SOROT 343

Menanti Reformasi Polri

Novel Baswedan keluar dari Gedung Bareskrim Polri Sabtu (2/5/2015)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Vitalis Yogi Trisna

VIVA.co.id - Pukul 00.00, rumah Novel Baswedan diketuk oleh tamu yang tak dikenal. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi itu meminta istrinya tetap berada di lantai dua rumah mereka di bilangan Kelapa Gading, Jakarta Utara, itu. Rupanya tamu tak dikenal itu ditemani Wisnu, Ketua Rukun Tetangga di kompleks perumahannya.

Kapolri Minta Polisi Beri Pelayanan Maksimal ke Publik

Mantan Kepala Satuan Reserse Kepolisian Resor Kota Bengkulu itu lalu membukakan pintu dan menyilakan tamu tengah malamnya duduk. Rupanya, mereka adalah petugas-petugas polisi dari Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian. Singkat kata, mereka hendak membawa Novel untuk diperiksa atas sebuah kasus yang kematian yang terjadi saat Novel berdinas di Bengkulu, tahun 2004 silam.

Novel meminta izin ke atas, hendak ganti baju. Dia menitipkan telepon selulernya ke istrinya, Rina Emilda. Tak lupa, sepupu Menteri Pendidikan Anies Baswedan itu meminta istrinya menghubungi para komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi. Pukul 00.20, Novel dibawa oleh para penyidik polisi. Sepeninggal mereka, barulah Ketua RT memberikan surat perintah penangkapan Novel kepada Rina.

Usman Hamid, mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan, termasuk yang dihubungi Rina pada dinihari itu. Pukul 01.40, Jumat 1 Mei 2015, Usman yang sedang berada di Jakarta untuk melakukan riset terkait kuliah strata 2 di Australian National University, Canberra, Australia, itu sudah tiba di Markas Besar Kepolisian. Namun berjam-jam kemudian, Usman tak kunjung bisa menemani Novel. Malah Usman diminta pulang dulu dan datang kembali paginya.

Sambil menunggu, Usman lalu menghubungi sejumlah penyidik kepolisian sampai Kepala Kepolisian Jenderal Badrodin Haiti. Alumnus Universitas Trisakti itu juga berusaha menghubungi Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto. Akhirnya Usman bisa menghubungi Badrodin, kembali Usman meminta penjelasan soal penangkapan Novel dan meminta hak Novel untuk didampingi pengacara diberikan.

Menjelang pukul 04.00, barulah posisi Novel diketahui. Usman melihat Kepala Badan Reserse Kriminal Budi Waseso mendampinginya. Akhirnya, lewat pukul 04.00, barulah Usman bersama sejumlah pengacara seperti Bahrain dan Muji Kartika bisa menemui Novel dan mendapatkan tanda tangan sebagai kuasa hukum. Usman dan para pengacara lalu berbicara dengan Novel.

“Di tengah percakapan itu, Andi Widjajanto menelepon dan saya ceritakan semuanya, termasuk saran agar ada perhatian dari presiden,” kata Usman menceritakan kejadian itu kembali melalui halaman Facebooknya.

Usman lalu menghubungkan Novel dan Andi berbicara. Setelah itu Usman kembali bicara dengan Sekretaris Kabinet khususnya terkait rencana Andi melaporkan kepada Presiden Joko Widodo pada pagi hari ini. Usai Salat Jumat di Solo, Presiden yang menyatakan kepada wartawan, meminta Novel tidak ditahan.

Novel baru “dilepaskan” keesokan harinya, Sabtu, setelah sebelumnya para pemimpin KPK menjaminkan diri untuknya. Rupanya Novel sempat dibawa ke Bengkulu, mengikuti olah kejadian peristiwa yang terjadi 2004 lalu. Peristiwa itu terjadi saat Novel baru empat hari menjadi Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polresta Bengkulu. Anak buahnya dilaporkan menganiaya tersangka pencuri sarang burung walet dan berakibat kematian salah satu tersangka. Tahun 2012, Novel menjadi tersangka kasus ini namun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian memerintahkan polisi menghentikan penyidikan.

Dan untuk kali ini, Novel tak tinggal diam. Bersama pengacara-pengacaranya, Novel melaporkan penyidik-penyidik polisi termasuk Kepala Badan Reserse Kriminal ke Ombudsman. Penangkapan yang dilakukan tengah malam dianggap melanggar peraturan internal Polri. Novel menggugat Polri membayar ganti rugi dan permintaan maaf kepada publik.

Sehari sebelum ke Ombudsman, Senin 4 Mei, tim kuasa hukum juga mendatangi Pengadilan Negeri, Jakarta Selatan. Mereka melakukan pengajuan permohonan gugatan praperadilan terhadap Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri.

Para kuasa hukum yakni Muhammad Isnur, Muji Kartika Rahayu, Asfinawati, Dadang Trisasongko, Ichsan Zikry dan Andi Muttaqin, menyatakan penangkapan dan penahanan Novel tidak sah. Pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sudah mengatur bahwa proses penangkapan dan penyitaan barang yang dinilai tidak sesuai dengan prosedur, masuk dalam objek praperadilan.

Lembaga Ini Disebut Pengekang Kebebasan Berpendapat

Penyidik KPK Novel Baswedan berbaju tahanan di Mabes Polri

Penyidik KPK Novel Baswedan berbaju tahanan di Mabes Polri. Foto: ANTARA FOTO/Antonio Tarigan
Kopassus Diminta Latih Brimob, Polri Tak Percaya Diri


Reformasi Polri Gagal

Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), menyatakan Polri telah gagal mereformasi diri. Haris Azhar mengatakan, Polri telah menikmati buah dari Reformasi 1998 namun institusi mereka tak membenahi diri. “Alih-alih menjadi penyokong demokrasi, Polri justru menjadi ancaman bagi demokrasi,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 6 Mei 2015.

Haris menjelaskan, kasus kriminalisasi terhadap sejumlah pimpinan dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan, saat ini Polri menjadi bagian dari masalah. Menurut dia, pemisahan Polri dari TNI dan langsung berada di bawah Presiden membuat Polri merasa di Atas Angin. “Angka penyiksaan dan kekerasan yang dilakukan polisi juga terus meningkat,” ujarnya menambahkan.

Ia mengatakan, kewenangan yang dimiliki polisi sangat besar, namun lemah dari sisi pengawasan. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang seharusnya mengawasi kinerja dan proses reformasi di tubuh Polri juga mandul. Untuk itu, ia mendesak pemerintah segera merevisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepolisian.

Hal senada disampaikan Syafiq Aleiha. Aktivis 1998 ini mengatakan, selama 17 tahun sejak reformasi, Polri gagal membenahi diri. Ia mengatakan, desakan pemisahan Polri dari TNI yang diteriakkan dalam Gerakan Reformasi 1998 bukan tanpa alasan. Tuntutan itu disuarakan karena selama Orde Baru polisi hanya menjadi pelayan penguasa. “Polisi menjadi alat politik penguasa bukan penegak hukum,” ujar pendiri Forum Kota (Forkot) ini kepada VIVA.co.id, Rabu, 6 Mei 2015.

Syafiq menambahkan, tuntutan reformasi Polri merupakan bagian dari agenda reformasi di sektor hukum. Namun ternyata lepas dari ‘ketiak’ TNI membuat Polri memanfaatkan momen tersebut untuk menguasai sektor-sektor yang sebelumnya “dipegang” TNI. Kelembagaan Polri yang sangat kuat, berada langsung di bawah Presiden, disinyalir sebagai penyebabnya.

“Kasus Budi Gunawan adalah puncaknya,” kata Syafiq. Budi Gunawan adalah calon Kapolri yang kemudian terganjal karena ditetapkan menjadi tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Kasus ini yang kemudian dikaitkan dengan kasus Novel Baswedan.

ilustrasi bareskrim polri

Reformasi Polri jalan di tempat, Polri belum berhasil menunjukkan identitas kelembagaannya sebagai pilar penting negara hukum. Foto: VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar


Catatan buruk soal kepolisian juga datang dari kalangan jurnalis. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang rutin setiap tahun mengumumkan “Musuh Kebebasan Pers”, untuk tahun 2015 ini, mengumumkan Polisi sebagai Musuh Kebebasan Pers. Dari 37 kasus kekerasan atas jurnalis antara Mei 2014 sampai awal Mei 2015, sebelas kasus di antaranya dilakukan oknum polisi. Ini keempat kalinya polisi menjadi Musuh Kebebasan Pers, sejak AJI secara rutin melakukan kegiatan ini sejak tahun 2007.

“Dan semua kasus-kasus kekerasan yang dilakukan polisi kepada jurnalis, tidak pernah diselesaikan sampai ke ranah hukum,” kata Ketua Umum AJI Suwarjono. Catatan positif AJI justru pada Tentara Nasional Indonesia. Ada dua kasus kekerasan atas jurnalis yang dilakukan oknum TNI yang kemudian berujung ke pengadilan militer, pelakunya kemudian divonis.

Pakar Hukum Tata Negara Masnur Marzuki menilai, reformasi Polri jalan di tempat. Menurut dia, Polri belum berhasil menunjukkan identitas kelembagaannya sebagai pilar penting negara hukum. Sebaliknya, yang terjadi justru Polri disibukkan dengan terpaan kasus-kasus korupsi yang mencoreng wibawa lembaga tersebut. “Misalnya kasus Susno, Djoko Susilo, hingga terakhir calon Kapolri ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK,” ujarnya kepada VIVA.co.id saat dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu, 6 Mei 2015.

Masnur mengatakan, Polri harus melakukan reformasi besar-besaran dimulai dari sistem rekrutmen, pembinaan, hingga ke persoalan penegasan independensi. “Kalau dari perspektif dan semangat totalitas reformasi Polri, saya kira patut dinilai gagal,” ujar pakar dari Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta ini.

Penilaian tak menyenangkan juga datang dari Komisi III DPR RI, mitra kerja Polri. Anggota Komisi III Ahmad Basarah mengatakan, dalam hal pembinaan SDM, Polri dinilai gagal. Masih banyak oknum Polri, baik di level bintara, perwira pertama, perwira menengah hingga perwira tinggi yang berperilaku tidak terpuji atau melanggar hukum. Polri juga dituding sebagai salah satu institusi terkorup dan lamban dalam menangani perkara. Tudingan praktik rekayasa  dan kisruh yang berulang dengan lembaga penegak hukum lain juga semakin memperburuk persepsi publik terhadap Polri.



Di Bawah Kemendagri

Serentetan peristiwa itu membuat wacana reformasi kepolisian kembali menguat. Komisi Kepolisian Nasional misalnya, mengusulkan Polri kembali diletakkan di bawah kementerian. Namun Kompolnas berpendapat, sebaiknya jangan di bawah Kementerian Dalam Negeri atau kementerian lain yang sudah ada. “Paling bagus itu di bawah kementerian kepolisian nasional. Tetapi harus buat kementerian baru. Kita usulkan itu,” ujar M Naser, salah satu anggota Kompolnas kepada VIVA.co.id, Rabu, 6 Mei 2015.

Ahmad Basarah sepakat dengan perbaikan dan reformasi (kembali) Polri. Namun, ia tak sependapat dengan ide mengembalikan Polri di bawah kementerian. Menurut dia, usulan reformasi Polri dengan cara menempatkan Polri di bawah kementerian bukan jawaban solutif terkait permasalahan yang membelit Polri saat ini.

“Menempatkan Polri di bawah kementerian hanya akan menjadikan Polri menjadi alat pemerintah dan bukan alat negara,” ujar anggota dewan asal PDI Perjuangan ini.

ilustrasi mabes polri

 Polri adalah institusi hukum yang memiliki fungsi penegakan hukum. Foto: VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar


Menurut dia, yang harus dilakukan adalah meningkatkan pengawasan terhadap Polri. Untuk itu, Kompolnas harus ditingkatkan fungsi dan kewenangannya. Selain itu, Komisi III DPR juga harus lebih proaktif melakukan pengawasan terhadap Polri mulai dari tingkat Mabes Polri hingga ke tingkat Polsek di seluruh wilayah Indonesia.

Pendapat serupa disampaikan Masnur Marzuki. Menurut dia, menempatkan kepolisian di bawah kementerian akan berbahaya. Pasalnya, Polri adalah institusi hukum yang memiliki fungsi penegakan hukum. Kementerian adalah jabatan politik yang bertanggungjawab kepada Presiden sebagai kepala pemerintahan.

“Jika nanti ditempatkan di bawah kementerian, maka akan memposisikan Polri sebagai alat pemerintah. Padahal Polri adalah institusi penegak hukum yang harus steril dari anasir kepentingan politik termasuk kepentingan politik eksekutif,” ujarnya.

Sama seperti Basarah, ia juga mengusulkan agar pengawasan Polri dan posisi Kompolnas diperkuat. Pasalnya, sejauh ini keberadaan Kompolnas masih jauh dari harapan karena perannya masih sebatas rekomendatif. Menurut dia, kisruh pencalonan Kapolri tidak lepas dari peran "absurd" Kompolnas.

“Seringkali Kompolnas dianggap pelengkap penderita saja. Ini yang harus diubah. Tentu butuh grand design politik hukum UU Kepolisian yang pro-reformasi total Polri termasuk Kompolnas ini.”

KontraS memiliki usul berbeda. Menurut Koordinatornya, Haris Azhar, perlu sejumlah langkah membenahi Polri. Pertama, untuk sementara semua kewenangan Polri dititipkan ke sejumlah kementerian atau lembaga. “Misalnya penyidikan dititipkan ke Kejaksaan dan pelayanan ke Kemendagri,” ujarnya.

Setelah itu, Presiden diminta membentuk tim untuk melakukan audit secara menyeluruh terkait kelembagaan dan personel Polri selama enam bulan hingga satu tahun. “Presiden harus memimpin langsung proses ini. Karena Polri sudah gagal melakukan reformasi.”

Mabes Polri menanggapi dingin kritik perihal kegagalan reformasi Polri. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Mabes Polri, Brigadir Jendral Polisi Agus Rianto mengatakan, Polri sudah melakukan reformasi sejak tahun 1999. Namun, ia tak memungkiri jika di lapangan masih ditemukan oknum Polri yang melakukan pelanggaran.

Ia mengklaim, kemampuan Polri dalam memberantas teroris diakui oleh dunia. Prestasi ini membuat banyak negara lain belajar dari Polri. Namun, keberhasilan itu seringkali disikapi miring oleh publik dalam negeri. Polri dituding melanggar HAM dan juga bertindak tak sesuai ketentuan.

Agus Rianto menyampaikan, dalam proses reformasi tersebut Polri terus membenahi diri dan meningkatkan pelayanan. “Saya tidak memungkiri dari 425 ribu lebih ada beberapa anggota yang melakukan pelanggaran. Namun, pelanggaran itu kita proses baik kode etik maupun pidana,” ujarnya menambahkan.

Agus tak mempermasalahkan kritik sejumlah kalangan yang menyatakan reformasi Polri telah gagal atau jalan di tempat. Namun menurut dia, mereka harus menjelaskan letak kegagalan tersebut. “Apakah karena lima anggota yang melanggar, lantas polisi dibubarkan?” [aba]

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya