SOROT 369

Kritik Bukan Ujaran Kebencian

Hate speech atau ujaran kebencian.
Sumber :

VIVA.co.id - Imelda Syahrul Wahab, 24 tahun, mendadak terkenal. Pemuda asal Madiun, Jawa Timur, itu tiba-tiba dicokok polisi pada Jumat siang, 30 Oktober 2015. Sebuah gambar yang diunggahnya ke Facebook penyebabnya.

Gambar itu sederhana, dicomot dari halaman Facebook “Info Cegatan Polisi Ponorogo”. Foto seorang polisi berpakaian dinas terlihat sedang memegang radio panggil. Syahrul yang berprofesi sebagai kerani di sebuah bank di Ponorogo itu lalu membubuhi gambar polisi itu dengan kacamata merah muda. Namun caption atau kata-kata yang dibubuhi di gambar itu yang membuat heboh.

Hallo Mami, duit hasil tilang kemaren sudah papi transfer. Ya sudah, Papi lanjut kerja dulu ya.” Begitu tulisan di boks kata pertama.

Kemudian, boks kedua bertuliskan, “Iya Papi. Duitnya buat Mami arisan nanti, besoknya buat Shopping. Makasih ya Papi sayang.”

Syahrul lalu mengunggah meme atau foto gubahannya itu ke Facebook. Ponorogo pun heboh. Hanya butuh kurang dari tiga jam untuk si empu foto, seorang polisi berdinas di Kepolisian Resor Ponorogo, merasakan efek viralnya. Brigadir Dua Aris Kurniawan, si pemilik wajah, sontak melapor ke Polres Ponorogo.

“Menurut pelapor, telah terjadi pencemaran nama baik, penghinaan terhadap dirinya, mengambil foto dan menambahkan kata-kata tanpa izin,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Ponorogo, Ajun Komisaris Muhamad Hasran, Kamis, 5 November 2015.

Polisi Ponorogo pun bertindak cepat. Syahrul Wahab langsung dibekuk, hanya tiga jam setelah mengunggah gambar Bripda Aris itu. Kepada polisi, Syahrul mengaku kesal dengan polisi karena melihat ibunya kerepotan berurusan dengan polisi lalu lintas.

Kasus ini akhirnya dihentikan oleh kepolisian, setelah dilakukan mediasi antara pelapor dan terlapor. Prosedur ini sesuai dengan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian yang mensyaratkan perlunya mediasi sebelum menempuh langkah hukum lanjutan. Pun Kepala Kepolisian Jenderal Badrodin Haiti sudah meminta kasus ini diselesaikan lewat jalan damai.

"Kalau Surat Edaran (ujaran kebencian), kan harusnya dilakukan mediasi. Sudah saya arahkan supaya dicari solusi dan didamaikan. Boleh menggunakan meme apa saja, tetapi kan meme harus tidak boleh menyinggung orang lain. Kalau karikatur masih dapat dipahami," kata Kapolri. Kasus meme Syahrul pun bisa dikata kasus pertama setelah Surat Edaran Kapolri ini diteken 8 Oktober 2015 lalu.

Penyebar Isu Provokasi Soal Tanjungbalai Kena Stroke

Jenderal Badrodin Haiti membahas penerbitan surat edaran ujaran kebencian

Boleh menggunakan meme apa saja, tetapi kan meme harus tidak boleh menyinggung orang lain. Kalau karikatur masih dapat dipahami. FOTO:ANTARA/Reno Esnir

Facebook Perangi Konten Ekstremisme dan Ujaran Kebencian



Kritik Bukan Ujaran Kebencian

Namun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai kasus Syahrul Wahab bukanlah kasus ujaran kebencian. Meski mendukung Surat Edaran Kapolri, komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Muhammad Nurkhoiron, menyatakan polisi belum memahami apa sebenarnya ujaran kebencian. Pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang masuk dalam Surat Edaran, menurut Khoiron, bukanlah berisi ujaran kebencian.

"Dia (Kapolri) memasukkan 310 dan 311 KUHP, terkait pencemaran nama baik. Pencemaran nama baik berbeda dengan hate speech. Pencemaran nama baik pasal karet, bisa dimanfaatkan oleh semuanya. Sedangkan hate speech itu tidak begitu," ujar Khoiron.

Khoiron khawatir pasal karet ini akan digunakan aparat kepolisian untuk menindak orang per orang yang dianggap mencemarkan nama baik seperti pada kasus Syahrul Wahab. Maka dari itu, Komnas HAM meminta pasal tersebut segera dihapus.

"Kepolisian juga harus tahu apa itu hate speech, dan semua masyarakat kita harus tahu, Jadi jangan disamakan kebencian dengan pencemaran nama baik," ucap Khoiron.

Khoiron juga menegaskan ujaran kebencian itu berbeda dengan kritik. Ujaran kebencian, kata Khoiron, mengandung kebencian di dalamnya. Sedangkan kritik, tidak mengandung kebencian.

Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar, menilai Surat Edaran ini jelas akan mempengaruhi kebebasan orang untuk berekspresi dan berpendapat. Sebab, Surat Edaran tersebut mencantumkan klausul pasal tentang penghinaan dan pencemaran nama baik.

“Sementara klausul itu sering kali karet dalam pelaksanaannya. Jadi dia mudah sekali digunakan untuk melaporkan pidana orang tertentu yang dianggap tidak menyenangkan bagi seseorang yang lain,” kata Wahyudi.
 
“Jadi polisi harus declare bahwa sepanjang itu tidak ditujukan untuk menyerang dan mengintimidasi, serta mendiskriminasi kelompok tertentu berdasarkan agama, ras, suku dan lainnya dan bisa berakibat kekerasan dan konflik sosial, tidak dijerat dengan hate speech,” kata Wahyudi.

Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Iman D Nugroho, menilai penegakan hukum pada hate speech sangat penting. Namun, Surat Edaran tentang penanganannya tidak perlu.

“Surat Edaran bagi saya sebuah kemunduran. Pemerintah harusnya memiliki awareness pada kehidupan yang demokratis,” ujar Iman.

Meski begitu, Iman berharap sosialisasi dan pemahaman mengenai Surat Edaran yang sudah dikeluarkan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti itu harus benar-benar sampai ke tingkat bawah jajarannya.

“Kalau tidak, maka polisi di bawah tidak memiliki pemahaman yang sama. Sedikit-sedikit hate speech, kan gawat. Pada ujungnya, kebebasan berekspresi akan terkebiri. Itu yang kita tidak inginkan,” kata Iman.

Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Veri Junaidi, mengatakan Surat Edaran itu tidak diperlukan. Pemidanaan ujaran kebencian sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sementara Surat Edaran Kapolri tidak memiliki kekuatan hukum mengatur.

"Ini menjadi suatu kesia-sian saja jika membuat banyak aturan. Regulasi sudah terlalu banyak yang mengatur itu," ujar Veri kepada VIVA.co.id, Rabu, 4 November 2015.

Alih-alih, Veri menilai Surat Edaran sangat mungkin digunakan untuk menyasar kelompok tertentu. “Tebang pilih pemidanaan atas penerapan Surat Edaran ini sangat mungkin dilakukan karena tidak ada yang bisa melakukan kontrol terhadap pelaksanaannya,” kata Veri.

Persoalan yang akan muncul, siapa pihak yang bisa memilah, mana yang merupakan ujaran kebencian dan mana yang ekspresi partisipasi publik. Kritik terhadap pemerintahan bisa saja dianggap sebagai ujaran kebencian. Veri menyatakan, ujaran kebencian seharusnya hanya terkait dengan persoalan yang mengandung suku, agama, dan ras. Aturan pemidanaan persoalan ini juga sudah diatur dalam KUHP.

Senada dengan Veri, pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI), Akhiar Salmi, menilai Surat Edaran Kapolri kurang efektif. "Ucapan-ucapan kebencian sudah diatur dalam pasal 310, 315 dan 317 KUHP. Terus juga sudah ada dalan UU No 8 tahun 2011 tentang ITE dan ancamannya cukup berat," kata Akhiar kepada VIVA.co.id, Kamis, 5 November 2015.

Menurut Akhiar, yang harus diperhatikan dalam surat edaran itu adalah latar belakang dan tujuannya. "Kasus ini ‘kan deliknya aduan. Maksudnya kasus ini bisa diproses jika si korban melapor, tidak bisa jika temuan polisi. Jadi tergantung korban dan prosesnya akan panjang karena harus diteliti dan unsurnya memenuhi atau tidak? Itu yang akan memakan waktu," ucapnya.

Penghina Jokowi di Facebook Libatkan Hacker



Jaminan Polisi

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Inspektur Jenderal Anton Charliyan, menepis sinyalemen itu. "Ini bukan untuk menghalangi dan membungkan kebebasan berpendapat," ujar Anton Charliyan di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin 2 November 2015.

Berikut dasar Polri mengeluarkan Surat Edaran tentang penanganan ujaran kebencian. Pertama,  persoalan mengenai ujaran kebencian semakin mendapat perhatian masyarakat, baik nasional maupun internasional seiring dengan meningkatnya kepedulian terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).

Kedua, perbuatan ujaran kebencian memiliki dampak yang merendahkan harkat, martabat manusia dan kemanusiaan seperti yang telah terjadi di Rwanda, Afrika Selatan, atau pun di Indonesia. Ketiga, dari sejarah kemanusiaan di dunia maupun bangsa ini, ujaran kebencian bisa mendorong terjadinya kebencian kolektif, pengucilan, diskriminasi, kekerasan, dan bahkan pada tingkat yang paling mengerikan, pembantian etnis atau genosida terhadap kelompok yang menjadi sasaran ujaran kebencian.

Keempat, ujaran kebencian harus dapat ditangani dengan baik karena dapat merongrong prinsip berbangsa dan bernegara Indonesia yang Berbhinneka Tunggal Ika serta melindungi keragaman kelompok dalam bangsa ini.

Kelima, pemahaman dan pengetahuan atas bentuk-bentuk ujaran kebencian merupakan hal yang penting dimiliki oleh personel Polri selaku aparat Negara yang memiliki tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum serta perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, sehingga dapat diambil tindakan pencegahan sedini mungkin sebelum timbulnya tindak pidana sebagai akibat dari ujaran kebencian tersebut.

Keenam, ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam KUHP dan ketentuan pidana lainnya di KUHP, yang berbentuk antara lain, penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, penyebaran berita bohong. Kemudian, semua tindakan di atas yang memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan konflik sosial.

Ketujuh, ujaran kebencian sebagaimana dimaksud bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek, suku, agama, aliran agama, keyakinan/ kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, orientasi seksual.

Kedelapan, bahwa ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan melalui berbagai media antara lain, orasi kegiatan kampanye, spanduk, jejaring media sosial, demonstrasi, ceramah keagamaan, media massa cetak maupun elektronik, pamflet.

Sembilan, dengan memperhatikan pengertian ujaran kebencian di atas, perbuatan ujaran kebencian apabila tidak dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundan-undangan, akan berpotensi memunculkan konflik sosial dan meluas, dan berpotensi menimbulkan tidak diksriminasi, kekerasan, dan penghilangan nyawa.

Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menjelaskan surat edaran yang dikeluarkannya sangat penting untuk menangani kasus ujaran kebencian. Namun, surat itu bukan hal yang luar biasa untuk diperdebatkan. 

"Surat Edaran hanya untuk memberitahu orang-orang internal kami (Polri), bukan pada masyarakat," ujar Badrodin Haiti di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis, 5 November 2015.

Menurut Badrodin, Surat Edaran bertujuan agar para anggota Polri yang bertugas di lapangan benar-benar mengetahui mana ujaran kebencian dan mana yang bukan.  Dia ingin anggotanya di lapangan paham dengan bentuk-bentuk ujaran kebencian.

"Bagaimana dia (anggota polisi) bisa mencegah kalau dia enggak paham," ujar Badrodin.

Pasalnya, menurut Badrodin, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) di empat kota besar seperti Bandung, Surabaya, Makassar, dan juga Banten, banyak anggota polri yang tak paham soal ujaran kebencian. Sehingga ada keraguan dalam menangani hal tersebut. 

"Ditemukan di lapangan, kalau menangani masalah seperti ini, anggota ragu-ragu, tidak tegas. Sehingga temuan ini (Kompolnas) direkomendasikan ke polisi, supaya bisa menerbitkan regulasi. Akhirnya dipilih surat edaran," kata Badrodin.

Dengan demikian, dalam menerapkan Surat Edaran ini, polisi akan lebih mengedepankan proses mediasi terlebih dahulu antara penyebar kebencian dengan korban, guna mencari titik temu solusi perdamaian. "Kalau tidak bisa solusi itu, maka dilakukan penegakan hukum," ujar Badrodin.

Pengamat Media Sosial Triyono Lukmantoro menilai Surat Edaran itu bukan untuk membatasi masyarakat berpendapat. Surat Edaran itu justru lebih menekankan pada bagaimana penanganan kasus ujaran kebencian yang marak terjadi.

“Jadi kita jangan mencampuradukkan dengan kebebasan berekspresi atau ada ketakutan seakan-akan semua akan diberedel oleh pemerintah dan ditangkap, tidak begitu. Karena hate speech itu ruang lingkupnya adalah bagaimana warga atau siapapun termasuk pejabat negara, kalau dia menyatakan secara provokatif karena membicarakan seseorang karena berlatar belakang agama, maka dia harus ditangkap, harus ditindak secara hukum,” ujar Triyono saat berbincang dengan VIVA.co.id.

Dosen Sosiologi Komunikasi Undip itu juga menilai bahwa Surat Edaran Kapolri itu memang diperlukan. Amerika Serikat saja ada aturan soal hate speech. Kebebasan berpendapat, menurut Triyono, ada regulasinya, di mana pun itu.

“Tapi kemudian, misal, saya menulis di koran atau di sosial media yang merendahkan martabat orang lain, kan saya bisa ditangkap. Saya bebas, tapi kan tidak bisa mengatakan itu kebebasan. Apa kebebasan itu menyerang pihak lain,” ujar Triyono.

Meski begitu, Triyono meminta kepada Kepolisian untuk memperjelas dan menyosialisasikan Surat Edaran ujaran kebencian itu, agar tidak disalahtafsirkan. Dia pun meminta masyarakat bisa membedakan antara kritik, pencemaran nama baik, dan ujaran kebencian.

Hate speech itu, objek atau pokok permasalahannya bagaimana saya mengatakan ketidaksukaan saya, kebencian saya kepada pihak lain, karena dia punya identitas tertentu misal agama, ras, suku, dan seterusnya, seperti itu,” kata Triyono.
 
“Kalau misal di media sosial, di YouTube, ada seorang tokoh yang kemudian mengatakan jika ada pihak yang memprovokasi atau menyerang rumah ibadah tertentu, maka besok akan saya balas.  Nah, itu kan menurut saya memang sengaja memprovokasi, dan itu masuk dalam hate speech,” ujar Triyono.

Wakil Presiden Jusuf Kalla juga secara tegas mendukung Surat Edaran Kapolri. Kalla menilai, tidak sepantasnya seseorang menyebarkan hinaan-hinaan terhadap orang atau pihak lain.

Menurut Kalla, menghina pihak lain sebenarnya sudah diatur ke dalam undang-undang dan peraturan lainnya. Dengan begitu, Kalla merasa heran kenapa ini dipersoalkan. Bagi dia, Surat Edaran Kapolri itu tidak ada yang baru, hanya sebagai pelaksanaan dari peraturan yang sudah ada.

"Menghina kan tidak boleh, mengobarkan rasa benci kan nggak boleh, semua ada pasalnya di KUHP," kata Kalla.

Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Arsul Sani, melihat ada dua hal yang ditimbulkan oleh keluarnya Surat Edaran Kapolri. Di satu sisi, adanya Surat Edaran itu menimbulkan kesan Polri akan bertindak keras terhadap segala ujaran kebencian, terutama di media sosial.

“Di sisi lain, Surat Edaran itu ada sisi positifnya, karena di dalam surat itu Kapolri kedepankan sifat preventif persuasif dalam menangani dugaan ujaran kebencian," kata Arsul ketika berbincang dengan VIVA.co.id, Rabu, 4 November 2015.

Langkah preventif persuasif yang dimaksud oleh politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini adalah jajaran kepolisian harus turun langsung untuk mengingatkan pelaku ujaran kebencian, sebelum melakukan penindakan hukum.

Namun Arsul menyayangkan dimasukkannya unsur pencemaran nama baik individu dalam Surat Edaran itu. Menurutnya, ujaran kebencian lebih ditujukan pada penyerangan kelompok suku, agama, atau ras. Tetapi karena surat ini menginstruksikan agar polisi mengedepankan preventif persuasif, maka Arsul meminta masyarakat tidak perlu khawatir.

Menurut Arsul, yang perlu dipersoalkan sebenarnya bukanlah isi Surat Edaran itu, melainkan implementasi yang dilakukan Kepolisian. Implementasi inilah yang perlu diawasi oleh masyarakat secara ketat. [aba]

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya