutnya masih di Yogyakarta. Hanya karena beredar sebuah mainan anak-anak yang bergambar palu arit, Kodim 0729 Bantul Yogyakarta pun rela menggelar razia pasar.

Sebanyak 27 paket mainan anak-anak yang mencantumkan logo 'Hantu Merah' pun diciduk paksa. "Khawatirnya, lama-kelamaan simbolnya akan dianggap menarik oleh anak-anak. Jika seperti itu, akhirnya pahamnya masuk pula," kata Komandan Kodim Bantul, Letnan Kolonel Kavaleri Tumadi awal November lalu.

Sebulan sebelumnya, di Pulau Dewata, Bali. Kejadian serupa menyasar agenda festival sastra dan budaya Ubud (Ubud Writers & Readers Festival). Festival internasional itu pun dituding membawa "hantu merah" dan karena itulah harus dihentikan.

Pengakuan kepolisian setempat, mereka mengaku menyesalkan kepanitiaan mengangkat tema sensitif dalam kegiatan tersebut. Agenda berupa pemutaran film The Look of Silence, diskusi rekonsiliasi korban 1965 serta peluncuran buku The Act of Killing pun akhirnya ditolak keras.

"Kenapa harus tentang PKI. Itu sangat sensitif. Nanti kalau dibiarkan berjalan, timbul sesuatu di tengah jalan justru malah membuat kegiatan itu buyar," kata Kepala Kepolisian Resor Gianyar Bali Ajun Komisaris Besar Polisi Farman saat itu.

Fakta ini menunjukkan ketakutan demi ketakutan akan "hantu merah" ini memang sudah menjadi phobia yang mengakar. Kadang karena begitu phobianya, tindakan untuk menjagal hantu merah itu justru menjadi hal yang menggelikan sekaligus konyol.

Salah satunya yang menimpa seorang pelatih selancar dari Rusia di Pulau Bali. Hanya karena mengibarkan bendera Soviet sebagai pengganti bendera merah putihnya yang sobek saat memantau arah angin, pelatih yang sudah berdomisili di Bali selama enam bulan itu pun harus berurusan dengan polisi.

"Begitu dikibarkan 15 menit, rumahnya sudah dikepung polisi. Padahal tujuannya sangat praktis untuk tahu angin kencang tidak untuk bisa melatih selancar," kata peneliti senior LIPI Asvi Warman Adam.

Terpopuler: Catherine Wilson Malu sampai Atta Halilintar Kirim Doa



Ketakutan Itu Diciptakan

Peneliti senior LIPI Asvi Warman Adam menyebut ketakutan hantu merah atau segala sesuatu yang berkaitan dengan PKI dan segala kisahnya tersebut memang sengaja diciptakan.

Selama 50 tahun sejak tragedi 30 September 1965, ketakutan terhadap PKI lewat simbol palu arit direproduksi ulang ke kepala setiap generasi di Indonesia.

Dengan paksa negara pun menanamkan simbol palu dan arit sebagai hantu atau momok paling menakutkan dan harus dibasmi sedemikian rupa.

"Ada dua hantu yang sengaja diciptakan. Pertama simbol palu arit dan kedua kuburan tempat pembunuhan massal masa lalu. Hantu-hantu ini yang kini tetap dipelihara," kata Asvi.

Simbol palu arit, menurut Asvi, dalam rekayasa ketakutan itu, ditanamkan sebagai simbol dari partai terlarang di Indonesia. Singkatnya palu arit adalah PKI.

"Jadi ketakutan terhadap PKI ini dicoba dipelihara terus dengan simbol palu arit. Padahal kita tahu palu lambang buruh dan arit petani. Kenapa harus dikaitkan palu arit ya..PKI dan PKI seperti yang distigmakan pada masa orde baru," urai Asvi.

Lalu terkait dengan "hantu" kuburan massal. Asvi mengaitkan dengan keberadaan sejumlah kuburan tanpa papan nisan yang tersebar di sejumlah wilayah di Indonesia. Setidaknya lebih dari setengah juta orang menjadi korban kelam tragedi 1965.

"(Jadi) Jangan coba tanamkan nisan di kuburan massal itu. Atau artinya jangan diganggu. Artinya jangan diungkap pembunuhan massal yang terjadi pada 1965-1966," kata Asvi.

"(Mereka) Menghalangi pengungkapan kebenaran, untuk menghalangi upaya-upaya menyelesaikan pelanggaran HAM berat."

Sampul Majalah Lentera terbitan lembaga pers mahasiswa UKSW

Sampul Majalah Lentera terbitan lembaga pers mahasiswa UKSW Salatiga.



Menyimpan Bangkai

Baru-baru ini reaksi publik mengecam kembali PKI memang bermunculan di Indonesia. Reaksi ini berkaitan dengan kabar tentang rencana Presiden Joko Widodo untuk meminta maaf kepada PKI pada tahun 1965.

Meski telah dibantah presiden, namun secara bergelombang publik menyampaikan aspirasinya mengecam rencana itu. Bahkan mereka pun mengaitkannya dengan kabar pencabutan ketentuan tentang PKI dalam ketetapan MPR.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly saat di Istana Negara sebelumnya telah memastikan memang negara akan mendalami rencana rekonsiliasi terhadap korban tragedi 1965.

Hanya saja fokusnya lebih diutamakan kepada warga sipil yang tak bersalah dan bukan kepada PKI secara kelembagaan. "Enggak perlu maafkan pada partai politik PKI-nya. Yang ada itu mereka orang-orang yang tidak bersalah menjadi korban. Ini yang mau kita selesaikan," kata Yasonna akhir September lalu.

Namun terlepas dari itu, siapa dalang di balik tragedi 1965 harus dijelaskan ke publik. Sebab ini berkaitan erat dengan oknum atau pun lembaga yang pernah terlibat dalam pelanggaran HAM pada masa lalu.

Menurut peneliti senior LIPI Asvi Warman Adam, sejumlah oknum yang kini berlindung di balik ketakutan akan simbol PKI tersebut, sesungguhnya sudah bisa ditebak.

Sebab lewat gerakan mereka memproduksi sejumlah ketakutan yang berkaitan dengan sejarah kelam di masa Presiden Soekarno dan Soeharto, mereka hendak menjaga agar busuk bangkai yang sudah ditutup selama setengah abad tersebut tetap tidak keluar dari permukaan.

"Mereka ini adalah orang yang enggan namanya tercemar dan tertulis dalam sejarah sebagai pelaku pelanggaran HAM berat."

"(Karena itu) Kasus ini harus dituntaskan. Sebab ada potensi pembunuhan-pembunuhan massal ini bisa saja terjadi pada masa yang akan datang. Yang melakukan tentunya tidak PKI lagi karena PKI sudah tidak ada. Tapi kelompok yang lain," kata Asvi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya