SOROT 252

Ahmed Zewail, Muslim Pertama Peraih Nobel Kimia

Ahmed Hassan Zewail
Sumber :
  • morethanman.com
VIVAnews –
Guru dan IRT Jadi Korban Pinjol Ilegal Terbanyak, OJK: Cek Legalitas dan Logis Sebelum Pinjam
“Kimia adalah ilmu yang hampir seluruhnya diciptakan oleh peradaban Islam,” kata sejarawan Amerika Serikat, Will Durrant, dalam bukunya
The Story of Civilization IV: The Age of Faith.
Rendahnya Literasi Keuangan Picu Meningkatnya Korban Pinjol Ilegal

Kata “kimia” atau “chemistry” dalam Bahasa Inggris bahkan merujuk pada Bahasa Arab,
Jangan Sampai Terjerat Pinjol, Ini Tips Kelola Keuangan Lebih Cerdas
al-kimia.

Namun muslim pertama yang meraih penghargaan Nobel Kimia baru muncul pada tahun 1999. Dia adalah Dr. Ahmad Zewail (67 tahun), ilmuwan Mesir lulusan Universitas Alexandria mesir yang meraih gelar doktornya di Universitas Pennsylvania, Philadelphia, Amerika Serikat.


Kimia adalah hidup Zewail. Sejak kecil ia sudah jatuh cinta pada kimia. Orangtuanya bahkan berharap Zewail menjadi profesor. Zewail kerap menghabiskan waktu berhari-hari untuk melakukan beragam penelitian kecil-kecilan. Tanpa sepengetahuan orangtuanya, di kamar tidur dia merakit peralatan kecil dari kompor milik ibunya dan beberapa tabung gas untuk mengamati bagaimana kayu bisa diubah menjadi asap dan cairan.


Di mata Zewail, kimia amat mempesona. Sampai remaja dan menginjak bangku SMA pun, kegiatan Zewail sehari-hari tak pernah lepas dari berbagai percobaan kimia. Ini pula yang membuat dia menempuh studi di Jurusan Kimia Fakultas Sains Universitas Alexandria. Keseriusan mempelajari kimia mengantarkannya lulus dengan predikat
cum laude
. Ia langsung diangkat sebagai asisten dosen di kampusnya begitu lulus.


Kecemerlangan Zewail berlanjut. Ia memperoleh beasiswa untuk menempuh program doktoral di Universitas Pennsylvania AS. Meski awalnya mengalami kendala bahasa, otak brilian Zewail tak terbantahkan. Hanya dalam waktu delapan bulan, dia telah menyelesaikan disertasinya yang membahas tentang interaksi molekul dengan cahaya.


Setelah sempat bekerja sebagai peneliti di Universitas Berkeley California, Zewail akhirnya memutuskan menjadi dosen di California Institute of Technology. Di sini dia meneliti keadaan transisi pada reaksi kimia, yakni waktu yang harus dilalui atom atau molekul (gabungan atom) saat bereaksi.


Keadaan transisi pada reaksi kimia ini terjadi dalam rentang waktu femtodetik (0,000000000000001 detik atau 10-15 detik). Sebagai gambaran, 1 femtodetik setara dengan 1 detik dibagi 32 juta tahun. Penelitian Zewail pun melahirkan cabang baru dalam kimia yang disebut femtokimia, ilmu yang mempelajari reaksi kimia pada skala waktu luar biasa pendek, kurang dari sekedipan mata.

 

Perceraian

 

Semula penelitian Zewail tak berjalan mulus. Ia harus menghabiskan bergelas-gelas kopi dan terus berada dalam laboratorium sampai dini hari. Ini harus dibayar mahal. Zewail kehilangan kehidupan rumah tangganya. Hubungan dengan istrinya semakin tidak harmonis dan berujung pada perceraian.


Namun masalah keluarga ini tak membuat penelitian Zewail goyah. Ia terus fokus sampai akhirnya pada penghujung 1980-an berhasil mengamati keadaan transisi pada reaksi kimia garam natrium iodida. Keberhasilan ini berkat alat baru ciptaan Zewail, yakni spektotrofotometer yang sumber cahayanya berasal dari laser berdurasi femtodetik. Alat ini semacam kamera laser ultrapendek yang bekerja dengan memadukan dua berkas sinar yang dihasilkan molekul-molekul dalam sebuah ruang vakum.


Zewail kemudian menggunakan alatnya itu untuk meneliti reaksi-reaksi kimia lain pada cairan, padatan, gas, sampai reaksi kimia hayati pada makhluk hidup. Bila sebelum femtokimia berkembang, ilmuwan hanya menyusun teori tentang bagaimana atom-atom bertemu dan bergabung, kini kamera laser hasil penemuan Zewail memungkinkan peneliti untuk mengamati beragam reaksi kimia dalam gerak lambat.


Berbagai penelitian Zewail tersebut dipuji sebagai terobosan penting oleh komunitas ilmiah. Ini pula yang akhirnya membuat dia dianugerahi Nobel Kimia pada tahun 1999. Kisah bahagia Zewail berlanjut di luar laboratorium ketika ia bertemu Dema, doktor wanita ahli obat-obatan di Universitas California Los Angeles (UCLA) yang kemudian menjadi istri keduanya.


Zewail yang memiliki kewarganegaraan ganda, Mesir dan Amerika Serikat, kini menetap di San Marino, California, AS bersama istri dan anak-anaknya. Seperti yang diimpikan orangtuanya semasa dia kecil, Zewail memegang dua jabatan profesor sekaligus di California Institute of Technology, yaitu Profesor Kimia dan Profesor Fisika.


Sebelum Zewail, ada satu ilmuwan muslim lain yang pernah meraih Nobel, yakni Mohammad Abdus Salam, fisikawan kelahiran Pakistan yang menempuh pendidikan di Universitas Punjab dan Universitas Cambridge. Namun berbeda dengan Zewail yang meraih Nobel Kimia, Abdus Salam yang anggota Komunitas Muslim Ahmadiyah itu meraih Nobel Fisika. (dari berbagai sumber)


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya