SOROT 364

Sengkarut Izin Pertambangan

Kubangan bekas galian di Pantai Watu Pecak
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dyah Pitaloka

VIVA.co.id - Penganiayaan dan pembunuhan petani penentang aktivitas penambangan ilegal pasir di Lumajang, Jawa Timur, disebut hanya sebagian kecil dari sekian banyak sengketa lahan tambang di Indonesia.

Peristiwa yang menewaskan Salim alias Kancil dan Tosan menjadi perhatian publik begitu terangkat ke media massa. Kasus Salim dan Tosan, barangkali hanya satu dari sebagian kecil kasus sengkarut pertambangan yang tercium pulik. Karena sebetulnya masih banyak kasus serupa yang luput dari perhatian media dan publik meski korbannya tak sedikit.

Asosiasi Pertambangan Rakyat Indonesia (APRI) menengarai biang sengketa-sengketa lahan tambang  di Indonesia karena Pemerintah lebih suka melayani pengusaha tambang ketimbang mengurus tambang. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah gampang menerbitkan izin usaha pertambangan, dan sering mengabaikan keberadaan masyarakat di lokasi penambangan.

Contoh kasus yang paling umum ialah izin diterbitkan, tetapi masyarakat setempat tidak diberi  tahu atau tak dimintai pertimbangan. Pengusaha tak mau tahu karena sudah mengantongi izin. Masyarakat kaget dan bahkan terganggu ketika aktvitas pertambangan dimulai. Lazimnya dari soal itulah sengketa bermula. Warga memprotes. Pengusaha berkukuh. Aparat terlambat mengantisipasi.

"Pengusaha merasa sudah mendapatkan izin, sedangkan rakyat tidak mendapatkan informasi kalau  lahannya menjadi lokasi pertambangan," kata Ketua APRI, Gatot Sugiharto, kepada VIVA.co.id, di  Jakarta, Kamis, 1 Oktober 2015.

Konflik lahan tambang antara perusahaan dengan warga cukup besar karena ada tiga klasifikasi pertambangan berdasarkan golongan bahan galian, yakni golongan A, golongan B, dan golongan C. Golongan A disebut bahan strategis, seperti minyak bumi, gas alam, bitumen, batu bara, dan uranium. Golongan B disebut bahan vital, yang meliputi besi, mangaan, krom, titanium, emas, bauksit, dan tembaga. Sedangkan golongan C disebut bahan tidak strategis dan tak vital, yangmencakup nitrat, garam batu, pasir, batu permata, batu apung, dan pasir kuarsa.

Semua golongan menyimpan potensi konflik. Penambangan ilegal pasir di Lumajang yang termasuk dalam kategori tidak strategis dan tak vital saja sampai memakan korban tewas dan luka. Apalagi pertambangan yang disebut strategis atau vital.

Kisah Tangisan Anak TK Iringi Penyiksaan Salim Kancil

Kediaman Salim Kancil di Desa Selok Awar-Awar

Kediaman Salim Kancil di Desa Selok Awar-Awar. Foto: VIVA.co.id/Dyah Pitaloka

Kades Pembunuh Salim Kancil Rutin Suap Muspika

 

Kasus yang menewaskan Salim alias Kancil dan melukai Tosan itu pun baru di satu lokasi, yakni  di Desa Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian. Masih ada puluhan tambang pasir di kabupaten itu,  tambang yang legal maupun ilegal.

Tosan Rekan Salim Kancil Kebal Ditebas Aneka Senjata Tajam

Khusus untuk penambangan batu dan pasir, Kabupaten Lumajang menyatakan memiliki bahan galian  pasir dan batu bangunan seluas 82,50 hektare. Areal pasir dan batu yang dieksploitasi baru 15  hektare dengan volume 239.065 meter persegi atau hanya 4 persen dari kapasitas yang tersedia.

Konflik Agraria


Sengketa pertambangan termasuk dalam konflik agraria. Istilah tepatnya konflik agraria  struktural. Konflik itu didefinisikan sebagai konflik yang diakibatkan kebijakan atau putusan pejabat publik dan mengakibatkan banyak korban serta berdampak luas secara sosial, ekonomi, dan politik. Mencakup sektor perkebunan, infrastruktur, kehutanan, pertambangan, dan pesisir/perairan.

Berdasarkan riset Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), konflik agraria secara umum cenderungmeningkat sejak tahun 2009 sampai 2014. Ada 89 konflik agraria pada 2009. Jumlah itu terusmeningkat dari tahun ke tahun sampai 2014. Puncaknya mencapai 472 konflik agraria pada 2014.

Seiring dengan peningkatan jumlah konflik agraria, luas areal konflik selama 2009-2014 juganaik tajam. Pada tahun 2009, luas areal konflik tercatat 133 ribu hektare. Jumlah itu terusnaik dari tahun ke tahun sampai 2014, yang mencapai 2,8 juta hektare. Peningkatannya mencapai 2.046,6 persen.

Kasus atau konflik terbanyak memang pada sektor perkebunan, lalu infrastruktur, dan kehutanan. Selama 2012-2014, konflik di sektor perkebunan meningkat sebanyak 95 konflik atau 105,6 persen, sementara konflik di sektor infrastruktur meningkat sebanyak 155 konflik atau 258 persen.

Konflik pertambangan tergolong sedikit dibanding pada sektor perkebunan, infrastruktur, dan kehutanan. Tapi jumlahnya naik-turun. Ada 21 kasus pada 2012, lalu naik menjadi 38 kasus pada 2013, dan turun menjadi 14 kasus pada 2014.

Selama 2013-2014, luas areal konflik di sektor perkebunan, infrastruktur dan pesisir/perairan meningkat. Sektor perkebunan seluas 527 ribu hektare pada 2013 dan meningkat menjadi 924 ribu hektare pada 2014. Sektor infrastruktur seluas 35 ribu hektare pada 2013 lalu naik 74 ribu pada 2014.

Peningkatan paling tajam terjadi di sektor pesisir/perairan. Luas areal konflik di sektor itu hanya seluas 184 hektare pada 2013, lalu melonjak menjadi 1,548 juta hektare pada 2014.

Luas areal konflik di sektor pertambangan dan kehutanan menurun. Pada sektor pertambangan seluas 197 ribu hektare pada 2013 dan turun menjadi seluas 6,953 hektare pada 2014. Sedangkan pada sektor kehutanan seluas 545 ribu hektare pada 2013, kemudian turun menjadi 271 ribu hektare pada 2014.

Ada sepuluh besar provinsi dengan konflik terbesar, di antaranya, Sumatera utara (10,84 persen), Jawa Timur (10,57 persen), Jawa Barat (8,94 persen), Riau (8,67 persen), Sumatera Selatan (2,6 persen), Jambi (5,96 persen), DKI Jakarta (5,69 persen), Jawa Tengah (4,61 persen), Sulawesi Tengah (3,52 persen), dan Lampung (2,98 persen).

Selanjutnya... Efek Otonomi Daerah



Efek Otonomi Daerah

Kasus-kasus konflik pertambangan sesungguhnya tak bisa dilepaskan dari otonomi daerah. Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara semangatnya pun  berdasarkan otonomi daerah. Dahulu izin usaha pertambangan adalah wewenang pemerintah pusat. Sejak era otonomi daerah, gubernur dan bupati/wali kota diberi kewenangan menerbitkan izin pertambangan.

Pemerintah daerah juga punya kekuasaan baru, yakni menentukan wilayah pertambangan, yang  sebelumnya menjadi wewenang pemerintah pusat. Pemerintah daerah bisa menentukan wilayah pertambangan (WP), wilayah usaha pertambangan (WUP), serta luas dan batas wilayah izin usaha pertambangan (WIUP).

Izin-izin itu tentu harus dipenuhi dengan berbagai syarat, di antaranya, biaya pengurusan hingga setoran untuk setiap ton bijih mineral yang akan diekspor. Berbagai kewenangan itu dalam sejumlah kasus disalahgunakan untuk menerbitkan sebanyak-banyak izin.

Sejak kepala daerah memiliki banyak kewenangan dalam pertambangan itu, pelaku usaha mineral di daerah mengalami banyak pungutan. Pungutan makin menjadi menjelang pemilihan kepala daerah.

Ada tiga jenis pungutan yang banyak dikeluhkan. Pertama, kepala daerah menerapkan tarif sebesar Rp500 juta hingga Rp1 miliar untuk setiap Izin Usaha Pertambangan (IUP). Kedua, kepala daerah meminta saham kosong perusahaan tambang atas nama keluarga atau tim suksesnya sebagai syarat penerbitan IUP. Ketiga, kepala daerah meminta jatah dari setiap ton bijih mineral yang akan diekspor.

Menurut Gatot Sugiharto, pemerintah daerah sesungguhnya lebih mengutamakan menerbitkan izin pertambangan besar daripada pertambangan rakyat. Soalnya pertambangan besar akan lebih banyak mendatangkan uang, yang kelak dapat dipakai untuk biaya kampanye dalam pilkada.

"Dia mencari uangnya dengan mengeluarkan izin sebanyak-banyaknya. Setiap mengeluarkan izin, (calon kepala daerah incumbent/petahana) bisa mendapat uang besar untuk pilkada," katanya.

Dia menyebut seorang oknum kepala daerah bisa mendapatkan Rp1 miliar dari pungutan untuk setiap izin yang diterbitkan. Kalau mengeluarkan sepuluh izin, potensi uang yang didapatkan sebesar Rp10 miliar.

Pada sisi lain, Gatot tak memungkiri ada ada mafia pertambangan. Modus yang kerap digunakan mafia adalah mereka mengurus izin pertambangan, lalu dijual kepada pengusaha tambang. Mafia itu pun menyediakan jasa menyokong atau membekingi tambang ilegal alias tak berizin.

Keberadaan oknum-oknum yang memanfaatkan celah hukum dan birokrasi itu, kata Gatot, dipicu kerumitan perizinan yang harus diproses untuk bisa menambang di satu lokasi. Misalnya, di Kalimantan, untuk bisa menambang emas, pengusaha harus mengajukan izin eksplorasi dan eksploitasi. Waktu proses perizinan eksplorasi itu butuh waktu dua-lima tahun. Setelah itu baru eksploitasi.

Proses untuk eksploitasi pun harus memenuhi syarat analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan uji kelayakan serta biaya yang tak sedikit. Alasan itulah yang membuat penambang ogah mengurus perizinan sehingga memanfaatkan pihak lain.

Organisasi nirlaba Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengamati memang ada obral perizinan tambang terutama saat tahun pilkada dan setahun setelahnya. Dicurigai pula setiap perizinan itu ada kesepakatan tertentu antara calon petahana dengan pengusaha tambang.

"Di banyak tempat di rentang waktu 2010 sampai 2014, kita lihat di 20 kabupaten yang kaya sumber daya alam, terutama pertambangan, di setahun saat pilkada dan setahun setelah pilkada, ada lonjakan perizinan," kata Manajer Emergency Response Jatam, Ki Bagus Hadikusuma, kepada VIVA.co.id di Jakarta, Kamis, 1 Oktober 2015.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariono, mengingatkan bahwa Pemerintah Pusat tak lagi memiliki banyak kewenangan dalam hal itu. Kementerian ESDM hanya memberikan pedoman, regulasi, dan standar operasional prosedur.

"Pemdalah yang melaksanakan dan yang mengawasi," katanya dihubungi VIVA.co.id pada Kamis, 1 Oktober 2015.

Bambang mengaku mendengar informasi bahwa terjadi peningkatan jumlah penerbitan izin pertambangan saat tahun pilkada dan setahun setelahnya. "Itu sudah berita dulu. Tapi kalau sekarang, ya, enggak tahu (masih ada atau tidak)."

Sawah di pesisir pantai Watu Pecak terendam air laut

Sawah di pesisir pantai Watu Pecak terendam air laut. Foto: VIVA.co.id/Dyah Pitaloka

 

Kerugian Negara

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan persoalan-persoalan sistem pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor mineral dan batubara (minerba). Di antaranya, sebanyak 34 kontrak karya (KK) dan 78 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) belum dilaksanakan sebagaimana amanat Undang-Undang Minerba. Kedua hal itu seharusnya sudah selesai pada 12 Januari 2010.

Menurut KPK, dampak 34 KK dan 78 PKP2B yang belum direnegosiasi itu ialah pembayaran PNBP tidak berdasarkan aturan terkini. Misalnya, dalam pembayaran royalti emas. Sesuai isi kontrak karya antara pemerintah dan suatu perusahaan pertambangan, royalti yang harus dibayar hanya satu persen.

Seharusnya, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak, tarif terbaru royalti emas sebesar 3,755 persen. Per 12 Januari 2012, hasil pertambangan minerba harus diolah dan dimurnikan di dalam negeri sebelum diekspor. Namun, pemerintah justru memberikan relaksasi tiga tahun sampai 12 Januari 2017.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, ada 10.922 IUP di Indonesia. Sebanyak 4.880 berstatus Non-C&C atau tidak memenuhi kriteria clean and clear. Menurut data Direktorat Jenderal Pajak, sebanyak semua IUP itu berasal dari 7.754 perusahaan. Sebanyak 3.202 di antaranya tidak teridentifikasi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan semua tidak melaporkan surat pemberitahuan pajak.

Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, 10.922 IUP plus 111 perusahaan KK dan PKP2B itu berada di hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Rata-rata perusahaan kurang bayar PNBP adalah 72,89 persen. Dari 8 provinsi, jumlah kurang bayar PNBP tahun 2011-2013 sebesar Rp331 miliar dan US$546 juta.

KPK menaksir potensi kerugian keuangan negara dari sektor minerba mencapai Rp35,6 triliun dan US$1,79 juta. Jumlah itu dihitung dari piutang PNBP tahun 2011-2013, potensi penerimaan pajak yang hilang, kerugian negara berdasarkan verifikasi data ekspor mineral, serta potensi royalti yang tidak dibayarkan. (umi)

Lilis Khalisotussurur turut melaporkan

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya