SOROT 360

Demam Transportasi Online

Ribuan Orang Padati Ojek Fair di Senayan
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin

VIVA.co.id -  Hari masih pagi. Jam di tangan masih menunjuk angka sembilan. Namun, ribuan orang sudah terlihat berkerumun dan berjejal di parkir lapangan tenis, Senayan, Jakarta. Ada yang duduk di atas motor.

Jarak Dekat Bayar Rp595 Ribu, Uber Minta Maaf ke Pelanggan

Sementara yang lain memilih turun dan menuntun motornya. Mereka berebut untuk maju lebih dulu. Pasalnya, antrean tersebut sangat panjang, mengular dan nyaris menutup jalan di seputaran Senayan.

Sejumlah orang mengenakan seragam GrabBike tampak sigap melayani mereka. Ada yang duduk di belakang meja pendaftaran. Ada yang menangani bagian pemotretan. Dan ada yang mondar mandir untuk mengatur barisan antrean agar tertib dan tak membuat keributan.

Naik Uber dari Kasablanka ke Setiabudi, Bayarnya Rp595 Ribu!

Tak jauh dari mereka tampak sejumlah tenda yang dipasang. Di dalamnya terlihat puluhan orang menggerombol. Di depan mereka tampak orang berseragam GrabBike sedang memberikan arahan. Puluhan orang ini sedang mendengarkan penjelasan dan belajar menggunakan aplikasi GrabBike melalui telepon genggam.

Mereka merupakan orang-orang yang ingin bergabung dengan GrabBike, sebuah layanan ojek online. Sebagai calon driver, orang-orang ini mesti mengikuti sejumlah tahapan, mulai dari registrasi, pemotretan, orientasi hingga belajar mengemudikan kendaraan. Setelah itu mereka baru bisa membawa pulang jaket dan helm berlogo GrabBike dan menjadi mitra perusahaan layanan ojek online ini.

Ratusan Driver Gojek Sweeping Ojek Pangkalan di Margonda

Panjangnya antrean dan banyaknya orang yang ingin bergabung dengan GrabBike ini menunjukkan antusiasme yang tinggi terhadap layanan ojek online yang sedang booming ini.

Pasalnya, tak hanya GrabBike yang diserbu ribuan orang, stand Gojek juga dipadati oleh orang-orang yang ingin menjadi mitra perusahaan besutan Nadiem Makarim tersebut. Bedanya, jika GrabBike melakukan perekrutan secara terbuka, Gojek memilih tertutup. Selain itu, Gojek melakukan perekrutan massal selama sebulan. Sementara itu, GrabBike hanya beberapa hari.

“Selama ini kita hanya bisa merekrut di bawah seratus ojek setiap harinya. Maka dari itu besok diharapkan dapat menggaet ribuan driver yang sebelumnya kesulitan untuk bergabung dengan kami. Pokoknya besok ingin sampai lima digit jumlah drivernya,” ujar Head of Marketing GrabTaxi Indonesia, Kiki Rizki kepada VIVA.co.id beberapa waktu yang lalu.

Demam Ojek Online
Chief Executive Officer (CEO) Gojek Nadiem Makarim mengatakan, ojek online yang ia bangun awalnya hanya mengandalkan call center atau pemesanan melalui sambungan telepon. Setelah maraknya start-up dan pembuatan aplikasi mobile, ia memutuskan untuk mempermudah pemesanan melalui smartphone.

Sejak peluncuran aplikasi ini pada Januari 2015, pemesanan melalui aplikasi melonjak hingga 10 kali lipat menjadi 10 ribu. Dalam enam bulan, aplikasi Gojek telah diunduh hampir 400 ribu kali.

Ribuan Orang Padati Ojek Fair di Senayan

Nadiem Makarim, Chief Executive Officer (CEO) Gojek.

Armada ojek yang dimiliki Gojek pun diklaim telah mencapai 15.000 unit dan menyebar di Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Bali, dan Makassar. Sementara, GrabBike yang mulai beroperasi di Jakarta pada akhir Mei lalu belum bersedia mengungkapkan jumlah armada yang mereka miliki.

Gojek dan GrabBike sebenarnya bukan yang pertama dalam bisnis layanan transportasi berbasis online ini. Jika dirunut, aplikasi UberTaxi menjadi yang pertama dikenal masyarakat Indonesia.

Aplikasi ridesharing itu muncul pada pertengahan 2014 dan langsung menarik perhatian. Tak hanya pengguna, tapi juga pemerintah dan regulator transportasi. Namun, fenomena taksi online tak seheboh ojek online. Hal ini karena ojek merupakan transportasi massal yang murah dan mampu menembus kemacetan Jakarta, tak seperti taksi.

Ojek dianggap sebagai transportasi yang cocok bagi warga ibu kota. Tak heran, jika kemudian Gojek mengambil alih fenomena taksi online. Keberadaan Gojek merangsang perusahaan lain untuk membuat layanan serupa. Sebut saja, GrabBike, Blu-jek, sampai Ojesy (ojek syariah). Semua memiliki niat yang sama, menawarkan kecepatan dan kemudahan dengan menghalau kemacetan Jakarta.

Profesi Baru yang Menjanjikan
Para driver mengaku, pendapatan mereka meningkat setelah mendapatkan order dengan aplikasi online. Mereka tak lagi perlu ngetem di sudut-sudut jalan untuk menunggu rejeki datang. Cukup dengan aplikasi, order langsung terlihat, mereka bergegas, mengambil penumpang sampai tujuan, lalu mendapatkan fee yang langsung masuk ke rekening mereka.

Gojek.

Para driver mengaku, pendapatan mereka meningkat setelah mendapatkan order dengan aplikasi online.

Pembagian hasil memang berbeda di setiap aplikasi ridesharing yang ada. Dalam sebulan, seorang driver bisa meraup pendapatan hingga Rp7 jutaan. Apalagi, driver tidak dituntut untuk selalu standby. Tak heran jika banyak yang menjadikan platform ini sebagai pekerjaan sampingan.

Endang misalnya. Ia telah menjalani profesi sebagai driver GoJek selama 6 bulan dan bisa mengantongi Rp5 juta hingga Rp8 juta per bulan. Sedangkan Evrizal, driver GrabBike yang baru dua hari bergabung, mengaku mendapat penghasian Rp150.000 per hari.

Pendapatan keduanya memang jauh berbeda. Bukan hanya karena jumlah armada yang tak sebanding, tapi juga karena Gojek memiliki banyak layanan ketimbang GrabBike. Gojek tak hanya membuka layanan ojek tapi juga mengantar barang (kurir), pembelian barang, sampai pemesanan makanan.

“Kita juga dikasih hp, bayarnya nyicil dipotong dari penghasilan tiap hari. Penghasilan dibagi 20 persen untuk Gojek dan sisanya untuk kami. Selain itu juga dikasih jaket, dua helm dan masker. Training mengemudi juga ada. Asuransi kecelakaan," ujar Muhammad Hasan, driver Gojek  kepada VIVA.co.id, Rabu, 2 September 2015.

"Belum dihitung bonus kalau target order per hari tercapai. Dari tidak tahu menggunakan smartphone, kita jadi tahu teknologi. Dari tidak tahu cara mengemudi yang baik, kita jadi tahu,”  kata dia.

Demi profesi barunya itu, Hasan rela berhenti dari pekerjaannya sebagai supervisor di sebuah perusahaan. Ia mengaku, sejak jadi driver Gojek, istrinya leluasa menjaga anak di rumah tanpa harus ikut banting tulang. Padahal, istrinya adalah pegawai bank.

GrabBike juga memberikan benefit serupa. Setelah diberikan pelatihan penggunaan mobile app, mereka memberikan pelatihan lalu lintas. GrabBike juga merencanakan pelatihan bahasa Inggris, medical check up hingga bantuan dana pendidikan bagi anak pengendara yang berprestasi. Pengemudi juga mendapatkan jaminan pensiun dan asuransi kecelakaan.

“Untuk GrabBike sesuai jarak dan lamanya berhenti. Di Indonesia untuk GrabBike pembagian keuntungannya 90 persen untuk pengendara dan 10 persen untuk kami,” ujar Kiki menjelaskan.

Uber mengklaim lebih ekstrem lagi. Menurut juru bicara Uber, Karun Arya, layanan yang sudah digunakan di 337 kota dan 60 negara di dunia ini telah mampu menciptakan peluang ekonomi baru sekaligus alternatif berkendara yang aman.

“Kesempatan ekonomi terbuka luas dengan waktu kerja yang fleksibel. Rata-rata supir yang bekerja penuh mampu menghasilkan Rp12 juta per bulan. Kami membuka kesempatan bagi para supir taksi untuk merasakan keuntungan yang sama dan peningkatan taraf hidup di Uber,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Jumat, 4 September 2015.

Masyarakat mengaku senang dengan keberadaan transportasi berbasis online ini. Kunti Vovelita (32) misalnya. Ia mengatakan, keberadaan Gojek dan sejenisnya memudahkan ia saat akan bepergian atau berangkat kerja. Selain tak perlu panas-panasan menuju pangkalan ojek atau taksi, ia bisa mendapatkan harga yang sesuai dengan jarak tempuh (value for money).

“Selain murah, nggak perlu nunggu lama, bayarnya juga ga perlu tunai. Argonya bisa diperkirakan dulu sebelum pakai layanan. Malah saya sering dapat promo sehingga pemakaian kadang gratis, potong kredit saja.”

Terganjal Aturan
Meski menguntungkan penumpang dan pengemudi, aplikasi ridesharing ini meresahkan sebagian kalangan. Salah satunya dari ojek konvensional dan organisasi angkutan darat (Organda). Mereka menuding, jasa angkutan berbasis online tersebut ilegal karena tak diatur undang-undang dan tak mengantongi izin.

“Uber, Gojek itu ilegal. Kalau ilegal, saya enggak mendukung. Jelas ada ketentuan yang dilanggar. Soal aplikasinya, oke. Itu bagus dalam rangka mendekatkan kebutuhan pelanggan dengan operator transportasi. Tapi kalau yang dioperasikan kendaraan ilegal, tidak dianggap angkutan umum, ini enggak bener namanya,” ujar Ketua DPD Organda DKI Jakarta, Shafruhan Sinungan kepada VIVA.co.id, Kamis, 3 September 2015.

Shafruhan menilai, selain menyalahi undang-undang, keberadaan jasa transporatsi online tersebut juga membuat pendapatan anggota mereka menurun drastic hingga 30 persen. Untuk itu, Organda meminta pemerintah menindak tegas atau jika perlu mengubah UU yang berlaku sehingga bisa melegalkan layanan ridesharing itu.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengaku tak bisa melegalkan keberadaan layanan transportasi berbasis online tersebut, karena itu merupakan wewenang pemerintah pusat. Untuk Uber, Pemda pernah melakukan tindakan tegas dengan mempolisikan 10 unit kendaraan Uber Taxi. Namun, hal itu tidak bisa  dilakukan terhadap Gojek.

“Untuk mengaturnya tidak bisa dengan membuat perda/pergub yang hanya mempengaruhi Jakarta. Harus regulasi yang berlaku di seluruh Indonesia. Gojek pun sekarang tidak hanya ada di Jakarta," ujar Wakil Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta, Pargaulan Butar Butar kepada VIVA.co.id, Jumat, 4 September 2015.

"Kalau Gojek ini, kami sebagai orang perhubungan tidak bisa menindak tapi memang kenyataannya tidak sesuai peraturan yang berlaku. Jadi seharusnya dihentikan. Gojek itu menjadikan ojek sebagai angkutan umum. Di UU nomor 22 tahun 2009 kan tidak ada,” tuturnya.

Pengamat transportasi Ellen Tangkudung menilai, Gojek, Uber dan aplikasi ridesharing tidak berbisnis dengan sehat. Mereka melakukan banting harga sehingga menuai kecaman dan amarah dari pihak yang dirugikan. Potensi penyalahgunaan layanan juga sangat mungkin terjadi. Apalagi Gojek yang notabene memiliki banyak layanan.

“Gesekan terjadi kan karena persaingan harga. Harusnya yang dilakukan mereka ya jangan pakai harga banting seperti itu, itu kan harga subsidi, sampai kapan mereka bisa kasih subsidi. Untuk dilegalkan saya tidak setuju," ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 3 September 2015.

Kenapa tidak dimasukkan dalam angkutan umum di UU, karena dari dahulu kita tahu faktor keselamatan ojek itu rendah. Nah karena faktor keselamatannya rendah maka seharusnya orang yang naik ojek membayar asuransi, karena resikonya lebih besar,” kata dia.

Namun, hal itu disanggah Karun Arya. Ia mengatakan, Uber, Grab, maupun Gojek seharusnya tidak dihadapkan dengan isu transportasi ilegal. Ia beralasan, mereka bukan penyedia jasa transportasi melainkan penyedia teknologi berupa aplikasi untuk transportasi.

“Uber adalah perusahaan teknologi, bukan perusahaan transportasi apalagi penyedia layanan taksi. Di seluruh negara operasional, kami telah berkomitmen untuk membantu pemerintah menghadirkan regulasi spesifik yang masuk akal dan bisa diterapkan untuk menyediakan angkutan yang aman, nyaman dan berkualitas bagi tiap kota. Kami selalu terbuka untuk diskusi dengan pemerintah maupun nonpemerintah mengenai keuntungan dari penggunaan teknologi kami.”

Panas matahari mulai menyengat kulit, dan hari beranjak siang. Jam di tangan juga sudah bergeser ke arah pukul 14.00. Namun, kerumunan orang seolah tak berkurang. Antrian juga masih tampak panjang. Beberapa orang tampak mengelap keringat yang mulai bercucuran. Sementara, sebagian yang lain sudah beranjak pulang dengan menenteng jaket dan helm hasil pembagian.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya