SOROT 254

Kopi Terakhir Aiptu Dwiyatna

Foto keluarga Koes Hendratno
Sumber :
VIVAnews -
Tiba di Istana, Bos Apple Tim Cook Langsung Rapat dengan Jokowi
Seperti subuh yang sudah-sudah. Rabu tiga pekan lalu itu, Dwiyatna sudah bersiap. Pukul 3 lebih 30 menit.  Sang istri, Warsih, menyeduh secangkir kopi. Pahit. Itu hari Ramadan terakhir. Sahur terakhir. Besok sudah merayakan kemenangan. Idul Fitri.

Jalin Sinergi Pengawasan dengan Kepolisian, Bea Cukai Mataram Raih Penghargaan

Dwiyatna meneguk kopi itu sembari berbincang ringan dengan sang istri. Tak begitu lama, kemudian dia pamit. Pada kedinginan subuh itu, dia meluncur dari kawasan Pamulang di Tanggerang Selatan. Jalanan masih sepi. Dan hari belum terang tanah. Sekitar pukul 4.
Aura Kasih Mendadak Umumkan Rehat dari Medsos, Warganet Bertanya-tanya


Pagi itu tugasnya berat. Mengawal ceramah subuh di Cilandak Jakarta Selatan. Dwiyatna memang seorang polisi. Pada umurnya yang ke 50, pangkatnya sudah Aiptu. Aiptu Dwiyatna. Bekerja sebagai  anggota Bina Masyarakat Polsek Cilandak. 

Mengendarai motor Suzuki Smash dia melaju. Tampaknya dia harus bergegas. Sebab ditunggu atasannya, Kapolsek Cilandak Komisaris Polisi Sungkono, di Masjid Al-Ikhlas Lebak Bulus. Dia, teman-temannya dan sang komandan harus mengawal ceramah subuh itu.

Ketika sedang melaju di Jalan Otista Raya Ciputat, tiba-tiba dua pemuda  memepet laju motor Dwiyatna. Dua pemuda ini juga mengendarai motor. Dwiyatna tampaknya belum menyadari mengapa motor dua pemuda itu terus menempel.

Lalu, dorrrrrr. Timah panas itu meluncur dan menikam kepala bagian belakang Dwiyatna. Proyektil bersarang di pelipis kiri. Motor itu oleng. Polisi itu roboh. Tersungkur bersama lumuran darah.


Dia lalu dilarikan ke Rumah Sakit Sari Asih, Ciputat. Warsih mendengar kabar duka itu dengan jantung berdegup. "Saya dikabarkan bapak sudah di UGD," kisah Warsih, kepada
VIVAnews
di rumahnya, Kamis, 22 Agustus 2013. 


Air mata wanita 47 tahun itu, bersama tiga anaknya tumpah mendengar kabar tiang keluarga itu sudah wafat. Tubuh Warsih gemetar melihat sang suami pulang dibungkus kain kafan. Menangis melepas duka. Segenap lara rasanya berhimpun di rumah itu. 


Sungkono berkisah bahwa Dwiyatna mengalami luka di kepala bagian kanan bawah. Dan memang menggerikan. Peluru dua pemuda brengsek itu menembus helm yang dipakai almarhum. "Saya percaya mereka itu penembak profesional dan bukan sembarangan," tegas Sungkono. 


Kini Warsih sendirian membesarkan tiga anaknya. Dan menjadi orang tua sendirian, tentu saja tidak mudah bagi Warsih yang hanya menjadi Ibu rumah tangga, meski si sulung sudah bisa mencari nafkah. Selama ini, dapur rumah itu memang hanya dikepulkan dari gaji sang suami. Warsih berharap uang pensiun Dwiyatna cukup untuk membiayai dua anaknya yang masih sekolah. Satu di perguruan tinggi, dan satu lagi di bangku SMP.


Risa Dwi Wardani, putri semata wayang Dwiyatna  sungguh terpukul dengan kematian itu. Dia sangat dekat dengan almarhum. Semasa hidup, Risa selalu cemas  dengan kesehatan sang ayah, karena dia perokok berat. Risa pernah menyesal karena telah meminta sang ayah  berhenti merokok. Sebab sejak berhenti merokok ayahnya justru sakit gigi. "Ya sudah, bapak lalu merokok lagi," ujarnya mengenang.


Risa juga kerap membeli satu slop rokok lalu dijualnya kepada sang ayah. Sebungkus dia mengambil untung seribu perak. Kini, setelah sang ayah wafat, Risa selalu terkenang ketika almarhum masuk ke kamarnya untuk mengambil rokok. "Saya kangen. Kalau bapak buka lemari itu suka kedengaran, tapi sekarang tidak ada lagi. Rokoknya masih ada satu di lemari, mau saya simpan," katanya.


Sungkono berkisah bahwa Dwiyatna juga berpesan kepada anak-anaknya agar kelak menjadi polisi yang berguna bagi masyarakat dan tidak memeras jika terjun ke lapangan. Sungkono percaya Dwiyatna tidak memiliki musuh. Sebab pria yang jadi mualaf sejak menikah itu aktif dalam acara keagamaan dan dekat dengan masyarakat.


Firasat Buruk sang Anak


Kematian Dwiyatna dan sejumlah teror yang menimpa  polisi di jalanan, memaksa Korps Tribrata waspada. Mereka yang bertugas diperintahkan berhati-hati. Jangan sendirian. Kalau bisa berdua. Tapi dua polisi berikut ini, ditembak mati ketika mereka bertugas bersama.  Ajun Inspektur Satu Koes Hendratna dan Brigadir Kepala Ahmad Maulana.


Mereka ditembak orang tidak dikenal pada Jumat, 16 Agustus 2013. Keduanya bertugas di Polsek Pondok Aren.


Sebenarnya putra kedua Aiptu Koes Hendratna, Adam Anggoro Suseno, 15 tahun, sudah punya firasat buruk terhadap ayahnya. Adam sudah was-was sejak penembakan Dwiyatna itu. Sang istri, Anna Sunaringati, juga sudah cemas. Berkali-kali dia mengingatkan Koes agar tidak memakai seragam saat bertugas malam hari.


Tapi, pada malam itu, Anna sudah tidur. Dan di luar kebiasaan, Koes tak membangunkan istrinya itu untuk pamit. Berangkatlah Koes dengan mengenakan seragam polisi yang dibalut jaket, sekitar pukul 21.00 WIB menuju Polsek Pondok Aren. Di sana ada Apel Operasi Cipta Kondisi memperingati HUT Kemeredekaan RI.


Dan apa yang ditakutkan Adam benar terjadi. Belum sampai di Mapolsek, anggota Binmas itu ditembak dua orang yang berboncengan menggunakan motor Yamaha Mio di Graha Raya, Pondok Aren, Tangerang Selatan. Persis di depan Masjid Bani Umar. Sama seperti  Dwiyatna, peluru itu tepat mengenai kepala bagian belakang. Koes terkapar bersimbah darah. "Pukul sebelas malam saya dapat kabar bahwa bapak sudah meninggal," kisah Adam.


Keluarga sungguh tak yakin dengan kematian Koes yang begitu mendadak. Anna bahkan minta peti mati berbalut bendera merah putih itu dibuka. Sesudah peti dibuka, Anna langsung memegang kepala sang suami. Tangisnya pecah, lalu pingsan. Beruntung anak-anaknya jauh lebih tegar. Ketiganya tertunduk sambil membaca Surah Yasin. Sembari berusaha menahan tangis.


Empat hari sepeninggal Koes, rumah duka di Kampung Kebon Manggis, Pondok Kacang Timur, Tangerang Selatan, itu terlihat sepi. Anna dan dua anaknya belum kembali dari Yogyakarta mengantar Koes ke peristirahatan terakhir di Wates, Kulon Progo, Yogyakarta. "Ibu dan nenek masih berduka. Mereka terus menangis dan tidak mau makan," ujar Adam kepada
VIVAnews
, Selasa, 20 Agustus 2013.


Di depan rumah bercat oranye itu masih berdiri tenda dan bangku tempat duduk para pelayat. Sepuluh karangan bunga duka cita dari pejabat kepolisian juga masih ada di sana. Selain Adam, di rumah seluas 150 meter persegi itu, hanya ada anggota keluarga dari sang Ibu.


Sehari sebelum meninggal, Koes sempat mengajak istri dan anak-anaknya makan
seafood
di Plaza Ciledug. Dan entah kenapa, ketika sedang makan itu, Koes menitip pesan kepada dua anak lelakinya untuk menjaga sang adik, Anindia Chesta Kirani yang masih belia, 6 tahun.


Adam bercerita bahwa ayahnya selalu mengajarkan disiplin. Sang ayah juga membuat peraturan khusus untuk anak-anaknya. Koes membagi tugas bersih-bersih rumah, karena mereka tidak memiliki pembantu."Kami semua diajarkan untuk mandiri, jika bisa melakukan sendiri kenapa harus dibantu oleh orang lain," ujarnya.


Anna sempat bercerita kepada kakaknya Lis Christiani, soal pendidikan anak-anak. Menurut Lis, Kapolri Jenderal Timur Pradopo, berjanji kepada Anna untuk memberikan beasiswa sampai kuliah. Anak Koes yang pertama ditawari menjadi anggota kepolisian. "Kami sebagai keluarga sedang membujuk anak pertama untuk menjadi polisi meneruskan jejak bapaknya."


Sejak menikah dengan Koes, kisah Lis, Anna bekerja di apotek. Tapi, dia pernah berjanji jika anak ketiganya perempuan akan berhenti bekerja. Dan ternyata dia dikaruniai anak perempuan dan akhirnya berhenti bekerja. Setelah anak perempuan mereka besar, Anna membuka rental fotokopi di pinggir jalan dekat rumah. Lis berharap uang pensiun dan penghasilan dari usaha fotokopi itu bisa menghidupi Anna dan tiga anaknya.


Hingga saat ini polisi terus memburu para pelaku penembakan misterius itu. Pangkat para korban sudah dinaikan. Meski, tentu saja semua itu tidak sanggup menghapus lara keluarga yang ditinggalkan.


Tiga pekan setelah kepergian suaminya, mata Warsih masih sembab. Bibir pucat. Dia menahan segenap kerinduan pada lelaki yang 22 tahun sudah sebiduk seatap itu. Kerap kali dia berkhayal bahwa sang suami belumlah wafat. Cuma sedang bertugas dan akan pulang malam hari. Dan jika dia kembali, Warsih sudah menyeduh secangkir kopi. Pahit.


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya