SOROT 297

Mengubah Dolly

Lokalisasi Dolly Resmi Ditutup
Sumber :
  • ANTARA/Eric Ireng

VIVAnews - Beberapa perempuan muda duduk di sofa merah yang warnanya sudah pudar. Pakaiannya ketat dengan celana pendek. Sangat pendek.

Wanita ber-make up tebal berjejer di dalam ruang kaca penuh lampu. Mirip etalase. Dari ruang lain, hingar bingar musik cadas menyelimuti. Saat senja, musik itu bersaut-sautan dengan panggilan salat dari masjid sekitar.

Dari dalam, mucikari keluar melewati laki-laki ke ruang penuh asap. Perempuan-perempuan muda itu masih di “aquarium”, bermain ponsel hingga dipilih pelanggan.

Jalan-jalan sempit itu temaram, tapi ramai. Hampir di semua rumah di Gang Dolly. Ya, Dolly, kompleks rumah bordil di Surabaya yang melegenda itu.

Jokowi Beri Tugas Baru ke Luhut Urus Sumber Daya Air Nasional

Dolly masih beroperasi

Ada 1.022 pekerja seks komersial yang tersebar di 290 wisma. Rata-rata pengeluaran mereka Rp25 ribu per hari untuk kebutuhan pulsa, rokok, makanan ringan, dan sejumlah kebutuhan harian lain. (VIVAnews/Tudji Martudji)

Ada 4,14 Juta Temuan di Google jika Klik Kata Ini

Tapi pemandangan itu sudah berakhir. Pesta itu sudah usai. Sang Walikota, Tri Rismaharini, sudah menutupnya pada Rabu 18 Juni.Tri beralasan, generasi Surabaya, kota terbesar setelah Jakarta, perlu diselamatkan. "Kami harus menyelamatkan rakyat dari penindasan," kata Tri.

Soal Dolly tak ada yang tahu persis kapan berdirinya. Namun, sejumlah sumber menyebut, Dolly sudah terkenal sejak masa kolonial Belanda.

Dolly adalah nama sebuah gang sepanjang lebih kurang 100 meter. Membentang berhimpitan dengan Jalan Jarak. Gang ini berada di wilayah Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya, Jawa Timur.

Dolly bahkan disebut-sebut sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, melebihi Phat Pong di Bangkok, Thailand, dan Geylang di Singapura. Lokasi yang strategis amat menguntungkan geliat bisnis prostitusi Dolly. Cukup 10 menit bermotor dari pusat kota Surabaya di daerah Tunjungan, Dolly sudah bisa dicapai. Hanya 1,5 kilometer dari pusat kota.

Ada beragam kisah awal berdirinya Dolly. Ada yang menyebutkan Dolly itu diambil dari nama salah satu perintis usaha prostitusi,  Dolly Van de Mart. Perempuan keturunan Belanda ini membuka rumah bordil lengkap dengan perempuan-perempuan cantik. Tak jelas tahunnya berapa, tapi banyak yang mengatakan pada abad 19.

Sumber lain, dalam buku Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly karya Tjahjo Purnomo, menyatakan, daerah Putat Jaya baru diserbu para pendatang sekitar tahun 1966.

Para pendatang menghancurkan bangunan-bangunan makam setelah pemerintah daerah saat itu menyatakan makam China tertutup bagi jenazah baru, sedangkan kerangka lama harus dipindahkan ke tempat lain oleh ahli warisnya.

Peraturan itu membuat banyak orang mengincar tanah bekas makam. Banyak pendatang yang tiba-tiba membongkar, menggali, dan mengambil kerangka jenazah. Atau bahkan mereka sekadar meratakan makam, selanjutnya tanah itu diklaim.

Pada saat itu, sekitar 1967, muncul seorang wanita bernama Dolly Khavit. Dolly yang disebut pelacur ini kemudian menikah dengan pelaut Belanda.

Dolly mendirikan rumah pelacuran pertama di Jalan Kupang Gunung Timur I. Semula, Dolly menyediakan sejumlah gadis pekerja seks komersial hanya untuk melayani para tentara Belanda. Namun lambat laun, warga pribumi mulai memanfaatkan jasa mereka.

Kompleks pelacuran Dolly pun kian berkembang. Dolly yang awalnya memiliki satu wisma, sebutan untuk rumah bordil, berkembang menjadi empat wisma. Satu dikelola sendiri, dan tiga disewakan kepada orang lain.

Kemudian, pada 1969 puluhan wisma bermunculan hingga ke Jalan Jarak, Pasar Kembang.

Rumah bordil di gang yang hanya muat satu mobil itu sudah berkembang menjadi 311 wisma dengan 1.449 wanita penghibur. Semua ini merupakan bangunan rumah tinggal yang berubah fungsi menjadi wisma.

Uang Miliaran

Like Meiliani Sutedja pernah meneliti bagaimana persaingan bisnis lokalisasi ini. Penelitian yang dilakukan pada 2009-2010 ini menemukan bahwa bisnis prostitusi di Dolly hanya dikuasai beberapa orang saja.

Meiliani mengklasifikasi pebisnis besar di kompleks wisma itu menjadi dua. Pertama, induk semang atau mucikari yang mengelola satu wisma dan menampung rata-rata 44 pramunikmat. Dan kedua, pebisnis besar yang punya enam wisma sekaligus dengan total PSK mencapai 70 perempuan.

Dari kondisi ini, Meilani menyimpulkan adanya struktur pasar yang oligopoli. Penentuan harga didominasi oleh beberapa penjual dalam satu area.

Terlepas dari adanya oligopoli atau tidak, perputaran uang di Dolly sangat tinggi. Meiliani menyatakan setidaknya, empat tahun lalu, ada perputaran uang resmi Rp766 juta per bulan dari kawasan prostitusi di tengah perkampungan itu.

Pada saat itu ada 1.022 pekerja seks komersial yang tersebar di 290 wisma. Rata-rata mereka pengeluaran Rp25 ribu per hari untuk kebutuhan pulsa, rokok, makanan ringan, dan sejumlah kebutuhan harian lain. Pengeluaran Rp25 ribu ini berdasarkan wawancara beberapa pramunikmat.

Dari wawancara itu juga ditemukan penghasilan PSK dalam satu bulan berkisar Rp10-12 juta.

Tapi, hitungan AFP, perputaran uang di Dolly jauh lebih tinggi. Dalam semalam, uang berputar 300-500 juta. Uang sebesar itu sebagian besar dinikmati para pedagang kaki lima di sekitar lokasi, sopir taksi, tukang ojek, maklar, dan tentu pemilik rumah bordil. Sedangkan para PSK hanya Rp10-13 juta sebulan.

Data yang hampir sama juga dikeluarkan Ampera. Lembaga nonpemerintah memperkirakan perputaran uang di kawasan itu Rp408,8 juta per hari atau Rp12,2 miliar per bulan.

Jejak perputaran uang di Dolly dan Jarak tak bisa terdata pasti. Namun, setidaknya itu tergambar dari geliat usaha di sekitar itu. Ada toko ponsel, toko kelontong, tempat cuci baju, warung makan, dan sebaganya yang jumlahnya lebih dari 100 usaha.

Melihat begitu besarnya perputaran uang, tak heran jika muncul penolakan atas penutupan lokalisasi itu.

Awalnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga tak setuju Dolly ditutup saat ini. Komnas meminta Walikota Risma menunda penutupan karena dinilai ada unsur pelanggaran hak asasi. Karena itu, pemerintah diminta mengkaji ulang.

Belakangan Komnas HAM tak berkutik saat dipertemukan dengan Ketua RT Dupak Rukun, Bangun Sari, dan sekitar pusat prostitusi Dolly di Surabaya, Jawa Timur, Jumat, 13 Juni. Saat pertemuan itu, ternyata banyak warga yang mendukung penutupan Dolly.

"Saya harap Komnas HAM tidak membenturkan warga dengan statement-nya,” kata Ahmad Jabar, warga Moroseneng, dalam pertemuan bersama Komisioner Komnas HAM yang berlangsung di ruang rapat walikota Surabaya.

Jabar menegaskan, warga yang tidak terkait dengan aktivitas ekonomi di lokalisasi pasti mendukung penutupan. Itu, berbeda dengan warga yang terlibat langsung dalam aktivitas lokalisasi.

Mendengar dukungan terhadap langkah pemerintah itu, Komisioner Komnas HAM, Dianto Bachriadi akhirnya luluh. Ia menyatakan, tidak akan menghalangi langkah Pemkot Surabaya. Asal, dilakukan dengan baik dan tepat sasaran. "Jangan sampai berpotensi melanggar HAM," ujar Dianto.

Ia meminta, langkah penutupan dilakukan secara bertahap. Tapi, ia juga tidak akan mempermasalahkan jika Pemkot Surabaya tetap ingin menutupnya serta merta pada 18 Juni mendatang. “Asal dilakukan tanpa intimidasi dan kekerasan,” katanya.

Tidak cuma Komnas HAM. Orang dekat Risma, Wakil Walikota Surabaya Wisnu Sakti Buana juga tak sekata dengan atasannya. Wisnu menilai warga sekitar lokalisasi belum siap sepenuhnya kehilangan keuntungan dari aktivitas ekonomi dan mata pencaharian di sekitar kawasan.

Ketua DPC PDI-P Kota Surabaya ini menuturkan, warga sekitar Dolly masih memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap Dolly. Menurutnya, sudah puluhan tahun warga di sekitar kawasan itu menggantungkan hidupnya dengan bekerja sebagai tukang cuci pakaian, membuka warung makanan atau toko kelontong.

"Pemerintah Kota Surabaya perlu membangun komunikasi intensif lagi dengan warga setempat," ujarnya.

Di lapangan, susana pun mencekam. Beberapa hari menjelang penutupan pada rabu malam, 18 Juni, muncul gejolak. Warga memblokade semua jalan masuk menuju lokalisasi. Bangku, balok kayu, dan barang apa saja dipasang sebagai rintangan. Praktis kegiatan masyarakat lumpuh, tidak bisa menggunakan jalan wilayah itu.

Aksi blokade di lokalisasi Dolly, Surabaya.
Workshop Makin Cakap Digital, Membentuk Kesadaran Etika Berjejaring bagi Guru dan Murid Sorong Papua
Sejumlah warga yang menolak penutupan Dolly melakukan aksi blokade di lokalisasi Dolly, Surabaya. (VIVAnews/Tudji Martudji)

Teriakan melawan pun terdengar keras. Perlawanan ini dituangkan dalam banyak spanduk. Hujatan di mana-mana, di hampir semua gang lokalisasi itu. Termasuk memasang bendera setengah tiang pertanda duka dan perlawanan.


"Ini tandanya kita berduka dan melawan kebijakan Pemkot Surabaya yang semena-mena," kata  sejumlah orang yang menyebut kelompoknya Front Pekerja Lokalisasi.


Namun, langkah Risma terus jalan. Dolly tetap ditutup dengan seremoni penandatanganan deklarasi yang dihadiri Menteri Sosial Salim Segaf Al-Jufri.


Kompensasinya, pemerintah mengucurkan bantuan Rp7,3 miliar dari Kementerian Sosial dan Rp1,5  miliar dari Pemprov Jatim. Dana itu diberitakan kepada mucikari dan para pramunikmat di Dolly dengan besaran sekitar Rp5 juta per orang.


Setelah penutupan ini, rencananya seluruh tanah dan bangunan di Dolly akan dibeli Pemkot Surabaya. Selanjutnya akan dibuat fasilitas umum taman bermain, pusat pedagang kaki lima, masjid, dan gereja. "Apa pun asal berguna bagi masyarakat," kata Soekarwo, 28 April.


Sementara, meski dinyatakan resmi ditutup, warga lokalisasi tidak menggubris. Mereka masih melakukan blokade jalan. 

Sebagian lagi tetap membuka wismanya. Tapi, hingar bingar di kegelapan Dolly sudah memudar. Tidak seperti waktu itu. (ren)


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya