SOROT 266

Dari Asap Hingga Ganja

asap rokok
Sumber :
VIVAnews -
Pj Gubernur Sumsel Gandeng Kadin Percepat Realisasi Program Gerakan Serentak
Halaman ini cukup luas. Bisa parkir tiga mobil plus 10 motor. Berdiri di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur, rumah itu bercat putih. Tapi sudah kusam. Di sejumlah sisi dinding, cat putih itu sudah mengelotok. Begitu masuk ke ruang tamu, bau asap menyambut hidung.

Tesla Siap Luncurkan Taksi Tanpa Sopir Tahun Ini

Pada ruang tamu itu ada lima kursi. Sejumlah tulisan yang dibingkai dan menempel di dinding itu menceritakan betapa pentingnya si empunya rumah. Greta Zahar, begitu nama sang pemilik, adalah penemu terapi balur dan asap kretek. Terapi yang dinilai ampuh menyembuhkan kanker. Tulisan-tulisan di dinding itu adalah ulasan soal terapi ini di sejumlah media massa.
Unggah Foto Perdana Tanpa Hijab, Zara Panen Kritik Netizen Sampai Singgung Mendiang Eril


Terapi ini sudah menolong banyak orang. Salah seorang staf di situ mengisahkan bahwa tahun 2007 lalu banyak pasien berobat ke sini. Meski tak seramai dulu, tempat ini masih didatangi banyak orang. Setidaknya 3 hingga 5 pasien sehari. Mereka berharap sembuh dari penyakit yang mengancam.

Seperti Kakek Ruslan, yang dijumpai Tomi Adi Wibowo dari VIVAnews , Rabu 13 November 2013,  di tempat itu.  Datang jauh dari Ciledug, dia dirundung kanker prostat. Sudah semenjak 5 tahun lalu. Ruslan mengikuti dua terapi. Balur dan asap kretek. Selama dua pekan. Ruslan diharuskan menghisap rokok.

Ruslan, yang bukan perokok sempat batuk-batuk saat pertama kali merokok. Tapi jangan salah mengira. Kretek yang dihisap itu bukan rokok seperti yang lazim ditarik para pemadat. “Rokok ini berbahan herbal untuk obat-obatan,” ujar Ruslan. Dia berharap setelah terapi ini penyakitnya perlahan tertekuk.  Mudah-mudahan, katanya, “ Setelah dicek ke dokter hasilnya akan baik dan tidak perlu melakukan operasi.”

Berapa biaya yang harus dibayar?

Obat herbal untuk terapi ini memang sudah dicari. Staf tadi menuturkan bahwa  jika mengikuti dua terapi sekaligus, balur dan asap herbal, maka biayanya sekitar Rp250 ribu. Lama waktu terapi bisa sampai 2 sampai 3 jam.


Semua penyakit , katanya, bisa diobati. Asal tekun. Mulai dari jantung, ginjal, sroke, hingga kanker. Dan sang dokter tidak asal menebak posisi sumber penyakit. Setiap pasien yang baru datang ke situ, katanya, diharuskan membawa hasil laboratorium dari rumah sakit. Tujuannya, untuk melihat letak penyakit. Dengan begitu bisa ditentukan lokasi yang akan dibalur dan diasapi.


VIVAnews
  berusaha mengontak Dr. Gretha Zahar demi menggali lebih dalam soal terapi balur. Namun sayang sang dokter belum bersedia diwawancara. Tapi terapi ini memang sudah banyak ditulis media. Termasuk tulisan-tulisan yang dibingkai dan mematut di dinding ruang tamu itu.


Secara teknis terapi ini disebut Divine Kretek atau Balur Nano. Cara kerja terapi ini bisa dibaca dalam buku
Divine Kretek Rokok Sehat
.  Prinsip divine kretek adalah menangkap metal –Hg* di tembakau (rokok) dengan scavenger,  yang merupakan formula gabungan senyawa asam amino aromatik dan EDTA dalam larutan air trides.


Divine kretek sudah dimulai semenjak tahun 2007. Metode ini digunakan untuk menyempurnakan terapi metode balur pengobatan penyakit-penyakit degeneratif. Selain di Jakarta, metode ini dipraktekkan seorang dokter di Malang, Jawa Timur.


Dalam terapi balur itu, pengasapan dengan asap divine kretek diintegrasikan dalam sistem terapi.  Di Jakarta, penelitian dan praktik mode balur dipimpin langsung Dr. Gretha Zahar. Untuk kepentingan terapi, ia memformulasi lebih dari 40 jenis divine kretek dengan scavenger  yang berbeda-beda dan fungsi yang berbeda-beda pula.


Ganja


Kanker memang termasuk pembunuh kelas wahid bagi umat manusia. Menyerang siapa saja. Dari orang miskin hingga orang kaya raya sekalipun. Digebuk penyakit ini, dunia misalnya, harus kehilangan Steve Jobs, pendiri Apple.Inc, pencipta komputer yang mungkin Anda gunakan untuk membaca tulisan ini.


Mudah menekuk sejumlah pesaing raksasa di dunia teknologi, Steve Jobs kalah total melawan kanker. Dia menghembuskan nafas terakhir, 5 Oktober 2011. Dunia melepasnya dengan tangisan dan juga berjuta terimakasih. Terutama untuk jasanya memudahkan manusia berkomunikasi di sekujur bumi ini.


Dan Steve Jobs bukan satu-satunya tokoh penting yang disudahi penyakit ini. World Health Organization (WHO) mencatat setidaknya 7,6 juta manusia di seluruh dunia meninggal dihabisi  kanker pada tahun 2008. Kematian akibat kanker diperkirakan akan terus meroket. Diperkirakan 13,1 juta kematian pada tahun 2030. Jumlah yang tentu saja menakutkan.


Itu sebabnya, banyak ahli dan negara mencari segala cara menaklukan penyakit ini. Para ahli juga berusaha mencari cara alternatif. Dua ilmuwan dari California Pacific Medical Center di San Fransisco, bahkan memanfaatkan tumbuhan yang selama ini dianggap “haram” di berbagai negara: ganja.


Pierre Desprez dan Sean McAllister, begitu nama keduanya, meneliti manfaat senyawa pada tanaman ganja untuk menghentikan penyebaran kanker.  Keduanya berbagi tugas. Selama bertahun-tahun, Desprez yang juga seorang ahli biologi molekuler mempelajari ID-1, gen yang menyebabkan penyebaran kanker.


Sementara McAllister meneliti efek Cannabidiol atau CBD, senyawa kimia yang bersifat non-toxic dan non-psikoaktif yang ditemukan dalam tanaman ganja. Keduanya kemudian berkolaborasi menggabungkan CBD dan sel yang mengandung tingkat tinggi ID-1 ke dalam cawan petri. “Apa yang kami temukan adalah bahwa Cannabidiol itu pada dasarnya bisa ‘mematikan’ ID-1,” ujar Desprez seperti dilansir laman
The Huffington Post.


Temuan keduanya pertama kali dipublikasikan pada tahun 2007. Dalam berbagai penelitian berikutnya, mereka menemukan bahwa CBD telah bekerja baik di laboratorium dan tes pada hewan. Pada tahun 2012, Desprez dan McAllister menemukan bahwa Cannabidiol bisa menghentikan metastasis pada berbagai jenis kanker agresif.


“Sekarang kami telah menemukan bahwa Cannabidiol bekerja pada berbagai jenis kanker agresif - otak , prostat. Apapun dengan tingkat tinggi ID – 1," ujar Desprez.


Selain Desprez dan McAllister, sejumlah peneliti dari University of London's St. George juga melakukan penelitian terhadap senyawa ganja. Mereka menemukan bahwa senyawa ganja memang sangat berpotensi melawan sel-sel kanker.


Dalam penelitiannya ini, Wai Liu, ahli onkologi dari University of London's St. George, menggunakan enam cannabinoid – senyawa terpenophenolic yang hadir dalam ganja- yang telah dimurnikan. Bukan minyak ganja tradisional.  Enam cannabinoid itu antara lain CBD, Cannabidiolic acid (CBDA), Cannbigerol (CBG), Cannabigerolic acid (CBGA), Cannabigevarin (CBGV), dan Cannabigevaric acid (CBGVA). "Cannabionid memiliki potensi sangat baik dibandingkan obat lain yang hanya memiliki satu fungsi," kata Wai Liu.


Selama studi, Liu dan timnya menumbuhkan sel-sel leukemia di laboratorium. Mereka membudidayakannya dengan cara meningkatkan dosis enam cannabinoid murni. Baik secara individu maupun dalam kombinasi satu sama lain.


Mereka menilai kelangsungan hidup sel-sel leukimia. Dan menentukan apakah cannabinoid mampu menghancurkan atau menghentikan pertumbuhan sel-sel tersebut. Hasilnya, terdapat penurunan dramatis dalam kelangsungan hidup sel-sel leukimia.


Meski menjanjikan, Liu masih belum mengetahui apakah pengobatan cannabinoid mampu bekerja pada 200 lebih jenis kanker yang ada sekarang ini.


Lebih lanjut, Liu juga menegaskan bahwa merokok ganja tak memiliki efek sama seperti senyawa cannabinoid murni. Alasannya, ganja mengandung 80 zat bioaktif sehingga efek antikanker yang diinginkan bisa hilang karena senyawa tersebut bisa menganggu satu sama lain. Selain itu, panas dari pembakaran merusak manfaat senyawa.


Meski pengobatan ganja untuk kanker masih sebatas penelitian, sejumlah orang sudah menerapkan terapi ini. Lihatlah apa yang ditempuh penderita leukimia asal Utah, Amerika Serikat (AS), Landon Riddle, 3. Sang ibu, Sierra Riddle, mengusahakan berbagai acara untuk mengobati buah hatinya, mulai dari kemoterapi agresif hingga radiasi.


Lantaran tak kunjung ada perubahan,  Sierra akhirnya memutuskan untuk memberikan Landon pengobatan dengan menggunakan senyawa yang terdapat pada tanaman ganja. Landon diberikan CBD dan Tetrahydrocannabinol (THC) cair.  “Dalam waktu empat pekan, kami bisa melihat peningkatan,”  ujar ibunda Riddle, Sierra.


Namun, penggunaan ganja ini membuat Sierra menuai banyak protes.  Salah seorang dokter di Colorado bahkan melaporkan Sierra ke Human Service karena menolak kemoterapi untuk Landon.


Subur


Meski dikecam, terapi alternatif ini tumbuh subur di sejumlah negara. Di Inggris, seorang pasien kanker wanita menjalani terapi alternatif yang tak kalah kontroversial: terapi antineoplastons. Sebagaimana diulas laman
Telegraph
, Hannah Bradley, divonis mengidap tumor otak.


Seperti pasien kanker lain, dia menjalani radioterapi. Rambutnya rontok. Ia juga mengalami beberapa kali kejang. Namun, hasil pemindaian menunjukkan bahwa Bradley masih memiliki sisa-sisa tumor yang agresif. Harapan hidupnya wanita berusia 28 tahun ini tinggal 18 bulan.


Bradley berusaha menyelamatkan raganya. Mencari terapi alternatif. Ia menemukan klinik Dr Burzynski yang berlokasi di Texas, AS.  Klinik ini menggunakan senyawa yang disebut antineoplastons. Ahli medis menyebut metode yang digunakan di klinik Dr Burzynski belum terbukti dan hanya bohong belaka. Selain itu, penggunaan antineoplastons untuk pengobatan kanker tidak pernah mendapatkan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (Food and Drug Administration/FDA).


Biaya yang dikeluarkan untuk menjalani terapi di klinik Dr Burzynski tidak murah. Sekitar £200.000 atau setara dengan Rp3,7 miliar. Bradley akhirnya berhasil mengumpulkan uang sebanyak £100.000 dari hasil sumbangan. Jumlah yang dinilai cukup untuk memulai pengobatan.  Obat diberikan langsung ke tubuh Bradley lewat alat akses vena sentral. Selama 24 jam sehari.


Hasilnya?


Tujuh pekan menginap di situ, hasil pemindaian menunjukkan bahwa tumor telah berkurang sebesar 11 persen. Setelah itu, Bradley kembali ke Inggris dan menjalankan pengobatan itu sendiri selama 18 bulan. “Darah saya diperiksa dua kali sepekan dan saya dipindai setiap enam pekan di rumah sakit swasta. Yang paling penting, itu tampaknya bekerja. Tumor terus semakin kecil dan pada bulan Januari tahun ini semua itu lenyap,” ujar Bradley.


Bradley tak memungkiri bahwa banyak orang yang bersaksi terapi ini tak pernah ampuh. Namun dengarlah kata-katanya. Bahwa tanpa pengobatan ini, dia tak mungkin bisa hidup hingga saat ini.


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya