SOROT 333

Iklim Berubah, Bahaya Merambah

Nelayan di Yogyakarta
Sumber :
  • VIVA.co.id/Juna Sanbawa

VIVA.co.id - Suara kentongan memecah kesunyian Pantai Samas. Sejumlah orang sontak berlarian ke bibir pantai ini, yang terletak di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Waspada DBD, Nyamuk Tak Mempan Lagi Fogging

Sebuah perahu jenis jukung berukuran sekitar 9 x 1 meter terlihat menepi. Belasan orang langsung mendekat dan menarik perahu yang baru merapat tersebut.

Mereka menarik perahu secara bergantian. Sesekali terdengar guyonan dari para nelayan Pantai Selatan ini.

Atasi Krisis Energi Harus dengan Kerja Lintas Sektoral

Sampai di daratan, mereka langsung membongkar muatan. Mimik kecewa terlihat di wajah para nelayan ini, demi mengetahui hasil tangkapan tak sesuai harapan.

Perahu yang baru saja mengarungi lautan ini hanya membawa sedikit ikan. Padahal, bulan ini seharusnya musim ikan, khususnya bawal. Ikan yang didapat tak sebanyak musim ikan tahun-tahun sebelumnya.

Belasan Basis Militer AS Bisa Lenyap Akibat Perubahan Iklim

Ikan yang tak seberapa banyak itu langsung dimasukkan ember, kemudian dibawa ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang berjarak sekitar 200 meter dari pantai. Sejumlah pedagang tampak sudah menunggu di bangunan ala kadarnya yang digunakan sebagai TPI sementara ini.

Setelah ditimbang dan dipilah sesuai jenisnya, tangkapan nelayan itu pun langsung dilelang. Para pedagang tampak sungkan, karena ikan yang dilelang tak banyak dan kurang beragam.

Ketua TPI, Sadino, menuturkan dulu nelayan di Pantai Samas sangat bergairah karena merasakan nikmatnya menjadi nelayan. Selain hasil tangkapan bagus, harga ikan juga merangkak naik.

Warga dari daerah lain seperti Kabupaten Kebumen dan Cilacap ikut melaut di pesisir Pantai Selatan ini. Namun, saat ini alam berbicara lain.

“Jika dalam setahun bisa melaut selama enam bulan, saat ini bisa melaut lima bulan saja sudah bersyukur," ujar Sadino kepada VIVA.co.id, Rabu, 25 Februari 2015.

Menurut dia, kondisi alam seperti gelombang dan angin saat ini tak bisa diprediksi secara pasti. "Saat akan turun melaut kondisi baik. Namun, baru turun satu jam kondisi gelombang dan angin di tengah laut sudah tak bersahabat. Akhirnya, harus naik lagi ke daratan tanpa hasil," ujarnya menambahkan.

Keluhan serupa disampaikan Mugari, salah seorang nelayan. Ia mengatakan, saat ini, hampir semua nelayan di Pantai Selatan Yogyakarta terdampak kondisi alam yang tak mau berkawan.

"Gelombang tinggi dan angin kencang," ujarnya. Selain itu, ikan juga sudah mulai sulit ditemukan.

Menurut dia, kondisi tersebut berbeda dengan sepuluh tahun lalu. "Ndak tahu, apakah karena musim yang tak menentu atau karena hal lain. Tapi saat ini memprediksi cuaca sangat susah," ujarnya dengan nada getir.

Tak hanya nelayan, petani juga bernasib sama. Akibat iklim yang tak menentu, para petani di Yogyakarta gagal panen.

Rujito, salah satu petani di kawasan Pantai Samas mengaku sangat terpukul dengan serangan hama pada tanaman cabai dan bawang merah miliknya. "Meski dikasih obat tetap saja hama tak mati," katanya, Rabu, 25 Februari 2015.

Hama berupa ulat rengit sangat susah diberantas. Bahkan, hama rengit membuat tanaman sama sekali tak berbuah meski tanaman terlihat subur.

"Ini yang bikin stres petani sayur. Dibiarkan akan menular. Jika dicabut maka habis sayuran yang kita tanam."

Krisis Pangan

Lembaga pemerhati lingkungan, Greenpeace, menyatakan apa yang dialami oleh nelayan dan petani di Yogyakarta merupakan impak dari perubahan iklim. Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Arif Fiyanto mengatakan, saat ini dunia, termasuk Indonesia sedang mengalami fenomena alam yang disebut perubahan iklim.

Hal ini terjadi karena adanya proses pemanasan global. Ilmuwan bersepakat, penyebab utama perubahan iklim karena meningkatnya emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh berbagai aktivitas utama yang memicu pelepasan emisi karbon ke atmosfer.

Kondisi ini akan berdampak terhadap meningkatnya permukaan air laut, perubahan pola musim, seperti kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan.

Kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan membuat petani gagal panen.

Selain itu juga menyebabkan musim hujan yang pendek namun dengan curah hujan yang sangat tinggi dan menyebabkan terjadinya banjir. Juga kekeringan yang memicu kelangkaan air dan gagal panen.

Menurut dia, sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah tropis, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap ancaman dan dampak dari perubahan iklim. Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Indonesia diperkirakan akan menghadapi berbagai ancaman dan dampak dari perubahan iklim, di antaranya menurunnya produksi pertanian.

“Beberapa daerah di bagian timur Indonesia seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah yang paling rawan terhadap ancaman ini,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 26 Februari 2015.

Pendapat senada disampaikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kepala LIPI Iskandar Zulkarnain mengatakan, saat ini Indonesia sedang mengalami perubahan iklim.

Salah satu ciri dari perubahan iklim yang bisa dilihat adalah berubahnya musim. “Jadi, kita bisa lihat. Sekarang petani, musim tanamnya sudah bergeser," kata Iskandar.

Kadang mereka sudah tidak tahu lagi, kapan baru mulai menanam. "Semua menjadi sangat unpredictable, tidak bisa diramalkan seperti dulu yang begitu teratur,” ujar Iskandar saat dihubungi VIVA.co.id, Kamis 26 Februari 2015.

Perubahan iklim tak hanya berdampak pada terjadinya bencana alam, Ketersedian pangan terancam, terutama sektor pertanian dan sektor laut terutama pada nelayan.

Pada sektor laut, hasil tangkapan ikan kian sulit didapatkan mengingat musim yang tak menentu di laut. Menurut dia, cuaca di laut saat ini menyulitkan para nelayan.

“Dulu, berpatokan pada bulan ini sampai bulan ini bisa melaut. Nah, sekarang semuanya menjadi berubah,” ujarnya menambahkan. Ia mengatakan, perubahan iklim sangat dirasakan dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

Manajer Advokasi dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengatakan, perubahan iklim akan berdampak pada pangan. Ia menuturkan, saat ini kenaikan suhu di Pulau Jawa rata-rata satu derajat.

Menurut dia, dari sisi ilmu Agro Ekologi angka itu pengaruhnya sangat besar. Sebab, perubahan suhu akan membawa dampak serius.

Pertama, dari sisi musim semakin tidak jelas. Ini akan membuat petani sulit menyesuaikan dan membaca iklim dan cuaca.

Kedua, bumi yang hangat tak hanya menyebabkan kekeringan dan banjir, namun juga memicu ledakan hama. Ia mengatakan, penelitian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) menyatakan, semakin hangat suhu, laju reproduksi hama akan semakin cepat.

Akibatnya, proses pengendaliannya semakin sulit. Sehingga, wilayah yang kena serangan akan semakin besar.

“Kita ingat 2009 -2010. Lebih dari 15 kabupaten di Jawa yang merupakan sentra padi terserang hama wereng. Akibatnya, pada 2011 kita impor beras 2,7 juta ton.

Bayangkan kalau itu terjadi di wilayah yang lebih luas. Maka, statement perubahan iklim akan berdampak pada krisis pangan sangat mungkin,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Selasa, 24 Februari 2015.

KRKP mencatat, pada 2010 dan 2011 terjadi penurunan produksi 15 hingga 30 persen. Menurut dia, hal itu terjadi akibat adanya perubahan iklim yang memicu ledakan hama.

Pasalnya, ada fenomena yang aneh dengan hama. Perubahan iklim tak hanya mempercepat reproduksi hama, namun juga  memunculkan hama yang selama ini dianggap inferior menjadi superior.

Ia mencontohkan hama kresek pada tanaman padi. Menurut dia, hama ini dulu dianggap tidak penting karena serangannya kecil dan tak berpengaruh pada produksi.

Namun, saat ini ketika terjadi perubahan suhu, hama ini menjadi sangat masif. “Jadi perubahan iklim memicu hama yang tadinya ga apa-apa menjadi apa-apa.”

Pakar pertanian Hudori mengatakan melambungnya harga beras yang saat ini terjadi merupakan imbas dari perubahan iklim. Pasalnya, curah hujan yang normalnya terjadi pada bulan September hingga Oktober mundur satu hingga dua bulan.

Hal ini membuat musim tanam ikut mundur. “Mestinya kalau musim normal, Februari harusnya panen raya padi.

Karena mundur, jadi mundur panennya. Sekarang terjadi anomali, datangnya hujan terlambat,” ujarnya, Kamis, 26 Februari 2015.

Pemerintah Menjamin

Kementerian Pertanian (Kementan) membantah, Indonesia akan mengalami krisis pangan akibat perubahan iklim. Kepala Badan Litbang Kementan, Haryono, mengatakan hasil pertemuan antara BMKG dengan mitra kerjanya, termasuk Kementan menyatakan, iklim di Indonesia tahun ini normal.

“Jadi untuk produksi pangan ga ada masalah,” ujar Haryono kepada VIVA.co.id, Kamis, 26 Februari 2015.

Ia mengatakan, saat ini curah hujan normal. Bahkan, di sejumlah lokasi curah hujannya tinggi sehingga bagus untuk tanaman padi.

Menurut dia, memang ada curah hujan lebih tinggi sampai Ferbuari. Namun, secara umum semuanya normal.

Haryono menjelaskan, perubahan iklim hanya akan dirasakan di wilayah subtropik seperti Amerika Latin dan Etiopia. Menurut dia, iklim di Indonesia stabil karena berada di tengah.

Ia yakin, kondisi pangan tak akan terpengaruh terkait perubahan iklim. “Memang ada dinamika. Tapi pengaruhnya kecil. Dampak perubahan iklim ke pertanian itu kecil,” ujarnya menambahkan.

Haryono juga membantah saat ini pertumbuhan hama tanaman lebih ganas dan masif dibanding sebelumnya. Menurut dia, pertumbuhan hama terjadi seperti biasa, menyesuaikan siklus tanaman.

Untuk itu, ia meminta agar perubahan iklim tak dijadikan momok yang menakutkan. “Dampaknya kecil itu di tropik, terutama di Indonesia.

Tidak terganggu. Produksi padi tidak terganggu. Gangguan kecil emang ada, tapi jumlahnya tidak lebih dari lima persen. Jadi relatif aman.”

Dirjen Tanaman Pangan Kementan, Hasil Sembiring, mengatakan saat ini iklim normal sehingga tak akan berpengaruh terhadap produksi tanaman pangan. Menurut dia, produksi pangan masih normal.

Bahkan, ia merencanakan ada tambahan tanam seluas 2,6 juta hektare tahun ini. Menurut dia, serangan hama hanya berdampak tiga persen dari luas tanam.

Sementara, perubahan iklim di bawah satu persen. Untuk itu, ia memastikan Indonesia tak akan mengalami krisis pangan.

Meski demikian, Kementan akan terus melakukan Inovasi agar petani mampu beradaptasi dengan cuaca. Misalnya di daerah endemik, banyak varietas tanaman unggul yang tahan terhadap perubahan iklim, baik perubahan iklim yang mendorong hama penyakit maupun terhadap banjir.

“Kalau terjadi banjir, kita sudah ada varietas tanaman yang toleran terhadap banjir,” ujarnya, Kamis, 26 Februari 2015.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga optimis, Indonesia tak akan mengalami krisis pangan akibat fenomena alam. Kepala Bappenas Andrinof Chaniago mengatakan, perubahan iklim merupakan proses panjang dan pengaruhnya bagi Indonesia belum signifikan serta bisa diantisipasi.

Antisipasi yang dilakukan adalah dengan menanam sesuai perubahan alam. Pemerintah juga akan melakukan sosialisasi dan penyuluhan. “Masyarakat harus mulai mengenal fenomena ini. Perilaku cuaca dan perkiraan musim ekstrim, perkiraan kemarau dan yang terkait.”

Hari menjelang sore. Satu demi satu, perahu nelayan merapat ke darat. Sesekali, suara kentongan yang diikuti dengan orang yang berlarian ke bibir pantai masih terjadi.

Sementara itu, beberapa nelayan tampak sibuk dengan jaring dan alat tangkap mereka. Ada yang sedang menambal jaring atau sekadar membersihkan alat mata pencaharian mereka tersebut.

Meski semakin sulit karena hasil tangkapan sedikit, para nelayan ini mengaku akan tetap bertahan. Saat ini, mereka hanya berharap pada kebaikan alam. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya