SOROT 347

Sepakbola Indonesia Berduka

Kantor PSSI di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA/Hafidz Mubarak A.

VIVA.co.id - Lagu Indonesia Raya berkumandang di Stadion Jalan Besar, Singapura, Selasa, 2 Juni 2015. Di tengah lapangan, berdiri barisan tim sepakbola Myanmar dan tentu saja Indonesia.

Dugaan Korupsi Kembali Hantam FIFA

Kedua tim diperkuat para pemain U-23. Mereka bertarung di babak penyisihan Grup A SEA Games 2015.

Saat musik mengalun, barisan Timnas U-23 besutan Aji Santoso, sudah menghadap ke bendera Merah Putih. Posisi mereka serong. Sembari memegang logo Garuda di kostum tim di dada bagian kiri, para pemain tampak komat-kamit mengikuti syair lagu ciptaan WR Supratman tersebut.

Kamera mulai menyoroti satu per satu pemain Indonesia yang tampil sebagai starter. Sesekali berganti ke tribun penonton, lalu kembali menyorot wajah pemain-pemain Indonesia. Dan hap, saat kamera mengarah ke wajah Evan Dimas Darmono, tampak butiran air mata di pipinya!  

Cukup lama kamera merekam ekspresi mantan kapten Timnas U-19 tersebut. Dan, air mata di pipi Evan kembali terlihat. Evan juga sempat menyeka wajahnya dengan lengan kiri.

Tak lama, lagu berhenti. Seperti kebiasaan pada pertandingan-pertandingan sebelumnya, pemain kelahiran Surabaya itu menutup wajah dengan kedua tangannya. Bedanya, kali ini diiringi dengan gerakan lengan kiri menyapu kedua matanya untuk membersihkan air mata yang tersisa.

Terlibat Kasus Pidana, Eks Sekjen FIFA Terancam Masuk Bui

Tak hanya Evan yang berurai air mata. Gelandang Garuda Muda, Adam Alis, juga menunjukkan ekspresi sama. Bahkan, Pelatih Timnas U-23, Aji Santoso, tanpa malu-malu mengakui kalau dia juga ikut menangis saat menyanyikan lagu Indonesia Raya jelang duel melawan Myanmar.

"Saat lagu kebangsaan Indonesia dimainkan, beberapa pemain menangis dan begitu juga saya," ujar Aji dalam sebuah wawancara dengan tvOne.

Pangeran Ali Desak Pemilihan Presiden FIFA Ditunda

Menurut Aji, selain rasa bangga mengenakan kostum Merah Putih, ada rasa gelisah dan gundah yang membebani pundak pemain jelang laga.

Laga Indonesia vs Myanmar di Sea Games 2015 Singapura

Para pemain Indonesia dan Myanmar saling berebut bola dalam laga putaran I Sepak Bola Sea Games ke-28 di Stadion Jalan Besar, Singapura, Selasa (2/5/2015). Foto: ANTARA/Nyoman Budhiana

"Saya sadar ini adalah laga terakhir kami memainkan laga internasional sampai sanksi dari FIFA akhirnya dicabut. Berapa lama itu yang jadi pertanyaan semua orang. Dua tahun, tiga tahun, atau empat tahun?" ujar mantan pemain Persebaya Surabaya itu.

Menghadapi Myanmar, Indonesia U-23 akhirnya kalah 2-4. Namun, masih ada tiga pertandingan lagi yang akan menentukan langkah Indonesia menuju babak semifinal SEA Games 2015.

Sanksi FIFA memang telah membebani para pemain Timnas U-23, bahkan sebelum mereka bertolak ke Singapura. Keberangkatan mereka juga sempat tertunda menunggu kepastian sanksi tersebut.

Para pemain sempat terhibur setelah ada "angin segar". Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, memanggil pihak-pihak terkait, termasuk Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi, 25 Mei lalu.

Saat itu, JK meminta menpora untuk mencabut surat keputusan (SK) pembekuan PSSI, demi menghindari sanksi FIFA. Namun, suasana hati mereka kembali tak menentu, saat Menpora Imam Nahrawi tak kunjung mengindahkan permintaan tersebut.

Hingga akhirnya, sanksi dari otoritas sepakbola dunia itu benar-benar turun pada 30 Mei 2015.

Sanksi dijatuhkan, setelah FIFA menggelar rapat Komite Eksekutif (Exco) di Zurich, Swiss, sehari setelah Kongres ke-65 digelar, 29 Mei 2015. Surat yang ditujukan kepada PSSI itu ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) FIFA, Jerome Valcke.

Dalam surat itu, PSSI divonis melanggar artikel ke-13 dan 17 statuta FIFA atas intervensi yang dilakukan pihak ketiga, dalam hal ini, Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan lembaga di bawahnya.

Hukuman pun dijatuhkan sesuai dengan artikel ke-14 ayat 1 statuta FIFA yang hanya bisa dicabut dengan empat syarat. Pertama, FIFA meminta agar Komite Eksekutif (Exco) PSSI untuk mengatur kegiatannya secara independen.

Artinya, FIFA mendesak PSSI segera menyelesaikan masalahnya dengan Kemenpora. Otoritas tertinggi sepakbola dunia itu berharap kegiatan PSSI tak lagi dicampuri pemerintah beserta kroni-kroninya dan SK Pembekuan PSSI segera dicabut.

Permintaan lainnya adalah terkait supervisi timnas. FIFA menyarankan agar PSSI tetap mengelola timnas. Mereka tidak membenarkan pihak luar, seperti Tim Transisi, untuk mengelola timnas di semua level.

Selain masalah timnas, kompetisi juga disinggung. Pihak pemerintah didesak oleh FIFA untuk mengembalikan otoritas kompetisi kepada PSSI.

Dan yang terakhir, FIFA berharap masalah lisensi klub tak lagi direcoki. Menurut FIFA, yang berhak melakukan licensing terhadap klub-klub peserta kompetisi hanya lah PSSI sebagai anggota resmi dari FIFA.

Keterangan pers soal kisruh Kemenpora-PSSI

Jusuf Kalla dan Ketua KOI Rita Subowo, Ketua Dewan Kehormatan PSSI Agum Gumelar, dan Wakil Ketua PSSI hasil KLB Surabaya Hinca Panjaitan memberikan keterangan pers soal kisruh Kemenpora-PSSI. Foto: ANTARA/Andika Wahyu

 

Terkucil dari Pentas Internasional
Indonesia merupakan negara ke-12 yang dijatuhi sanksi oleh FIFA. Sebelumnya, negara-negara seperti Yunani, Iran, Kenya, Kuwait, Ethiopia, Madagaskar, Peru, Brunei Darussalam, Irak, Nigeria, dan Kamerun, telah lebih dulu merasakan hukuman ini. Biang keladinya juga sama, yakni campur tangan pihak ketiga terhadap masing-masing federasi!

Dengan sanksi ini, Indonesia dipastikan tak boleh beraktivitas di kompetisi-kompetisi internasional. Tak cuma timnas, klub juga dilarang untuk berhubungan dengan dunia luar.

Terkait pemain yang berlaga di luar negeri, FIFA mengizinkan mereka untuk menghabiskan kontrak bersama klub. Namun, untuk perpanjangan, jika sanksi tak juga dicabut, mereka tak diizinkan.

Hukuman ini berlaku sampai batas waktu yang tidak ditentukan, hingga pemerintah Indonesia memberikan jaminan tidak akan mencampuri urusan rumah tangga PSSI lagi.

Beruntung, FIFA memang masih mengizinkan Timnas U-23 berlaga di SEA Games 2015. Namun tetap saja, kegelisahan para pemain Timnas U-23 tak surut, karena mimpi mereka untuk membela Indonesia di pentas internasional terhenti lebih awal bila sanksi tak juga dicabut FIFA.

Sekjen PSSI, Azwan Karim, mengatakan, hingga saat ini masih merinci kerugian yang dialami sepakbola Indonesia akibat sanksi FIFA. Namun, Azwan menegaskan, hukuman tersebut telah membuat dana miliaran rupiah menguap begitu saja.

”Kami hanya ingin memberitahu kepada publik dan Kemenpora bahwa dana beberapa miliar rupiah yang kami cari sendiri, tanpa bantuan pemerintah untuk persiapan Timnas U-19 dan U-16 sekarang menguap begitu saja,” ujar Azwan.

”Begitu juga dengan U-14 wanita, meski tidak menghabiskan dana yang signifikan. Tapi, ini kan awal bagi kita, tapi sekarang kalah sebelum berperang,” tutur Azwan.

Sejumlah bantuan FIFA dan AFC yang sudah resmi dihentikan adalah kursus pelatih. Mulai untuk lisensi A, B, dan C. Lalu, ada AFC Financial Assistance Programme (AFAP) dan bantuan teknis semua juga disetop.

“Tadinya kami mau apply buat expert full. Jadi, mereka mengirimkan pelatih dan wasit pengalaman untuk memberikan pelatihan, itu juga batal,” kata Azwan.

“AFC juga rencananya mau memberi bantuan beberapa lapangan mini, tidak cuma satu. Peralatan lapangan lengkap. Tapi, tinggal mimpi, tinggal kenangan, padahal semuanya gratis.”

Menurut Azwan, setiap tahun PSSI mendapat bantuan dari FIFA berupa FIFA Financial Assistance Programme (FFAP) senilai US$250 ribu. Tahun lalu, PSSI juga dapat bonus Piala Dunia US$500 ribu. Namun, dana ini terancam disetop setelah sanksi FIFA turun.

Sanksi FIFA juga membuat Indonesia batal tampil di kualifikasi Piala Dunia 2018. Padahal sesuai jadwal, Indonesia harusnya sudah berhadapan dengan China Taipei (11 Juni 2015) dan Irak (16 Juni 2015) pada penyisihan Grup F.

Selain itu, AFC telah "menendang" Indonesia dari Piala Asia U-16 dan kualifikasi Piala Asia U-19. Sementara itu, yang terbaru adalah, AFC telah resmi mencabut status Indonesia sebagai tuan rumah untuk Piala AFF U-16 dan AFF U-19.

Di level klub, AFC juga telah memastikan Persipura Jayapura tersingkir dari babak 16 AFC Cup 2015. Padahal sebelumnya, Mutiara Hitam masih menyimpan asa untuk bertarung melawan Pahang FA, meski sebelumnya sempat tertunda akibat visa tiga pemain lawan yang tidak terbit.

Pembatalan ini kemudian diikuti dengan pembubaran tim Persipura. Pembubaran diumumkan Jumat, 5 Juni 2015 dalam sebuah acara jumpa pers yang digelar di Jayapura.

Ketua Umum Persipura, Benhur Tomi Mano, mengatakan bahwa kontrak seluruh pemain diputus. Alasannya jelas, sanksi dari FIFA. Mereka pun menuntut pertanggungjawaban Menpora Imam Nahrawi.

"Detik ini, menit ini, dan jam ini juga tim Persipura dibubarkan. Kontrak pemain diputus," kata Benhur dalam rilis yang diterima wartawan, Jumat 5 Juni 2015.

Sejak kompetisi di Tanah Air terhenti mulai 17 April lalu, klub-klub sudah banyak yang membubarkan timnya dan semakin banyak yang mengikutinya usai jatuhnya sanksi FIFA. Hal ini harus dilakukan demi menghindari kerugian yang lebih besar akibat terhentinya dana sponsor.

Imbas dari semuanya, pemain tentu saja menjadi pihak yang paling menderita. Terhentinya kompetisi telah membuat sejumlah pemain, bahkan yang sempat berlabel timnas harus tampil di pertandingan antarkampung (tarkam) demi menjaga dapur rumahnya tetap mengepul.

Mereka mencari dana tambahan dengan mempertaruhkan kariernya sebagai pemain profesional.

"Pasti (sulit). Situasi dalam ketidakpastian itu sangat sulit bagi pemain. Bagaimana mau latihan kalau jadwalnya tidak jelas. Banyak juga klub yang membubarkan tim, otomatis kondisi pemain kembali ke titik nol," kata Ponaryo Astaman, ketua Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI).

”Bagi pemain yang punya pekerjaan tetap seperti pegawai negeri atau yang punya usaha sampingan lainnya, mungkin bisa bertahan. Tapi, banyak teman-teman yang menggantungkan hidupnya hanya dari sepakbola,” kata Striker Persipura, Boaz Solossa kepada tvOne.

FIFA mencatat ada 66.960 pemain di Indonesia. Itu sudah termasuk pemain profesional, junior, amatir, dan wanita. Di ISL, sebagai kompetisi kasta tertinggi ada 428 pemain lokal dan 51 pemain asing. Sebagian besar dari mereka sangat menggantungkan hidup dari sepakbola.

Lihat data lengkapnya pada .

Suporter Resah
Suporter juga resah dengan kondisi persepakbolaan saat ini. Suporter Persib Bandung yang tergabung dalam Viking bahkan turun ke jalan untuk menyuarakan kegelisahannya. Diawali dengan long march dari Stadion Persib, mereka pun menitipkan tujuh tuntutannya kepada DPRD Jawa Barat, Kamis, 4 Juni lalu.

Mereka tidak membela siapa pun, baik PSSI maupun menpora. Namun, salah satu poin dari tujuh tuntutan yang disampaikan jelas meminta Menpora Imam Nahrawi, mencabut SK pembekuan PSSI. Mereka juga menuntut PSSI segera mereformasi diri.

Kegelisahan juga dirasakan oleh suporter Arema, Aremania. Ahmad Gozali, Aremania Koordinator Wilayah Dinoyo dengan lantang menyatakan sanksi dari FIFA merugikan bagi sepakbola sekaligus masyarakat yang hidup dari bola. Suporter adalah kelompok yang paling dirugikan dengan matinya sepakbola di Indonesia.

“Kreativitas suporter tidak berkembang, kami ada karena klub. Tanpa kompetisi kami mati,” kata Ahmad Gozali, Kamis 4 Juni 2015.

Namun, ada juga yang memandang bahwa sanksi FIFA bukan kiamat bagi sepakbola Indonesia. Yosef “El Kepet”, pentolan Aremania dari era Galatama, contohnya. Menurut dia, tidak selamanya sanksi FIFA itu buruk. Sebab, ada negara yang justru maju setelah disanksi FIFA.

“Dengan kompetisi berkualitas, kisruh sepakbola sudah hilang, pasti akan ada penilaian kembali kepada Indonesia. Tapi, ini juga tergantung bagaimana pemerintah memajukan sepakbola ini,” katanya.

Sebagai simbol terhadap duka sepakbola Indonesia, Aremania juga sempat mengibarkan bendera setengah tiang.

Suporter Persipura Jayapura melakukan aksi damai terkait kisruh Kemenpora-PSSI

Suporter Persipura Jayapura melakukan aksi damai terkait kisruh Kemenpora-PSSI di Bundaran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jumat (5/6/2015). Foto: ANTARA/Andreas Fitri Atmoko

Asal Mula Sanksi FIFA
Sanksi FIFA bermula dari kisruh yang melibatkan PSSI dan Kemenpora. Ini bermula saat Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) yang berada di bawah Kemenpora tidak menerbitkan rekomendasi bagi dua tim asal Jawa Timur, Persebaya Surabaya dan Arema Cronus untuk tampil di QNB League 2015 dengan alasan masih mengalami dualisme kepemilikan.

Namun, PSSI melalui PT Liga Indonesia tetap mengikutsertakan kedua klub tersebut. Menpora berang serta menerbitkan tiga surat peringatan dalam waktu singkat dan berujung kepada pembekuan PSSI.

Surat itu dikirimkan sehari sebelum Kongres PSSI yang digelar di Surabaya. Lewat kongres tersebut, La Nyalla Mattalitti terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum PSSI.

PSSI sudah berusaha menemui Menpora Imam Nahrawi untuk membicarakan hal ini. Namun, tiga kali upaya La Nyalla cs menemui politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu selalu gagal.

Tindakan menpora sampai ke telinga FIFA. Lewat suratnya kepada PSSI tanggal 4 Mei, FIFA mengultimatum agar menpora menghentikan intervensinya terhadap PSSI paling lambat 29 Mei. Bila tidak diindahkan, Indonesia akan dijatuhi sanksi sesuai statuta FIFA pasal 13 dan 17.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahkan sampai ikut turun tangan. Namun, harapan baru muncul saat Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, memanggil Menpora Imam Nahrawi, ke kantornya, 25 Mei lalu. Hadir juga Wakil Ketua PSSI, Hinca Panjaitan, dan mantan ketua Komite Normalisasi, Agum Gumelar, serta Ketua KOI, Rita Subowo.

Usai pertemuan, JK mengatakan, PSSI harus segera diaktifkan kembali agar sepakbola Indonesia kembali normal. Karena itu, katanya, menpora telah sepakat mencabut SK pembekuan PSSI secepatnya.

Namun, harapan itu kembali pupus setelah menpora bertemu Presiden RI, Joko Widodo. Dengan restu Jokowi, menpora kian percaya diri melanjutkan pembekuan PSSI yang berujung sanksi FIFA. 

Belakangan, permasalahan Arema dan Persebaya sudah dilupakan. Fokus menpora justru kepada tata kelola sepakbola yang, menurut dia, perlu direformasi total. Bahkan, menpora sempat menyatakan siap bertanggung jawab seandainya Indonesia mendapat sanksi dari FIFA.

Menpora Belum Melunak
Setelah jatuhnya sanksi FIFA, menpora melalui Tim Transisi semakin giat dalam menjalankan fungsinya sebagai "PSSI tandingan". Tim yang dipimpin oleh mantan pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto itu bahkan ngotot menggulirkan kompetisi di Indonesia, meski tanpa supervisi FIFA dan AFC.

Banyak yang mengatakan bahwa statusnya tak lebih dari turnamen tarkam.

Salah seorang suporter asal Malang, Yosef “El Kepet”, menilai, jika pemerintah membuat kompetisi di bawah sanksi FIFA, maka timnas Indonesia tetap tidak bisa tampil di luar negeri.

“Ujungnya kompetisi adalah agar ada timnas Indonesia yang berkualitas dan juara. Kalau kena sanksi mana bisa kompetisi di luar negeri. Kompetisi jadi seperti tarkam, lokalan saja,” katanya.

Anggota Pokja Komunikasi, Tim Transisi Cheppy T Wartono, enggan menanggapi pendapat ini. Namun, menurut dia, pihaknya tetap akan menggelar turnamen dalam waktu dekat ini.

"Saya tidak mau mengomentari orang menyebutnya apa, tapi yang jelas kami akan menyelenggarakan open tournament tersebut dengan menganut standar AFC,” kata Cheppy.

Menurut Cheppy, Indonesia disanksi FIFA tidak boleh bermain di pentas internasional. Meski demikian, apa pun yang akan mereka lakukan dilaporkan ke AFC dan  FIFA.

”Masalah mereka tidak mau mengakui, itu hak mereka. paling tidak kami sudah melaporkan kegiatan itu,” ujarnya.

Menpora juga kerap mengatakan bahwa pihaknya sudah memiliki roadmap dalam memajukan sepakbola Indonesia. Menurut Cheppy, bila berjalan konsisten, dalam waktu 3-5 tahun ke depan, Indonesia sudah mampu meraih gelar juara di tingkat Asia Tenggara bahkan Asia.

”Dengan asumsi kita memulai dari pembinaan usia dini 13 tahun ke atas,” kata Cheppy.

Cheppy tidak memungkiri bahwa pengakuan dari FIFA sebenarnya perlu. Namun, itu tidak ada artinya bila tidak diikuti dengan prestasi. “Roadmap kan untuk mencari prestasi dan sanksi FIFA kan tidak seumur hidup. Sanksi FIFA ada yang terbilang hari, bulan dan paling lama dua tahun,” ujarnya.

“Pengakuan dari FIFA perlu, tapi apakah kita tak malu diakui FIFA, tapi peringkatnya di bawah Timor Leste? Di mana harga diri bangsa kalau prestasi kita di bawah Timor leste,” katanya.

Sementara itu, meski menjadi syarat yang diajukan FIFA, pihak Kemenpora enggan mencabut sanksi FIFA.

"Tidak ada (peluang Kemenpora mencabut SK Pembekuan PSSI). Tidak akan ada pencabutan. Islah tetap terbuka tapi tidak untuk mencabut pembekuan," kata Kepala Komunikasi Publik Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Gatot S Dewa Broto.

Kubu PSSI menilai, bola panas kini berada di tangan pemerintah. PSSI juga pesimistis bisa menjalin komunikasi dengan pihak Kemenpora. “Masalahnya, komunikasi susah. Sekarang, kami akan coba melalui orang lain,” ujar Sekjen PSSI, Azwan Karim.

“Kami ingin mengundang FIFA dan AFC untuk berbicara dengan Presiden. Kami tengah mencari waktu yang tepat. Selama ini, kan, permasalahan kami sulit berkomunikasi langsung dengan Kemenpora. Jadi, kami coba untuk meminta bantuan dari FIFA dan AFC. Kami sudah berkomunikasi dengan mereka (FIFA dan AFC),” ujar Azwan. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya