Jakarta Macet

Perlu Belajar dari Jepang

VIVAnews – “Jakarta akan macet total pada 2014,” kata Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo beberapa waktu lalu. Macet total, berarti untuk sekedar keluar dari garasi rumah pun, mobil tidak bisa. Jalanan sudah penuh sesak oleh jutaan mobil dan motor.

Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia, Bambang Susantono menilai pernyatan Fauzi Bowo kemungkinan besar bakal menjadi kenyataan. “Hitung-hitungannya sederhana,” ujarnya di Jakarta, Jumat, 19 Juni 2009.

Bayangkan, kata Bambang, luas seluruh jalan Jakarta sebesar 45 juta meter persegi. Pertambahan jalan nyaris tidak ada. Sedangkan, jumlah mobil dan motor di Jakarta terus melonjak. Rata-rata pertumbuhan jumlah motor mencapai 14-15 persen per tahun, sedangkan jumlah mobil tumbuh 9-10 persen. Jika di rata-rata pertumbuhan mobil dan motor 10-12 persen.

Dengan asumsi seperti itu, semua ruang jalan yang ada bakal habis terisi oleh mobil dan motor. Volume setiap mobil dan motor dikalikan dengan jumlah mobil dan motor akan setara dengan total luas jalan Jakarta. “Kalau pun (jalan) tidak habis terisi, kemacetan bakal sangat parah,” kata Bambang.

Data Kepolisian Daerah Metro Jaya dan Asosiasi Industri Otomotif, baik mobil dan motor menambah keyakinan ancaman itu bukan sekadar omong kosong. Data Polda Metro menunjukkan, pada 2007 jumlah mobil dan motor di Jakarta, masing-masing 2,2 juta dan 3,5 juta unit.

Sepanjang 2002-2007, jumlah motor di Jakarta rata-rata naik 300 ribu unit per tahun atau 897 unit per hari. Jumlah itu empat kali lipat dibandingkan pertumbuhan mobil sebesar 80 ribu unit per tahun atau 220 unit per hari. “Jumlah motor bertambah seperti kucing beranak pinak,” kata Fauzi Bowo.

Data Dinas Perhubungan DKI Jakarta tak jauh berbeda. Menurut lembaga ini, jumlah kendaraan pribadi di Jakarta bertambah 1.117 per hari atau 9 persen per tahun. Dengan rata-rata pertumbuhan sebesar itu, pada 2014, jumlah kendaraan di Jakarta saja diperkirakan bakal mencapai sekitar 3 juta unit dan motor 5,5 juta unit.

Jika diasumsikan satu unit mobil setara dengan empat unit motor, sedangkan satu unit mobil membutuhkan ruangan 12 - 15 meter persegi di jalan, maka tak bisa dipungkiri lagi, lima tahun lagi jalan-jalan di Jakarta tak bakal mampu menampung.

Itu belum ditambah kendaraan dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.  Jika wilayah yang mengitari Jakarta ini digabung, pertumbuhan sepeda motor meningkat menjadi rata-rata 526 ribu per tahun dan mobil bertambah 94 ribu per tahun. “Jadi, sudah bisa dibayangkan parahnya kondisi yang bakal terjadi,” kata Bambang.

Jika dihitung pertumbuhan mobil dan motor secara nasional, Indonesia juga tergolong yang tertinggi, seperti China dan India. Di Indonesia, rata-rata jumlah mobil bertambah 500-600 ribu unit dan motor 6 juta unit per tahun.  Karena itu, tak mengherankan jika tudingan mengarah pada industri otomotif.

Namun, sudah bisa ditebak, produsen mobil dan motor sudah pasti bakal mengelak. "Kemacetan bukan gara-gara pertumbuhan jumlah kendaraan,” ujar Presiden Direktur PT Toyota Astra Motor, Johny Darmawan kepada VIVAnews di Jakarta, Rabu, 17 Juni 2009.

Menurut Johny, salah jika karena kemacetan, kemudian produksi mobil dibatasi. Sebab, masalahnya bukan sekadar membuat dan menjual mobil, tapi menyangkut nasib 400 ribu karyawan yang sangat tergantung pada industri itu.

Presiden Direktur Indomobil Group, Gunadi Sindhuwinata juga berpendapat senada. Dia malah memberi contoh Jepang yang populasi mobilnya jauh lebih besar ketimbang Indonesia. Di Jepang, jumlah mobil mencapai 75,8 juta atau sepuluh kali lipat dibandingkan di sini 7 juta unit. "Tetapi, di Jepang tidak ada masalah kemacetan," ujar Gunadi yang juga menjadi Ketua Umum Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI).

Jadi, menurut Johny dan Gunadi, yang perlu dilakukan bukanlah membatasi produksi mobil. Tetapi, bagaimana pemerintah menertibkan dan mengatur manajemen lalu lintas, termasuk menyiapkan transportasi publik yang baik dan memadai, serta mengatur areal parkir. "Misalnya, mobil tua tidak boleh di dalam kota tapi di luar kota," kata Johny.

Bambang Susantono sependapat dengan  pelaku industri otomotif tersebut. Menurut dia, produsen mobil dan motor, serta konsumen pemakai kendaraan pribadi tidak bisa disalahkan atas kemacetan Jakarta. “Fenomena ledakan pengguna motor terjadi karena orang butuh mobilitas,” kata Bambang.

Ruang gerak pengguna mobil dan motor pribadi tak mungkin dibatasi karena mereka menggunakan kendaraan tersebut untuk memenuhi hajat hidup mereka dan keluarganya.

Apalagi, penyebab kemacetan bukan hanya jumlah mobil. Tetapi, juga disebabkan oleh kegiatan yang terpusat di tengah kota, populasi yang meningkat tajam di pinggiran Jakarta, serta angkutan massal yang belum memadai dan belum terintegrasi.

Bangkok saja, yang memiliki infrastruktur transportasi bagus, karena memiliki subway dan monorel. juga masih menghadapi masalah kemacetan. “Apalagi, Jakarta yang belum mempunyai transportasi massal memadai.”

Berbagai hasil survei juga menunjukkan bahwa pemakai jalan lebih suka memakai kendaraan pribadi karena mereka belum memperoleh transportasi publik yang aman, nyaman, serta jadwal yang pasti.

Apalagi, dalam satu hari ada 20 juta perjalanan di Jabodetabek. “Angkutan umum yang ada tak sebanding dengan perjalanan sebanyak itu,” katanya. “Karena itu, mereka terpaksa cari solusi sendiri-sendiri. Jadi, jangan heran jika jumlah sepeda motor meledak.”


Masa Penahanan Siskaeee Diperpanjang Polisi
Putri Anne

Putri Anne Blak-blakan Belum Bisa Move On dari Arya Saloka?

Putri Anne mendapat pertanyaan dari pengguna instagram tentang tips untuk bisa move on.

img_title
VIVA.co.id
19 April 2024