SOROT 248

Menembus Jagat Maya dari Desa

Irman Meilandi menerima penghargaan seacology prize
Sumber :
VIVAnews –
Ironi Perburuan Badak Jawa di Kawasan Konservasi Ujung Kulon, Cula Dijual Rp 280 Juta
Desa itu sebetulnya tak begitu jauh dari ibukota kabupaten. Jaraknya hanya 50 kilometer. Jika jalanan mulus, dan kendaraan bermotor bisa dipacu 60km per jam, desa itu bisa dijangkau tak sampai sejam. Tapi tiga tahun silam, butuh waktu delapan jam ke Desa Mandalamekar, Kecamatan Jatiwaras, Kabupaten Tasikmalaya itu.

Sukses Gelar MotoGP, Sirkuit Mandalika Jadi Magnet Pariwisata Olahraga

Jalan ke desa itu cukuplah buruk, sangat kontras dengan rata-rata desa lain di Pulau Jawa. Jangan ditanya soal telekomunikasi. Di sana, internet adalah mimpi, dan sinyal telepon seluler pasti raib.  Kini, meski jalanan belum semulus aspal Jakarta, desa ini sudah bisa dijangkau dalam tempo tiga jam.
Menyelami Dampak Negatif FOMO pada Pengguna Media Sosial


Ini berkat terobosan dua warga desa, Irman Meliandi dan Yana Noviadi. Mereka kakak beradik. Pada 2009, Irman yang bekerja di Papua, memberi masukan kepada kakaknya. Desa mereka, kata Irman, butuh blog, sosial media di internet. Dengan begitu, kabar terpendam akan bisa dibuka keluar.

Maka hadirlah blog mandalamekar.wordpress.com. untuk promosi program desa Mandalamekar, wilayah yang dipimpin Yana sejak 2007. Di blog inilah mereka bicara program reboisasi, dan pemeliharaan hutan di sekitar mata air desa.

Awalnya tak mudah. Masyarakat desanya, seperti juga Yana, tak tahu banyak soal komputer, apalagi internet.  Tapi dia yakin, saran adiknya pasti baik. Maka, ia tak segan minta tolong petugas warnet di kota. Ia naik motor butut berjam-jam ke warnet. Naskah buat blog itu dikirim ke adiknya di Papua. Lalu Irman mengunggahnya ke blog. Begitu terus, hingga blog itu eksis.

Pada awalnya memang sulit. Tapi Yana terus belajar, hingga ia juga paham internet. Program desa di pelosok selatan kota Tasik itu pun tersiar ke sekujur bumi. “Tapi kerja ini belum maksimal,” kata Yana. Blog itu harus dikembangkan jadi web, dengan domain sendiri.

Pada 2010 Yana dan Irman pun sepakat membeli domain mandalamekar.or.id. Mestinya domain or.id  hanya untuk organisasi non pemerintah atau LSM. Tapi karena domain go.id tak boleh digunakan pemerintah desa, mereka lalu memakai or.id.


Mandalamekar.or.id pun mengarungi jagat maya. Nama desa itu kian mencorong. Sebagian besar warganya pun sudah bisa memanfaatkan internet. Bahkan, Irman kerap pulang kampung ini berhasil meyakinkan penduduk, dan menghijaukan  Pasir Bentang. Lahan 15 hektar yang tadinya ilalang kini berubah jadi hutan.


Atas prestasi itu, pada 2011,  Irman mendapat Seacology Prize, penghargaan bergengsi di bidang lingkungan hidup.


Dari situ, Mandalamekar mulai mendapat perhatian dari pemerintah dan asing, khususnya Amerika Serikat dan Australia. Perbaikan jalan sedikit demi sedikit mulai dilakukan. 


Belakangan, setelah Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (Pandi) mengeluarkan domain desa.id, mandalamekar.or.di turut migrasi ke mandalamekar.desa.id.


Terpentok dana


Kisah sukses Mandalamekar rupanya tak selalu menular. Di Desa Tridayasakti, Tambun Selatan, Bekasi, misalnya, jurus dunia maya itu belum begitu berhasil.  Desa itu coba membangun website, tapi sialnya dana cekak. Akhirnya, situs yang tadinya mau jadi corong suara desa itu pun bungkam.


Sekretaris Desa Tridasakti Siti Amalia mengakui, awalnya aparat desa sangat antusias. Apalagi lewat website, semua potensi desa bisa dipublikasi. “Saya kira gratis, tapi ternyata tetap harus beli domain dan biaya
hosting
,” katanya.


“Saya lupa berapa biayanya, tapi yang pasti kas desa tidak cukup.” Alhasil, tridayasakti.desa.id tak bisa diakses.


Sebenarnya cita-cita aparat desa ini sangat mulia. Mereka tak cuma ingin punya website, tapi juga jaringan internet gratis di seluruh kampung, sehingga masyarakat yang sedang keranjingan internet bisa menikmatinya.


Beberapa kali rapat internal mengusulkan agar kantor desa bisa disediakan Wifi. Bukan hanya untuk pegawai desa, namun juga bagi warga. “Kalau ini siapa sih yang
enggak
mau. Tapi kas desa belum mencukupi untuk wifi,” katanya.


Jalan tengahnya, Muhir, pemuda setempat yang selama ini membantu pembuatan website desanya itu mendirikan warung internet murah. Di samping balai desa, Muhir membantu siapa saja yang ingin belajar internet.


Kini, warga setempat pun jadi akrab dengan Facebook dan Twitter. Banyak anak-anak yang sepulang sekolah nongkrong, belajar internet dan mengerjakan tugas sekolah.


Tentu, tak semua sepakat. Ada sejumlah orangtua kaya, yang tak suka anaknya belajar internet di samping balai desa. Mereka lebih suka membelikan anaknya laptop dan modem. “Katanya supaya saya lebih mudah dikontrol,” ujar Iqbal Fitra, pelajar SMAN 1 Tambun Selatan.


Pengalaman menembus jagat maya, juga dilakukan Imam Soetanto, Kepala Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Desanya banyak obyek wisata, tapi kurang promosi. Lalu dibuatlah situs resmi ciburial.desa.id.


Situs itu akhirnya tak cuma tempat informasi, tapi juga pusat interaksi antara perangkat desa dengan warga sekitar. "Animo masyarakat sangat tinggi, banyak kritik dan saran yang masuk," kata Imam.


Tak cuma situs web resmi, desanya juga menyediakan internet gratisan melalui Wifi. Dan warga pun berbondong-bondong ke balai desa, memanfaatkan akses tanpa bayar itu. "Semua kami bayar dengan kas desa."


Dampaknya, kunjungan wisatawan Ciburial terus bertambah. Tak hanya turis domestik, wisatawan asing pun banyak berkunjung ke desa ini. "Mereka mengunjungi Gua Jepang dan Gua Belanda," katanya. "Ada juga yang cuma mencoba rute bersepeda."


Kebangkitan desa

Menembus jagat maya lewat teknologi informasi kini bisa jadi semacam titik kebangkitan desa. Sejumlah desa, seperti Melung dan Mandalamekar, secara terbuka mengibarkan gerakan migrasi ke
open source. 
“Teknologi ini tengah digandrungi desa,” ujar Ketua Umum Pandi Andi Budimansyah.


Atas dasar itulah Pandi, pada awal Mei lalu, meluncurkan domain desa.id.  Ini adalah usulan murni warga.  Usulan diajukan karena desa sebagai satuan pemerintahan terkecil tak dapat memakai domain go.id. Soalnya, domain go.id hanya dapat dipakai hingga level kabupaten atau kota.


Benar saja, setelah  peluncuran, setidaknya 70 desa sudah registrasi. Empat  di antaranya
,
,
dan tridayasakti.desa.id. Domain ini diharapkan mampu mendukung pengembangan konten wilayah pedesaan. “Kami berharap akan muncul konten-konten khas desa. Selama ini internet dikuasai kota,” katanya.

 

Belajar dari Melung dan Mandalamekar, penggunaan teknologi
open source
bisa memperbaiki tata kelola layanan pemerintahan. Mereka bisa memakai sistem pemerintahan elektronik (
e-government
) tanpa perlu dana besar yang menguras anggaran desa.


Dampak lain, warga jadi keranjingan menulis. Tulisan, atau berita tentang desa pun mengalir ke berbagai situs.


Kebiasaan memakai internet juga menunjang sistem administrasi kantor bebas kertas (
paperless
). Mereka mulai terbiasa mengirim undangan dengan email. Tentu, lebih hemat ongkos, dan lebih banyak pohon selamat dari mata gergaji. (np)



Laporan:
Erik Hamzah (Bekasi) dan Iqbal Kukuh (Bandung dan Tasik)


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya