SOROT 268

Mengapa Harga Rumah Menggila

Ali Tranghanda
Sumber :
  • facebook/indrapropertynbank
VIVAnews -
Siap Tanding ! Bank Mandiri Resmi Umumkan Tim Proliga 2024 Putri, Jakarta Livin' Mandiri (JLM)
Rumah ini bernuasa Bali. Segenap ornamen utama serba dari Pulau Dewata itu. Dilumuri cat putih. Sepintas tak terlihat mewah. Berdiri di lahan seluas 162 meter persegi. Bila terkesan luas, itu karena dibangun berlantai dua.

Kiprah Ninja Xpress Jadi 'Teman' UMKM Bantu Naik Kelas

Tapi jangan salah menyangka. Lantaran berdiri di kompleks perumahan elit di selatan Bekasi, bangunan itu menjelma jadi "aset berharga". Dibeli ratusan juta, kini harganya jadi miliaran. Sudah masuk katagori rumah mewah. Yoyoh Rochmah, si pemilik rumah ini, berkisah soal harga yang mendadak terbang itu.
Masuk Usia Kepala 4, Vicky Prasetyo Sudah Siapkan Kain Kafan?


Saat dibeli tahun 2002, kisahnya, fasilitas di situ sangat buram. Semua serba alakadar. Kondisi jalan belum memadai. Fasilitas umum hampir tak ada. Apalagi usaha komersial.  Sang pengembang, katanya, mungkin bermodal terbatas.

Kabar baik itu datang sesudah Agung Sedayu Grup mengambil alih pengembangan kawasan ini. Infrastruktur jalan dibenahi. Taman berseri. Tempat ibadah berdiri. Kolam renang hingga kawasan ritel lain banyak bermekar. "Sekarang rumah ini sudah dihargai Rp2 miliar, melonjak dari harga awal Rp350 juta," kata Yoyoh kepada VIVAnews . Dikerek hampir enam kali.

Fantastis kan? Ya. Dan tentu saja bukan hanya Yoyoh yang menikmati lonjakan yang “gila-gilaan” itu. Kenaikan selangit itu, belakangan ini mudah dijumpai di kawasan perumahan lain di negeri ini. Bukan hanya di sekitar Jakarta, tempat begitu banyak orang kaya menetap, tapi juga di daerah-daerah lain, hingga ke luar Pulau Jawa.

Lihatlah survei Bank Indonesia ini. Lonjakan harga rumah, begitu temuan survei itu, memang benar-benar menggila lima triwulan belakangan. Bahkan sudah terjadi semenjak 5 tahun lalu. Dan kenaikan yang paling tinggi terjadi di Manado dan Surabaya.

Secara umum, kenaikan paling tinggi justru terjadi pada rumah kecil, yang umumnya menjadi tipe rumah murah. Menurut survei itu, kenaikan itu dipicu oleh melonjaknya harga bahan bangunan, upah pekerja, dan kenaikan bahan bakar minyak.


Kenaikan harga rumah paling tinggi pada triwulan III tahun ini terjadi pada tipe rumah menengah. Naik sebesar 2,71 persen. Dan berdasarkan wilayah, Denpasar mencatat kenaikan harga paling tinggi yakni 6,43 persen. Harga rumah tipe kecil naik 12,82 persen setelah mengalami perlambatan pada kuartal sebelumnya. Peningkatan harga yang cukup tinggi juga terjadi di wilayah Manado sebesar 5,12 persen.


Melonjak 1.500 persen


Melambungnya harga rumah ini sesungguhnya memang tak aneh. Termasuk kenaikan harga rumah Yoyoh di selatan Bekasi itu. Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda, menyebutkan harga rumah dalam sepuluh tahun terakhir tercatat naik 1.500 persen. Sungguh tak sebanding dengan pendapatan masyarakat yang merangkak.


Pemerintah, kata Ali, agak keliru melepaskan kendali harga rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah kepada mekanisme pasar. Sebab, membiarkannya bersaing bebas jelas memicu lonjakan harga. Celakanya, kenaikan juga terjadi pada rumah yang disubsidi pemerintah. "Pemerintah selama ini salah dalam mengelola
public housing
, khususnya  rumah murah untuk masyarakat menengah ke bawah," tegas Ali.


Mestinya, lanjut Ali, pengelolaan rumah murah, ditangani sendiri oleh  pemerintah. Dengan begitu  harga bisa diatur. Dengan kata lain, harga tidak diserahkan kepada mekanisme pasar. Lantaran tak dikendalikan, lanjutnya, kenaikan harga rumah dalam sepuluh tahun terakhir sudah ribuan persen.


Di sisi lain, jumlah kekurangan rumah (
backlog
), menurut Ali, sudah naik dua kali lipat menjadi 21,7 juta unit pada tahun ini. Artinya, program subsidi pemerintah yang berfokus pada masyarakat menengah bawah kurang berbuah maksimal.


Bahkan, kaum menengah setingkat manajer dengan penghasilan Rp2,5 juta hingga Rp7 juta pun susah payah membeli rumah. Dengan penghasilan sejumlah itu, mereka diperkirakan hanya memiliki daya cicil Rp1-2,5 juta per bulan. Yang dibeli seharga Rp150 juta hingga Rp200 juta per unit. Membeli rumah di atas itu, kelompok ini akan ngos-ngosan.


Selain sejumlah kota yang disebutkan tadi, lonjakan harga yang tinggi juga terjadi di Bandung. Berdasarkan data survei Bank Indonesia terhadap pengembang di Bandung, setiap tahun atau sejak 2008 hingga 2013, rata-rata kenaikan harga properti residensial bisa mencapai 7 persen.


Manajer Divisi Kajian Ekonomi Bank Indonesia Kantor Wilayah VI Jawa Barat dan Banten, Wahyu Ari Wibowo, mengatakan, peningkatan harga properti yang terjadi setiap tahun itu lantaran Bandung memiliki beberapa kelebihan. ”Bandung merupakan salah satu kota utama untuk wisata dan bisnis," kata dia kepada
VIVAnews.


Namun, dia menjelaskan, sejak kenaikan harga BBM berlaku pada Juni 2013, serta kebijakan larangan pemberian kredit pemilikan rumah (KPR) inden kedua dan seterusnya, permintaan rumah sedikit turun. “Tapi  sekarang kembali meningkat. Karena daya beli masyarakat di Bandung masih cukup kuat, dan juga peluang bisnis yang cukup tinggi," ujarnya.


Turun-naiknya harga rumah itu, juga diakui Ketua Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia Jawa Barat, Yana Mulyana. Pada 2013, setelah kenaikan harga BBM, tingkat pembelian rumah turun 10 persen. Harga naik, "Karena, harga bahan properti dan upah meningkat," katanya. Yana yang menekuni bisnis properti sejak 1993 ini menegaskan bahwa harga di wilayah Bandung utara melonjak cukup tinggi. Di antaranya Dago dan Setiabudi.


Ini Situasi di Yogyakarta?


Danang Wahyu Broto, Direktur PT Rumah Cerdas kepada
VIVAnews
, Kamis 28 November 2013, mengatakan, sebagai satu-satunya pengembang swasta di Yogyakarta yang berani membangun rumah sederhana tapak, harga tanah di wilayah Provinsi DIY saat ini cukup mahal. Rumah sederhana tapak, katanya, tidak mungkin dibangun di Sleman. Sebab, harga tanah per meter di wilayah itu sudah di atas Rp500 ribu.


Apalagi di kota Yogyakarta yang harga tanahnya sudah menukik di atas Rp3 juta, bahkan hingga Rp5 juta per meter. "Yang mungkin hanya di wilayah Kabupaten Bantul, karena harga tanahnya masih sekitar Rp100-200 ribu per meter persegi," paparnya.


Danang menjelaskan, untuk perumahan tipe menengah dan mewah, harga di Yogyakarta ini sangat tinggi dan tidak lagi realistis. Namun, rumah-rumah itu tetap laris. Tidak semua membeli untuk dihuni. Banyak juga yang sekedar investasi. "Silakan cek perumahan menengah dan mewah di Yogyakarta. Jarang dihuni pemilik, karena mereka ada di Jakarta, Bandung dan di luar Pulau Jawa," ujarnya.


Untuk Jakarta dan sekitarnya, harga rumah pun sangat tinggi pada kategori mewah. Staf pemasaran PT Jaya Property, Micha Sofia, ketika ditemui
VIVAnews
dalam pameran Real Estate Indonesia Expo 2013, mengungkapkan, harga yang ditawarkan perusahaannya bervariasi.


Harga rumah di Ayanna Residence, misalnya, menurut Micha, dijual mulai Rp814 juta untuk tipe 56 dengan luas tanah 72 meter persegi. Bila luas bangunan 66 meter persegi dan luas tanah 72 meter persegi, harga mencapai Rp860 juta. Untuk tipe premium, Jaya Property juga menyediakan rumah dengan luas bangunan 83 meter persegi, dan luas tanah 84 meter persegi. Rumah dibanderol dengan harga Rp1 miliar.


Mengapa Semua Melonjak?


Banyak sebabnya. Selain harga BBM dan bahan bangunan melonjak, pembenahan infrastruktur ikut mengerek harga. Lihatlah apa yang terjadi di Bekasi ini. Dari pantauan
VIVAnews
, jalan dan fasilitas di sana sudah mirip Jakarta. Itulah sebabnya, sejumlah pengembang raksasa seperti Summarecon Agung, Agung Sedayu Group, dan Lippo Group, membangun perumahan di kawasan berbasis industri ini. Juga berani membanderol harga hingga miliaran rupiah.


Mereka membangun perumahan skala kota. Menyediakan berbagai fasilitas untuk kemudahan hidup seperti pendidikan, perkantoran, hiburan, dan komersial. Mereka juga ikut mengembangkan infrastuktur.


Lihatlah apa yang dilakukan Summarecon Agung. Berdasarkan situs perseroan, pengembang yang dimiliki salah satu orang terkaya di Indonesia itu, membangun kawasan perumahan Summarecon Agung dengan harga mulai Rp2 miliar per unit. Demikian juga PT Premier Qualitas Indonesia yang membangun hunian Premier Serenity Bekasi. Harga jual rumah yang ditawarkan mulai Rp1 miliar.


Bubble Properti?


Harga melonjak. Bisa saja terjadi
bubble
di sektor ini. Itulah yang dicemaskan pemerintah. Bank Indonesia pun cepat merespons. Sejumlah  kebijakan baru diterbitkan. Seperti batasan uang muka minimal 30 persen dan pelarangan pemberian KPR inden rumah kedua dan seterusnya.


Head of Research and Advisory Cushman & Wakefield Indonesia, Arief Rahardjo, menggambarkan,
bubble
properti seperti kondisi balon yang ditiup semakin menggelembung. Situasi kondusif menyebabkan pertumbuhan ekonomi makin membaik, sehingga membuat bisnis yang ada di dalamnya --termasuk properti--, makin berkembang.


Dia menjelaskan, beberapa indikasi ancaman
bubble
adalah harga properti naik tinggi, serta perbandingan antara harga jual dan sewa cukup besar. Akibatnya, masyarakat menengah tidak mampu menjangkau harga jual tersebut, tingkat kekosongan tinggi, tetapi pembangunan terus dilakukan.


Menurut pemerintah, jika terjadi
bubble
properti, kalangan menengah dan menengah ke bawah yang akan terkena dampak pertama kali. Salah satu yang memicu gelembung ini adalah pengembang hunian menengah dan menengah ke bawah, yang mematok harga jual rumah tinggi. Mereka mengikuti kenaikan harga jual rumah menengah ke atas.


Menurut laporan Jones Lang LaSalle, pertumbuhan harga rumah  mewah di Jakarta pada triwulan II tahun lalu tertinggi di Asia Pasifik.  Berdasarkan riset itu, Jakarta dan Beijing masih tercatat sebagai dua kota dengan tingkat kenaikan harga rumah mewah tertinggi di Asia.


Di antara berbagai kota di Asia, harga rumah mewah di Jakarta melejit paling tinggi yakni 9 persen. Diikuti Beijing yang naik 6,7 persen. Sementara itu, kota-kota lain hanya naik tipis di bawah 1 persen, seperti Manila 0,9 persen, lalu Shanghai 0,7 persen, Mumbai 0,5 persen, dan Hong Kong 0,3 persen.


Selama satu tahun terakhir, harga hunian mewah di Jakarta pun meroket 34,2 persen, atau tertinggi di Asia. Diikuti oleh Beijing 18,7 persen, Kuala Lumpur 6 persen, Mumbai 3,2 persen, Shanghai 2,9 persen, Bangkok 2,9 persen, Manila 2,7 persen, dan Hong Kong 0,7 persen.


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya