SOROT 307

Subsidi BBM, Indonesia Tidak Sendiri

bbm belanda sorot
Sumber :
  • Reuters/Koen van Weel

VIVAnews – Banyak negara menyadari bahwa subsidi bahan bakar minyak (BBM) memberatkan beban anggaran keuangannya. Ini tak hanya menjadi momok isu domestik.

5 Kontroversi Chandrika Chika, dari Hubungannya dengan Thariq Halilintar hingga Tersandung Narkoba

Subsidi pemerintah ke salah satu kebutuhan vital itu juga menjadi kekhawatiran besar bagi sejumlah negara. Banyak kalangan telah menyerukan betapa pentingnya melakukan reformasi subsidi, akibat besarnya subsidi yang harus dibayarkan negara.

Di Indonesia, dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014, subsidi pemerintah naik menjadi Rp444,58 triliun dari sebelumnya Rp333,68 triliun. Fakta mengejutkan, subsidi energy, khususnya BBM dan listrik melonjak drastis.

Ganjar Tak Datang saat Penetapan Prabowo-Gibran sebagai Capres-Cawapres Terpilih

Subsidi BBM dalam APBN-P 2014 dipatok Rp284,99 triliun dari sebelumnya di APBN sebesar Rp210,74 triliun. Sementara itu, subsidi listrik naik dari Rp71,36 triliun menjadi Rp107,145 triliun.

Meminjam istilah Bank Dunia, Indonesia telah menjadi korban dari pertumbuhan ekonominya sendiri. Ekonomi yang melesat telah meningkatkan jumlah kendaraan bermotor, dan pada gilirannya semakin rakus menyedot BBM bersubsidi.

Mobil Bekas di Bawah Rp100 Juta: Ada MPV Mewah dan Hatchback Keren

Sementara itu, subsidi sumber energi dari bahan fosil seperti minyak, batu bara, dan gas jauh lebih besar dibandingkan subsidi energi yang terbarukan. Seperti dikutip dari stasiun berita BBC News, Rabu 27 Agustus 2014, menurut International Energy Agency (IEA), subsidi bahan bakar fosil di seluruh dunia pada 2012 mencapai US$544 miliar, sedangkan subsidi untuk energi yang terbarukan hanya US$101 miliar.

Besarnya subsidi bahan fosil tersebut, menyebabkan lemahnya persaingan harga

energi alternatif, sehingga sumber daya energi alternatif menjadi tidak berkembang.

Tidak hanya di negara berkembang, negara-negara maju anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pun memberi subsidi dengan nilai US$55-90 miliar per tahun.

William Blyth, peneliti Oxford Energy Associates, menuturkan secara ekonomi, pemberian subsidi sebenarnya sesuatu yang tidak masuk akal. Menurutnya, dengan memberikan subsidi, pemerintah akan kehilangan banyak pendapatan dari penjualan bahan bakar karena dipatok dengan harga yang rendah.

“Misalnya, suatu negara menjual BBM di dalam negeri dengan harga US$20 per barel, sedangkan produk yang sama bisa diekspor dengan harga US$100 per barel. Secara ekonomi, ini benar-benar tidak masuk akal,” ujarnya.

Kasus India

Beban subsidi juga mengurangi kemampuan investasi pemerintah untuk menggerakkan perekonomian. Misalnya di India, IEA memperkirakan pemerintah India membutuhkan US$1 triliun selama 20 tahun agar 300 juta warga negaranya bisa menikmati listrik.

Namun, pemerintah India tidak bisa menyediakannya selama masih menjual listrik dengan murah. Selain itu, menurut Earth Policy Institute, seperempat dari 1,2 miliar penduduk India masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Tetapi, subsidi BBM yang tinggi tidak dinikmati oleh warga miskin, justru dimanfaatkan oleh penduduk kaya. Besarnya subsidi BBM membuat negara itu mencatatkan defisit anggaran yang mengancam pertumbuhan ekonominya.

Pemerintah India kemudian menargetkan defisit anggaran 5,1 persen dari produk domestik bruto (PDB) tahun fiskal 2012-2013 dengan menjaga subsidi BBM di angka kurang dari dua persen PDB.

Dana Moneter Internasional, atau International Monetary Fund (IMF) menilai subsidi BBM jauh dari target sasarannya. Tujuan pemberian subsidi adalah mempersempit ketimpangan antara yang kaya dengan yang miskin.

Tetapi, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Orang-orang miskin yang tidak memiliki kendaraan pribadi, atau perangkat elektronik justru tidak mampu menikmati subsidi BBM dan listrik.

Menurut data IMF, 20 persen orang terkaya menikmati subsidi enam kali dibandingkan 20 persen orang termiskin.

Subsidi BBM juga mengorbankan program prioritas lain seperti pendidikan dan kesehatan. Menurut data IEA, anggaran subsidi BBM di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara lebih dari 20 persen penerimaan negara.

bbm india sorot

Para konsumen di Kota Allahabad, India, harus antre untuk beli bensin (Foto: Reuters/Jitendra Prakash)

Subsidi Terbesar

Dalam daftar Top 25 Fossil-fuel Consumption Subsidies 2010 yang dirilis IEA pada 2012 lalu, Iran menjadi negara yang mengeluarkan subsidi BBM terbesar di dunia, yakni mencapai US$80,8 miliar.

Menurut data, ulasan statistik dari British Petroleum pada 2013, Iran memiliki 157 miliar barel cadangan minyak, 1.187,3 triliun kaki kubik cadangan gas. Negara ini memiliki cadangan gas alam terbesar di dunia dan cadangan minyak terbesar ke empat di dunia.

Pemerintah Iran, kemudian menyadari beban subsidi BBM itu, dan memutuskan untuk menghapus subsidi secara bertahap dan berkelanjutan. Cara itulah yang dilakukan Iran, meskipun ada pergantian kepala negara.

Selain itu, Iran juga memaksimalkan penggunaan gas, sehingga subsidi BBM bisa berkurang. Negara ini juga mendapatkan keuntungan karena bisa menjual cadangan minyaknya ke negara lain.

Pemerintah Iran melakukan reformasi energi. Tetapi, sebelum hal itu dilakukan, pemerintah sudah mulai menggenjot pemakaian gas yang harganya jauh lebih murah.

Saat harga BBM dinaikkan, pemerintah sudah siap dengan rencana yang matang, sehingga harga kebutuhan pokok tetap aman dan terjaga. Waktu yang tepat saat panen raya juga bisa menekan lonjakan inflasi.

Uni Emirat Arab (UAE) juga memiliki masalah dengan subsidi BBM. Padahal, menurut data ulasan statistik dari British Petroleum pada 2013, negara ini memiliki 97,8 miliar barel cadangan minyak, dan 215,1 triliun kaki kubik cadangan gas. Kedua cadangan energi itu jika dikonversi dengan harga pada saat ini US$13,8 triliun.

Tak hanya itu, UAE saat ini mampu memproduksi rata-rata 2,8 juta barel minyak mentah per hari, atau tertinggi kedelapan di dunia. Negara ini mencari solusi dengan mengembangkan pembangkit tenaga nuklir pertamanya dengan bantuan Korea Selatan.

Hal yang sama juga terjadi di Mesir, harga BBM bersubsidi di dalam negeri lebih rendah, tetapi industri minyak di negara itu telah menurun, sehingga subsidi menjadi beban besar bagi negara.

Mesir lalu menaikkan tarif listrik dan BBM. Dikutip dari BBC, harga BBM di Mesir melonjak hingga 78 persen, sedangkan tarif listrik diperkirakan mencapai dua kali lipat selama lima tahun. Hal itu, dilakukan untuk mengurangi subsidi dan mengurangi defisit anggaran.

Pemerintah Mesir berupaya untuk mengurangi biaya produksi pembangkit tenaga listrik hingga setengahnya dengan menjualnya.

Lain halnya dengan Venezuela. Menurut IEA, negara ini memberikan subsidi BBM sebesar US$20 miliar. Beban subsidi itu menjadi salah satu faktor yang menghambat pertumbuhan ekonomi.

Negara ini, kemudian menggiatkan upaya pembangunan budaya dan semangat masyarakat untuk menghemat, serta melestarikan sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui. Venezuela juga sedang berupaya menciptakan pembangkit listrik yang bersumber dari angin.

Malaysia pun saat ini sedang berjuang keluar dari jeratan subsidi BBM. Pada 2013, Malaysia mengurangi subsidi BBM untuk menurunkan angka defisit anggarannya.

Dua tahun sebelumnya, Malaysia juga melakukan pemotongan subsidi BBM.
Anggaran subsidi dikurangi 20 sen, atau sekitar Rp700 per liter untuk premium dan jenis diesel, sehingga harga masing-masing menjadi Rp2.100 dan Rp2.700 per liter.

Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak mengatakan, pemotongan subsidi akan menghasilkan penghematan senilai 3,3 miliar ringgit, atau Rp11,2 triliun dalam setahun.

Pada 2012 lalu, Malaysia menghabiskan anggaran sebesar 24 miliar untuk subsidi BBM. Inilah yang dituding menjadi penyebab membengkaknya defisit anggaran.

Kendalikan Subsidi

Lalu, bagaimana dengan negara yang sukses memangkas anggaran subsidi BBMnya? Belanda salah satunya. Menghadapi krisis BBM pada 1972, Belanda kemudian memilih solusi alternatif mengembangkan moda transportasi sepeda.

Pemerintah Belanda lalu memprioritaskan pengembangan sepeda dengan memberi subsidi di berbagai kebijakan persepedaan nasional.  Selain itu, Belanda juga membangun infrastruktur khusus untuk pemakai sepeda.

Parkir sepeda berderetan di stasiun kereta api, museum dan taman nasional. Infrastruktur besar jalur sepeda, jalur terowongan dan sinyal lalu lintas membuat akses bersepeda lebih mudah di negara ini.

Pemerintah Belanda, mematok harga BBM sekitar US$9,63 per gallon, atau setara dengan Rp30.472 per liter. Mahalnya BBM, membuat Negeri Kincir Angin itu memiliki populasi pesepeda terbanyak di dunia.

Sementara itu, Turki menerapkan cara lain. Negara ini mematok harga BBM di dalam negeri menjadi yang paling mahal di dunia, yakni sebesar US$9,89 per gallon, atau setara Rp31.295 per liternya.

Angka itu menjadi cukup tinggi, karena pendapatan rata-rata warganya adalah US$30 per hari.

Awalnya, salah satu ekonomi terkemuka di timur Eropa itu mengalami masalah pajak yang sangat berat, yakni sekitar 40 persen penduduknya bekerja di sektor informal dan tidak membayar pajak. Hanya empat persen penduduknya yang patuh membayar pajak.

Negara ini kemudian meningkatkan basis pendapatannya melalui pajak konsumsi, seperti pajak BBM. Turki memilih langkah ini, karena relatif mudah untuk diterapkan.

Pemerintah Turki berhasil mendapatkan keuntungan yang besar dari penerimaan pajak BBM itu. Dana yang cukup besar itu digunakan sebagai modal pembangunan negaranya. (dari berbagai sumber/asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya