SOROT 309

Selamat dari Maut Kekeringan

Kekeringan Wonogiri Sorot
Sumber :
  • VIVAnews/Fajar Sodiq

VIVAnews - Kedua kakinya tanpa lelah menyusuri jalan pegunungan yang tandus. Meski sandal jepit yang dia pakai sudah mulai menipis, ia tak kehilangan harapan mencari sumber air bersih demi kelangsungan hidup keluarga dan warga di sekitar tempat tinggalnya.

Pertanyakan Ghea Indrawari yang Belum Menikah, Anang Hermansyah Dihujat Netizen

Siang itu, panas begitu terik. Bulir-bulir peluh tampak mengalir dari wajah ke lehernya yang sudah mulai keriput. Namun, ia tak keberatan berbagi cerita soal desanya yang kerap dilanda bencana kekeringan.

Dialah Nito, pria berusia 61 tahun pensiunan Kepala Urusan (Kaur) Pemerintahan (Jawa, Carik), Dusun Gesing RT 1, RW I, Desa Manduro, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Dia kini menyambung hidup dengan bertani.

6 Pemain yang Bisa Didatangkan Inter Milan, dari Juara Serie A hingga Penantang Liga Champions

Nito sudah biasa memijakkan kaki di tanah kapur yang terjal. Sejak ia lahir, desanya itu memang sudah kesulitan air.

“Bagaimana lagi, saya lahir disini, mbah dan buyut saya juga dulu hidupnya disini, kesulitannya sama tidak gampang mencari air untuk kebutuhan sehari-hari,” ujar Nito mengawali cerita.

Cegah Informasi Simpang Siur, Jemaah Haji Diimbau Tak Bagikan Kabar Tidak Benar di Media Sosial

Kecamatan Kabuh, secara geografis terletak di sebelah utara pusat kegiatan pemerintahan Kabupaten Jombang, jaraknya sekitar 25 kilometer. Jauh dari pusat keramaian dan berbagai kegiatan ekonomi. Letaknya persis di Pegunungan Celeng, dengan jenis batuan cadas yang keras.

Wilayah Kabuh berbatasan dengan Sungai Brantas, yang memisahkan sejumlah kecamatan dengan pusat Kota Kabupaten Jombang. Sebelah barat, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Lamongan.

Kabuh termasuk tujuh kecamatan yang selalu kering, karena tidak ada sumber air. Kecamatan lainnya yang juga sama adalah, Kudu, Ngusikan, Plandaan, Ploso, Bareng dan Wonosalam.

Menuju Kecamatan Kabuh, dibutuhkan kesabaran dan kehati-hatian. Lokasi pegunungan terjal, jalanan menanjak dan berkelok harus diwaspadai saat melintas. Tak seluruh jalannya beraspal.

Itu membuat sebagian wilayah berdebu. Truk bermuatan berat menjadi penyumbang banyaknya debu. Jika ada dua kendaraan besar yang berpapasan, juga harus waspada, agar kendaraan tidak tergelincir.

Masuk ke wilayah Kecamatan Kabuh, tantangan serupa masih harus dirasa. Jalanan batu cadas bercampur kapur harus dilalui. Jalanan naik turun menjadi lokasi yang harus disusur. Belum genap dua tahun jalanan desa dicor di sisi kanan dan kiri, masing-masing panjangnya 1 meter.

Sebelumnya, warga mengatakan kondisinya justru lebih parah. “Jalanan desa sekarang, termasuk sudah lumayan. Sebelumnya, masih bebatuan. Sekarang dengan swadaya, sudah dicor,” tutur Nito, bapak empat anak ini.

Nito bertutur, bermukim di wilayah tandus tidak menyurutkan semangat merajut kelangsungan hidup. Wilayah di ketinggian Pegunungan Celeng dilakoni dengan bersahaja, meski tantangan mendapat air untuk kebutuhan sehari-hari sangat sulit.

“Sumur tidak bisa, selain bebatuan keras juga harus mengebor puluhan kilometer. Itu pun tidak gampang menentukan titik yang harus dibor, sering kita gagal,” ungkap dia.

Air bak benda yang langka bagi warga Kabuh. Sejak lama, mereka sudah terbiasa mencari air hingga ke tempat yang paling sulit, seperti lembah maupun jurang.

“Pagi sekali, atau siang hari turun ke jurang mencari sumber air atau genangan air. Itu pun antre banyak orang dan tidak mesti dapat,” kenang Nito.

Warga yang mampu, memilih membeli air ke kota menggunakan jeriken atau drum, dengan diangkut sepeda motor atau mobil. Namun, harga air itu lebih mahal dari ongkos angkutnya.

Kekeringan Wonogiri Sorot

Warga memikul ember berisi air dari penampungan di Paranggupito. (Foto: VIVAnews/Fajar Sodiq)

"Orang Pintar"

Kenyataan bahwa daerah Kabuh sulit air tak membuat warga hilang akal. Mereka terus memutar otak, hingga muncul solusi membuat tandon air untuk menampung air hujan.

Jagongan juga kerap dilakukan warga saat malam tiba. Jagongan merupakan tradisi mendiskusikan cara mendapatkan air.

Para warga bahkan beberapa kali mendatangi sejumlah wilayah kabupaten lain, diantaranya ke Bojonegoro, Kediri dan Blitar. Tujuannya adalah menemui “orang pintar” demi mendapatkan petunjuk titik lokasi yang harus dibor.

Semua dilakukan guna menemukan sumber air. “Pernah diberikan denah lokasi menentuntukan titik yang harus di bor. Tapi, sampai beberapa kali tidak ada sumber air yang kita dapat,” kata Nito.

Kegagalan tak membuat surut kerja kerasnya, hidup dengan kekurangan air terus dilakoni semua Nito dan warga Dusun Manduro. Bertanya ke sana kemari, mencari keterangan cara mendapat sumber air pun terus dilakukan.

Pada 2008 datang peneliti dari Surabaya dan Bandung membawa sejumlah peralatan deteksi sumber air. Termasuk tukang bor, yang siap melaksanakan pekerjaan.

Hasilnya, setelah dilakukan pengukuran, ditentukan titik lokasi yang harus dibor, tepatnya di seberang jalan depan rumah Nito. Para peneliti menyebut, di kedalaman tanah sekitar 130 meter dengan batuan cadas itu terdapat sumber air. Awalnya gagal, namun setelah dilakukan pergeseran ke sisi timur dari titik awal, sumber air akhirnya didapat.

“Kami sangat gembira, sampai-sampai kita (warga) bernazar dan dilaksanakan. Air tersebut kita panteng sampai sehari penuh, dan warga bebas mengambil sepuasnya,” tutur Nito.

Seiring berjalannya waktu, Nito dan beberapa warga mengatur penggunaan air. Warga dengan biaya sendiri diminta memasang meteran di rumahnya masing-masing, termasuk menyediakan pipa saluran dari sumber air ke rumahnya.

Sementara, di lokasi sumber dipasang pipa penyedot air berukuran besar.
Tercatat, ada 600 Kepala Keluarga (KK) dari jumlah 900 KK yang sudah menikmati saluran dari sumber air ini.

Tiap KK dipatok harga beli Rp2.500 untuk pemakaian air tiap meter kubik. “Uang iuran itu untuk kas, digunakan untuk bayar listrik, yang setiap bulan Rp4 juta, dan keperluan lain, termasuk mengganti pipa jika ada yang bocor atau mampet akibat tersumbat lumpur,” urai Nito, yang dibenarkan oleh Kepala Desa Dusun Manduro, Kecamatan Kabuh, Jamilun.

Walaupun sejak itu warga bisa bernapas lega mendapatkan air, tapi kendala lain masih terjadi. Mulai dari listrik yang kerap padam, ukuran pompa air yang kurang kuat hingga mengganggu penyedotan air, sampai endapan lumpur di pipa yang kerap menyumbat.

Kemudian, di tahun yang sama, setelah didatangi petugas dari Jakarta, menyusul datang bantuan sebesar Rp300 juta, dari APBD. Itu dipakai untuk membuat kolam penampungan air. Bak air berbentuk kubus berukuran tinggi 2 meter dan lebar 3 meter itu sebelahnya dibuatkan ruangan berpintu untuk pompa air.           
“Akhirnya, dengan rembuk warga kita bentuk pengurus. Sumber airnya diberi nama ‘Sumber Lestari’ oleh Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum (HIPPAM),” ujar Nito.

Tidak warga Dusun Manduro, dusun tetangga juga boleh ikut menikmati sumber air tersebut dengan tarif yang sama. Diantaranya warga Dusun Karang Pakis, Pengampon, Gesing, Dander, Matok’an dan Dusun Guwo.

Kekompakan warga berbuah manis. Kini dari sumber air milik alam tandus dan kering di Pegunungan Kecamatan Kabuh itu, menyimpan uang kas yang tak sedikit. “Kas kita sekarang tercatat ada Rp100 juta lebih,” ungkapnya.

Uang itu, selain untuk membeli kebutuhan pengairan ke rumah warga yang rusak juga dipakai untuk keperluan lain, jika ada persetujuan warga. Lelaki itu menyebut, tahun lalu dikeluarkan sebagian untuk biaya renovasi pembangunan balai desa.

Meski lega memiliki sumber air dan bak penampungan air. Warga setempat masih dihadapkan dengan sejumlah kendala. Jika air mampet di saluran penghubung ke rumah warga, harus dicari pipa yang tersumbat, terpaksa harus dipotong dan disambung lagi.

Juga ukuran pipa yang saat ini dipakai masih terlalu kecil, yakni 2 dim. Menurut mereka seharusnya 3 dim.

“Pipa yang tersumbat harus dipotong, kita bersihkan dengan menjulurkan besi panjang, untuk mengeluarkan lumpurnya. Kalau listrik padam, sumbatan lumpur halus berwarna emas itu mengeras,” urai Nito.

Lainnya, warga masih terkendala dengan kejernihan air. Saat baru keluar, air memang sangat jernih, kemudian setelah di penampungan air mulai menguning dan ada zat kapur lembut seperti lumpur berwarna kuning.

“Itu yang kita belum bisa atasi. Mudah-mudahan, dengan kedatangan sampeyan ke sini, pemerintah mau mendengar keluhan ini,” ucapnya.

Nito juga mengaku, belum pernah ada pejabat, apalagi gubernur yang mendatangi wilayah pemukiman yang mandiri itu.

Pejuang Air

Panas terik tak menyurutkan niat puluhan warga, yang sebagian besar adalah para wanita, untuk berdesakan dalam antrean. Para ibu dan remaja perempuan tampak berebut menempatkan jeriken di ujung terdekat dengan selang tangki air milik PMI yang diparkir tak jauh dari rumah warga.

Sejumlah jeriken berderet rapi, menunggu kucuran air masuk ke dalamnya. Setelah terisi penuh, mereka dengan sigap mengambil jerikennya untuk dibawa pulang.

Mereka masing-masing membawa dua jeriken air menggunakan pikulan dari kayu. Dengan langkah cepat, tanpa alas kaki, mereka membawa air dengan hati-hati. Memastikan air tak tumpah dan terbuang percuma di sepanjang jalan.

Seorang wanita tampak menjinjing jeriken dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya sibuk membetulkan posisi gendongan seorang anak balita.

Tanpa air bersih nasi jagung dan tiwul tak bisa direbus. Beras punel hasil buruh tani di sawah orang hanya akan memenuhi lumbung tanpa bisa dimasak.

Ya, sebagian warga Dusun Blandit Timur Desa Wonorejo Kecamatan Singosari Kabupaten Malang Jawa Timur merupakan buruh tani. Sedangkan, sebagian lainnya adalah buruh lepas dan kuli bangunan.

Sudah puluhan tahun Dusun di lereng bukit itu kesulitan air. Meskipun dikelilingi sumber air yang tetap basah di musim kemarau, tanah di Dusun Blandit tak bisa mengeluarkan air.

Kusnan, warga RT 13 RW 5 Dusun Blandit Timur Desa Wonorejo Kecamatan Singosari, berbagi cerita soal desanya yang tengah dilanda kekeringan itu.

Puluhan tahun lalu, Kusnan kecil harus berjalan kaki hingga 2 km ke arah Utara, mengambil air di Sumber Tretes. Butuh sekitar dua jam untuk bisa sampai dan kembali dengan membawa dua kaleng air berkapasitas masing-masing 25 liter.

Tahun 1986 keadaan mulai membaik. Pemerintah saat itu menyalurkan air dari Sumber Tretes ke dalam tandon buatan untuk konsumsi seluruh warga Dusun Blandit.

Kusnan cukup berjalan 15 menit, meskipun harus antre dengan warga lain yang ingin memenuhi kaleng mereka. "Tandon umum, jadi pipanya tidak disalurkan ke rumah. Kalau ambil ya harus ke situ,” katanya.

Pada tahun 2005, Pemerintah Kabupaten Malang kemudian membuat sumur bor di Dusun Banyol, Desa Wonorejo. Sumur itu disediakan untuk memenuhi kebutuhan air bagi warga Dusun Banyol dan Dusun Blandit. Jaraknya sekitar 1 km dan airnya tidak pernah kering.

Tak berselang lama, pada tahun 2010 warga pun menyalurkan pipa dari sumur bor sampai ke rumah masing-masing. Sebuah tandon berkapasitas ribuan liter dan jaringan pipa sepanjang 1 km memungkinkan air sampai dengan lancar ke kamar mandi setiap rumah.

Tak ada biaya untuk pompa air kala itu. Distribusi air memanfaatkan sistem gravitasi. Satu rumah bisa membayar Rp25 ribu jika menghabiskan banyak air.

Alat meter air sederhana dipasang untuk mengukur debit air yang digunakan di setiap rumah.

Mirisnya, saat teknologi dan perekonomian di Singosari semakin membaik dan kemudahan sumber air didapat, pipa sambungan yang diperuntukkan warga mengalirkan air ke rumah masing-masing, malah dicuri.

"Sudah tiga kali (dicuri). Terakhir dua tahun lalu. Sampai sekarang belum kami pasang lagi,” ujar Kusnan.

Kusnan mendengar kabar bahwa desanya akan mendapat bantuan dari BPBD untuk pipanisasi yang aman. "Agar tidak diambil pencuri lagi. Sampai sekarang kami masih menunggu,” lanjut dia.

Warga pun terpaksa kembali mengandalkan tandon sumber air Tretes. Meskipun harus antre berjam-jam namun jaraknya relatif lebih dekat ketimbang harus berjalan 1 km naik bukit ke Dusun Banyol.

Sayangnya, Sumber Tretes kini tak lagi bersahabat seperti puluhan tahun lalu. Sejak tahun 2010 tandon selalu kering jika musim kemarau tiba, sebab hutan di atas bukit gundul. Pohonnya diganti tanaman jagung dan singkong.

"Yang menebang pohon ya orang sini, sebagian orang luar,” kata Islamiyah, warga setempat.

Akibatnya hampir setiap Agustus hingga Oktober kekeringan melanda Blandit. Tak jarang kekeringan bahkan berjalan hingga Desember.

Daerah lainnya yang mengalami bencana kekeringan adalah Kecamatan Paranggupito yang terletak paling selatan di Kabupaten Wonogiri. Wilayah yang berbukit dan jauh dari perkotaan, menjadikan Paranggupito sulit terjangkau aliran air dari PDAM.

Katino, warga setempat, menyebut kebutuhan air sehari-hari saat musim hujan biasanya dibantu oleh satu-satunya waduk di desa itu, yakni Waduk Kedungan.

Waduk itu biasanya digunakan untuk mandi. Namun, saat musim kemarau, penampungan air itu seperti waduk mati. Hanya tersisa air keruh yang sudah berwarna hijau. Itu pun tetap digunakan oleh sebagian warga untuk mandi.

“Lha, mau bagaimana lagi, wong air juga sulit. Airnya sudah kayak cendol dan berwarna hijau. Biasanya yang masih mandi di waduk kecil itu para orang tua, “ tutur Katino.

Pengakuan yang sama juga diakui Tugiman, warga Wedungan, Gudangharjo, Paranggupito. Ia memanfaatkan air untuk kehidupan sehari-hari dari bak penampungan air bantuan pemerintah. Pasokan air untuk mengisi bak tersebut berasal dari dua sumber, yakni dari air hujan dan PDAM.

Pasokan air dari PDAM mengalir pada saat musim kemarau saja, mengingat hujan jarang turun selama musim itu. Sehingga talang air yang menghubungkan bak penampungan dengan atap genteng terlihat kering. Sedangkan saat ini

Tugiman memanfaatkan air pasokan dari PDAM yang dipompa dari sumber mata air di dekat Pantai Nampu.

Air yang mengalir hanya setiap dua kali dalam sepekan itu selanjutnya ditampung di dalam bak penampungan air. Air di bak tersebut tidak hanya dipakai oleh keluarganya sendiri, namun juga dijual kepada warga sekitar yang membutuhkan air.

“Kalau sebagian tidak dijual nanti yang bayar tagihannya siapa. Harga air dari PDAM itu mencapai Rp12.000 per meter kubik,” kata Tugiman.

Kekeringan Malang Sorot

Para ibu dan remaja perempuan tampak berebut menempatkan jeriken di ujung terdekat dengan selang tangki air milik PMI. (Foto: VIVAnews/Dyah Pitaloka)

 

Kekeringan Merata 

Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kecamatan Paranggupito, Sigit Yulianto menjelaskan, kekeringan yang melanda daerah Paranggupito terjadi secara merata. Bahkan, dari delapan desa yang berbatasan langsung dengan Pacitan, hampir semua mengalami kesulitan pasokan air selama musim kemarau ini.

Delapan desa itu adalah Paranggupito, Sonbledeg, Ketos, Johunut, Gendayakan, Gunturharjo, Gudangharjo dan Sambiharjo. Kesulitan air yang dialami warga di kecamatan tersebut telah terjadi sejak Juli lalu.

Pemerintah daerah memprioritaskan pelayanan dropping air bersih hanya pada warga miskin. Dropping dilakukan dua hingga tiga kali dalam sebulan. Sedangkan bagi yang mampu diharapkan bisa membeli tangki air sendiri.

Sigit menjelaskan, satu tangki air bantuan dari pemerintah itu dipasok untuk memenuhi kebutuhan air bagi 14-20 KK. Air akan dipasok ke sebuah bak penampungan yang besar di titik-titik tertentu.

Jika tidak dari pemerintah daerah, dropping air bersih untuk kalangan warga miskin juga berasal dari lembaga non pemerintah.

“Biasanya kami membuatkan surat pengajuan permintaan air bersih kepada pemda maupun lembaga non pemerintah. Ini upaya kami untuk memenuhi kebutuhan air bagi masyarakat miskin di Paranggupito,” tuturnya.

Sementara, Pemerintah Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul, DIY terpaksa "mengimpor" air bersih dari wilayah Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Untuk melakukan dropping air ke warganya, pemerintah kecamatan Girisubo, Gunungkidul, DIY, harus membeli air dari wilayah tersebut karena minimnya sumber air.

"Kami terpaksa membeli air bersih dari wilayah Pracimantoro karena sumber air di Kecamatan Girisubo tak layak konsumsi," kata Kasi Kesejahteraan Sosial kecamatan Girisubo, Sunardi.

Pembelian air ke luar wilayah dilakukan untuk memberikan bantuan kepada delapan desa di wilayah Girisubo, yang pada musim kemarau saat ini sudah dilanda kekeringan. Pemberian bantuan dilakukan secara bergilir.

Untuk dropping air selama 2014, kecamatan Girisubo menganggarkan Rp100 juta, dan saat ini sudah menghabiskan 55 persen dari total anggaran. Adapun anggaran tersebut digunakan untuk membeli air, operasional tangki, dan membayar sopir serta kernet.

“Kita menggunakan sopir dan kernet dari luar pegawai karena keterbatasan orang,” ucapnya.

Sebenarnya wilayah Girisubo sudah ada pipanisasi sejak beberapa tahun lalu, namun sampai sekarang tidak ada kelanjutannya. Sehingga pipa yang sudah merata di hampir setiap desa praktis hanya menjadi monumen.

“Kami sudah berkoordinasi dengan Dinas Sosial DIY, terkait masalah pipa yang sampai sekarang belum bisa digunakan,” katanya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya