SOROT 302

Derita Irak

Militan ISIS
Sumber :
  • REUTERS

VIVAnews - Rabu, 19 Maret 2003, menjadi hari kelabu bagi Irak. Militer Amerika Serikat dan koalisinya, atas perintah presiden saat itu, George W. Bush, menggempur Negeri Kisah 1001 Malam tersebut.

Menurut informasi dari intelijen AS, Hussein dan pejabat kepercayaannya tengah menggelar pertemuan di salah satu gedung yang dibom militer Amerika. Stasiun berita CNN merekam detik-detik penyerangan itu. Setidaknya tiga rudal diluncurkan secara bersamaan, menghancurkan beberapa gedung yang diduga telah menjadi target. Asap hitam langsung menyembul ke langit.

Sekitar 45 menit serangan pertama itu, harian New York Times melaporkan Bush memberikan pernyataan mengenai invasi tersebut. Sekitar pukul 22:15, dari ruang kerjanya, Oval Office, Gedung Putih, Bush memaparkan alasannya menyerang Irak.

Bush beralasan Hussein memiliki potensi ancaman besar bagi AS dan dapat sewaktu-waktu menyerang Negeri Paman Sam atau kepentingan AS lainnya ketika berhasil memiliki senjata kimia.

"Sesuai dengan perintah saya, kekuatan koalisi telah mulai menyerang beberapa target militer penting untuk melucuti kemampuan perang Sadam Husein," ungkap Bush saat itu.

Namun, rencana semula AS untuk mengirimkan pasukan ke Irak selama tiga minggu berubah menjadi lebih panjang. Usai kejatuhan rezim Husein, situasi di Irak berubah lebih buruk dan memicu terjadinya perang sipil antara kaum Sunni dan Syiah tahun 2006 silam.

Alhasil, pasukan AS harus berada di sana selama hampir sembilan tahun. Kantor berita ABC News melansir setelah setahun berlalu, semakin jelas bahwa rezim Hussein tidak memiliki senjata pemusnah massal seperti yang selama ini diklaim Bush.

Hasil dari penyelidikan Kongres membuktikan bahwa administrasi Bush membuat keputusan untuk menginvasi Irak berdasarkan sebuah laporan intelijen yang salah besar. Hussein diketahui telah menghancurkan senjata kimia dan program nuklirnya, setahun sebelum diinvasi AS.

Bahkan, menurut kepala inspeksi senjata di Irak (UNMOVIC), Hans Blix, klaim yang dilontarkan Pemerintah AS bahwa mereka 100 persen yakin ada senjata pemusnah massal, namun sebenarnya mereka memiliki nol persen pengetahuan soal keberadaan senjata tersebut.

Namun, setelah delapan tahun bercokol di Irak dan berhasil meruntuhkan tirani Hussein, perubahan yang dirasakan oleh rakyat di negara itu sangat kecil. Bahkan, kantor berita ABC News melansir beberapa tahun setelah diinvasi, situasi di Irak semakin kacau.

Hal itu dipicu oleh meningkatnya aksi pemberontakan dan peperangan mematikan sektarian antara kaum Sunni dan Syiah. Pengeboman yang dilakukan oleh para teroris di Irak juga masih kerap terjadi. Salah satu yang parah terjadi pada bulan Februari 2013, ketika 200 warga Irak tewas dalam sebuah tindak kekerasan.

"Infrastruktur dan layanan sebelumnya sudah buruk. Namun, kali ini lebih buruk," ungkap warga Irak, Muhammad Jabir yang menganggur dengan dua anak.

Data dari badan Program Pembangunan PBB (UNDP) menyebut tingkat pengangguran mencapai 15 persen dan kaum muda yang tidak memiliki pekerjaan mencapai 30 persen. Sebanyak 23 persen penduduknya hidup dalam situasi kemiskinan yang ekstrim.

Masa Depan Suram

Lepas dari tirani Saddam Hussein, masa depan Irak kian tidak jelas. Setidaknya itu pengakuan Lulu, seorang insinyur sipil yang pernah diwawancarai BBC tahun 2006 silam.

Dia tinggal di sebuah kota yang sebagian besar penduduknya kaum Muslim Syiah. Dulu, ungkap Lulu, sebelum rezim Hussein runtuh, perbedaan Sunni dan Syiah tidak begitu terlihat.

"Namun, kini begitu kita bangun tidur, seseorang terbunuh," ujar Lulu.

Setelah rezim Hussein, Irak malah dikuasai berbagai kelompok pemberontak. Menurut Lulu, kelompok ini kerap mengancam akan membunuh siapa pun yang bekerja sama dengan AS.

Aksi pengeboman sudah menjadi hal lumrah di Irak. Bahkan, ketika dia dan sang ibu bepergian di sebuah pasar di Baghdad, bom meledak. Beruntung dia dan sang ibu tidak terluka. Walau di tengah ancaman bom, Lulu terpaksa tetap bekerja.

"Iya, saya tahu ada banyak bom di luar sana, tapi apa yang bisa Anda lakukan? Anda tetap harus bekerja bukan untuk memperoleh uang?", tanya Lulu.

Kualitas listrik di rumahnya pun begitu parah. Dulu, kata Lulu, ada seorang petugas yang menyalakan genset. Namun, dia tidak mau lagi melakukan hal itu, karena putrinya dibunuh kaum pemberontak.

Untuk menyiasatinya, dia terpaksa tidur lebih awal dan bangun lebih pagi. Jika ada keluarga yang sakit, kata Lulu, tidak bisa dibawa ke rumah sakit di malam hari, karena terlalu berbahaya.

"Anda harus menanti hingga pagi hari untuk membawa mereka ke RS," ujar Lulu.

Lepas dari cengkeraman rezim Saddam Hussein, Irak justru kembali dibekap perang sektarian, antara kaum Muslim Sunni dengan Syiah. Stasiun berita Al Jazeera, pada Desember tahun lalu, melansir salah satu penyebab pecahnya perang sipil tahun 2006 dipicu peledakan mesjid berkubah emas, al-Askari, di kota Samarra oleh para pejuang Sunni.

Mengetahui hal itu, para pemimpin Syiah lalu melabeli kejadian itu sebagai Tragedi 11 September. Menurut para pemimpin Syiah, peledakan mesjid itu merupakan tindakan yang brutal. Maka, mereka membalasnya dengan menculik warga di pemukiman Sunni dan membunuh mereka. Konflik sektarian tak terhindarkan. 

Saking banyaknya, kamar mayat hingga tidak mampu menampung jenazah kaum Syiah. Penderitaan itu lah yang kini masih dirasakan seorang perempuan bernama Shatha Adnan. Saat perang sektarian pecah di tahun 2006 silam, dia nyaris terbunuh akibat serangan bom bunuh diri.

Kini, sebagian besar wajahnya telah tertutup bekas luka. Bahkan, serpihan bom tersebut hingga kini, masih tertinggal di lututnya. Keluarga Adnan terpaksa harus menjual rumah mereka untuk membiayai operasi dia.

Kini, Adnan tinggal bersama putrinya, Duaa. Trauma pada perang sipil itu, Adnan tidak mau buka mulut apakah keluarganya Muslim Sunni atau Syiah.

"Kami semua warga Irak dan Muslim. Kami berdoa kepada Tuhan yang sama," ujar Adnan dan dikutip BBC tahun 2011 silam.

Oleh sebab itu, Adnan mengaku heran mengapa harus ada pembedaan tersebut. "Sunni atau Syiah? Sebelumnya, tidak ada yang menanyakan pertanyaan itu. Inilah yang menjadi permasalahan di Irak saat ini. Saya takut negara saya akan terpecah," kata dia.

ISIS Merajalela

Kini, setelah usai perang Irak, warga masih harus dihadapkan pada kehadiran kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Menurut catatan harian Jerman Der Spiegel, dulunya ISIS hanya merupakan satu dari sekian banyak kelompok pemberontak yang berperang dalam pertempuran sipil di Suriah.

"Kini, kelompok tersebut telah menyebarkan ketakutan dan kekerasan di sepanjang dua negara. Kemahsyuran dan pemimpinnya yang disegani telah dikenal dunia," tulis Spiegel akhir Juni lalu.

Pada 10 Juni lalu, ISIS berhasil menguasai Mosul, kota terbesar kedua di Irak. Data dari Majalah Time, di kota itu terdapat 3,8 juta jiwa orang. Mereka juga menguasai kota Raqqa dan Tikrit.

Bahkan, pada 30 Juni lalu, ISIS mengumumkan kekhalifahan dan mengangkat pemimpin mereka, Abu Bakr al-Baghdadi sebagai kalifah. BBC melansir ISIS memproklamirkan hal itu melalui rekaman suara yang diunggah ke dunia maya.

Paska memproklamirkan sebagai kekhalifan, mereka juga ingin dikenal sebagai negara islam. Dalam rekaman itu, mereka juga meminta seluruh Umat Muslim mematuhi dan setia terhadap Baghdadi. Mereka turut menolak demokrasi dan ajaran lain dari negara barat.

Terpopuler: Manfaat Belimbing Wuluh sampai Tanggapan Buya Yahya Soal Kasus Inses

Militan ISIS

Militan ISIS melakukan parade dengan kendaraan militer di sepanjang jalan di provinsi Raqqa, Suriah, 30 Juni 2014. (Foto: REUTERS)
Suami Sandra Dewi Tersandung Korupsi Timah, Aiman Senang Kasusnya Disetop 

Lebih Aman
Prediksi Serie A: Lazio vs Juventus

Laman stasiun berita NBC News melansir, setelah dikuasai ISIS, banyak kaum Syiah ramai-ramai mengungsi dari kota itu. Ketakutan semula menghinggapi pikiran pria dari kaum Sunni bernama Fahad. Pria berusia 30 tahun itu khawatir kerabat perempuannya akan ditangkapi kelompok militan. Namun, sikapnya berubah.

"Kami tengah bersiap untuk mempertahankan rumah dan keluarga. Namun, setelah berlalu sesaat, kami mulai melihat kenyataan. Mereka tidak memperkosa seorang perempuan pun dan memaksa orang untuk meninggalkan rumah," ujar Fahad.

Kelompok ISIS, lanjut Fahad juga tidak memburu orang yang tidak bersalah, kecuali yang sudah dijadikan target.

Bahkan, Fahad memilih untuk hidup di bawah kekuasaan pasukan ISIS, lantaran ketika dipimpin oleh pasukan pemerintah, dia kerap memperoleh perlakuan kasar, karena berasal dari kelompok Sunni.

"Saya memilih untuk hidup di bahwa pimpinan ISIS," kata dia.

Hal serupa juga diakui warga lainnya bernama Abu Sadr yang tinggal di pemukiman Hay Al Sukar. Menurut dia, paska dikuasai ISIS, kehidupan tetap berjalan normal.

"Apakah Anda tahu bagaimana rasanya di Mosul sebelum ISIS datang? Kota kami kerap diguncang bom dan pembunuhan hampir setiap hari. Kini, kami memiliki keamanan. Jalan-jalan pun cukup sepi dan beberapa orang memilih tetap berada di rumah," kata Sadr.

Kendati begitu, bukan berarti hidup jauh lebih mudah di bawah pemerintahan ISIS. Menurut Sadr, komunikasi melalui internet di Mosul sudah diputus. Belum lagi, warga mengeluhkan terbatasnya pasokan bahan bakar, air dan selama 22 jam mereka harus hidup tanpa listrik. Sementara suhu udara di luar mencapai 43 derajat celcius.

Menurut Gubernur kota Mosul, Atheel Nujeifi, pasokan bahan bakar sudah tidak masuk ke areanya sejak tanggal 10 Juni lalu. Alhasil, ujar Nujeifi, warga Mosul terpaksa antri beli bahan bakar ke area yang berdekatan dengan Kurdistan. (ren)

Masyarakat Diimbau Waspada Terhadap Penawaran Paket Umrah dan Haji Harga Murah

Masyarakat Diimbau Waspada Terhadap Penawaran Paket Umrah dan Haji Harga Murah

Masyarakat diimbau untuk berhati-hati dan tidak mudah percaya dengan pihak yang menawarkan paket umrah dan haji khusus dengan harga terjangkau.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024