SOROT 245

Washington Berharap, Tel Aviv Pesimistis

Netanyahu di Gedung Putih
Sumber :
  • REUTERS/Jason Reed


VIVAnews - Sorak-sorai bergema di alun-alun. Sabtu 15 Juni 2013 itu, ribuan orang tumpah di pusat kota Teheran, ibu negeri para Mullah ini. Kaum moderat, barisan reformis bersatu di situ. Laki wanita. Anak-anak digendong para ayah sembari bersukaria. Foto dan baliho raksasa bertebaran. Bendera dibentangkan. 

Pesta itu karena Hassan Rohani. Ulama senior berusia 65 itu terpilih menjadi presiden setelah  sukses menekuk Mohammad Bagher Ghalibaf. Negeri itu mengucapkan selamat tinggal kepada Mahmoud Ahmadinejad, presiden yang melambungkan harkat bangsa, tapi menyebabkan negeri itu dikurung embargo dunia.

Kegembiraan di Teheran itu juga melayang ke Washington dan Tel Aviv. Ibukota dua negara, Amerika Serikat dan Israel, yang selama ini selalu bersitegang dengan Iran. Rohani diyakini lebih bersahabat. Pintu masuk menyudahi perseteruan panjang itu.

Ketegangan antara tiga negara ini memang sudah lebih dari 3 dasawarsa. Sejak Revolusi 1979, pimpinan dan rakyat di negeri itu mencap Amerika "Setan Besar," sedangkan Israel "Setan Zionis." Kerap kali, sesudah shalat Jumat, banyak warga Iran berkumpul dan berpekik  anti Amerika dan segenap anteknya.

Di bawah pemerintah Ahmadinejad, Iran juga secara agresif berkawan dengan negara-negara musuh Amerika Serikat. Dia, misalnya, berkawan baik dengan Hugo Chavez, presiden Venezuela yang wafat 6 Maret 2013 yang menyebut Amerika Serikat sebagai negeri paling pongah di muka bumi ini. Ketika melayat Chavez, Ahmadinejadi sempat mengepalkan tangan ke atas di samping peti mati.

Mungkin pengaruh Ahmadinejad akan redup, sebagaimana juga pengaruh pemikiran Hugo Chavez di Venezuela tak sekokoh dulu. Dan di Iran kini sudah ada Rohani, seorang yang kalem. Moderat. Dan untuk sementara tidak suka memilih posisi konfrontatif dengan Amerika Serikat dan Israel.

Semasa kampanye Rohani sudah berikrar. Membawa perubahan. Memulihkan hak-hak mendasar dan meniupkan kebebasan ke seluruh negeri. "Kami akan membuka semua kunci yang telah mengikat kehidupan rakyat," begitu janji Rohani.

Ketika dinyatakan menang Pemilu, dia segera menggelar konferensi pers. Para wartawan internasional ramai datang. Dan yang ditunggu adalah sikap politik Rohani soal keamanan di Timur Tengah dan tentang Israel sesungguhnya ketakutan, kepemilikan nuklir.

Dan Rohani yang ditunggu dunia internasional, terutama Amerika Serikat dan Israel, dari siaran pers perdana itu. Dari ruang itu dia memberi isyarat bahwa Iran bersedia duduk di meja perundingan soal nuklir. Ingin berdialog dengan negara-negara barat dan tentu saja Amerika Serikat.

Dia berjanji akan lebih mengutamakan etika dan hubungan yang konstruktif dengan dunia, serta bersikap lebih moderat."Saya harap semua negara menggunakan peluang ini," katanya.

Luka Lama Perlu Disembuhkan

Ditanya wartawan apakah dia juga siap berdialog langsung dengan AS, yang selama ini dianggap musuh Iran, Rohani menjawabnya secara diplomatis, "Isu hubungan antara Iran dengan Amerika itu rumit dan isu yang sulit. Ini adalah luka lama yang perlu disembuhkan," kata Rohani, sebagaimana ditulis kantor berita Reuters.

Sinyal permulaan dari Rohani itu disambut gembira para petinggi Amerika Serikat. Washington menyebut ulama Syiah dan mantan negosiator nuklir itu sebagai "pertanda harapan yang potensial" dalam penyelesaian krisis kepemilikan senjata nuklir Iran, yang selama ini dipersoalkan AS dan sejumlah negara lain.

"Bila Rohani berkesadaran mematuhi resolusi-resolusi di bawah Dewan Keamanan PBB untuk membereskan program nuklir terlarang itu, dia bisa bermitra dengan kami," kata Kepala Staf Kantor Kepresidenan AS, Denis McDonough, kepada stasiun berita CBS News dan juga dikutip BBC.

Beberapa jam setelah Rohani memberi keterangan pers di Teheran, stasiun berita PBS menayangkan wawancara dengan Presiden AS, Barack Obama. Obama menekankan bahwa kemenangan Rohani jelas menunjukkan bahwa rakyat Iran ingin bergerak ke arah yang berbeda.

Rakyat Iran, kata Obama, menampik seruan kaum garis keras agar tidak berkompromi atas apapun, kapanpun dan di manapun. Jelas sudah, lanjutnya, bahwa Iran kini ingin berhubungan lagi dengan masyarakat internasional dalam cara yang lebih positif.

Obama meyakini bahwa Iran akan mengandeng Amerika Serikat, berkomunikasi secara lebih substantif. Namun, “Tunjukkan kepada masyarakat internasional bahwa kalian mematuhi perjanjian dan kewajiban internasional. Bahwa kalian tidak membuat senjata nuklir,” kata Obama sebagaimana dikutip oleh  The Washington Post.

Meski dialog dengan Washington terbuka lebar, Rouhani mengajukan syarat. Pertama, Washington harus menjamin tidak akan campur tangan urusan dalam negeri Iran. "Amerika harus berkata bahwa mereka tidak akan ikut campur atas masalah domestik Iran," kata Rohani.

Prasyarat kedua, Amerika harus kesampingkan kebijakan-kebijakan opresif atas Iran. Tampaknya yang dimaksud Rohani adalah berbagai sanksi internasional atas Iran yang selama ini digalang AS, baik secara sepihak maupun melalui Dewan Keamanan PBB, terkait kepemilikan nuklir. Lantaran sanksi itu, Iran tidak bisa bebas berdagang dengan banyak negara dan itu memukul ekonomi negara penghasil minyak itu.  

Dua syarat itu tampaknya mudah. Yang mungkin agak susah adalah syarat ketiga ini. "Mereka harus mengakui semua hak bangsa Iran, termasuk hak memiliki nuklir," kata Rohani dalam bahasa Parsi dalam siaran pers itu.

Dia menegaskan, seperti negara-negara berdaulat lainnya, Iran berhak mengolah nuklir dan tidak mau diintervensi asing. Program itu tidak akan dihentikan. Namun, dia berjanji bahwa Iran akan lebih transparan kepada dunia soal pengolahan nuklir itu.

Israel Skeptis

Nuklir Iran itulah yang menyebabkan Israel gelisah. Negeri itu masih merasa ngeri dengan ancaman Ahmadinejad. Negara zionis itu harus dihapuskan dari peta dunia. Bagi Israel, ancaman itu adalah isyarat bahwa Iran bisa menyerang kapan saja. Dan waktu itu akan datang bila Iran sukses menyempurnakan teknologi nuklir.

Itulah sebabnya Israel masih skeptis. Sikap skeptis itu tentu saja mencemaskan. Sebab naik turunnya derajat permusuhan kedua negeri itu sungguh menentukan keamanan di Timur Tengah.

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, tidak mau lekas berharap kepada Rohani. Para politisi Israel masih curiga bahwa Iran tetap membuat senjata nuklir, yang akan diarahkan ke negara zionis itu, semoderat apapun pemimpin yang dipilih.

Dalam rapat kabinet rutin Minggu kemarin, Netanyahu berpesan kepada para menteri, rakyatnya dan dunia agar  jangan senang dulu dengan perkembangan  Iran. “Komunitas internasional jangan langsung berpikiran yang mengawang-awang," kata Netanyahu seperti dikutip Yedioth Ahronoth edisi daring.

Dia mengingatkan bahwa kebijakan penting Iran, termasuk soal nuklir, tidak ditentukan presiden, tapi pemimpin spiritual sebagai otoritas politik tertinggi di negeri Syiah itu. "Kita harus ingat bahwa dalam kondisi apapun, Ayatullah Ali Khamenei yang paling menentukan soal nuklir.”

Sejak Revolusi 1979, pemimpin spiritual bergelar Ayatullah itu memang menentukan semua keputusan penting, termasuk isu keamanan. Melingkupi program nuklir, urusan pertahanan dan luar negeri.

Keputusan yang diambil Ayatullah,  sebelumnya harus mendapat pertimbangan dari dewan mullah dan didukung oleh kekuatan militer elit Iran, yaitu Garda Revolusi. Ayatullah juga yang bisa menentukan siapa yang layak jadi kandidat pemilu Presiden.

Kemenangan Rohani, kata Netanyahu, tidak mutlak ditentukan mayoritas rakyat Iran, tapi juga karena seleksi Ayatullah dan para penasihatnya. Pemimpin spiritual Iran itu telah mendiskualifikasi beberapa kandidat yang tidak sejalan dengan pandangannya.”Dari sejumlah kandidat yang diperbolehkan mencalonkan diri, Rohani yang paling sedikit keterkaitannya dengan rezim sebelumnya." Kita, kata Netanyahu, masih berurusan dengan negara yang yang menyebut Israel sebagai “Setan Zionis” besar.

Tidak hanya pemimpin Israel yang mengingatkan besarnya pengaruh Khamenei atas Rohani. Kalangan di Iran pun mengungkapkan bahwa Khamenei dan Rohani pada dasarnya berhubungan baik. “Rohani dan pemimpin spiritual telah berteman selama lebih dari empat dekade," kata Hossein Mousavian seperti dikutip Reuters. Mousavian adalah mantan anak buah Rohani yang saat masih menjadi juru runding Iran untuk masalah nuklir. "Hubungannya sudah mencapai tahap saling percaya," lanjutnya.

Sejumlah pemimpin Israel menilai bahwa terpilihnya Rohani malah kian mempersulit Tel Aviv. Dengarlah kata Menteri Parawisata, Uzi Landau. Terpilihnya tokoh yang dipandang moderat, katanya, bisa mempersulit upaya meyakinkan dunia akan maksud nyata Iran soal program nuklir. “Saya berharap negara-negara Barat tidak mudah tertipu,” tegas Landau, yang pernah menjadi Menteri Keamanan Dalam Negeri Israel, seperti dikutip Ynet News.

Beberapa hari setelah komentar Netanyahu dan Landau, Menteri Pertahanan Moshe Ya'alon melontarkan pernyataan yang serupa. Ya'alon menilai bahwa Khamenei bisa jadi menggunakan citra moderat Rohani untuk terus mengembangkan proyek nuklir. Dia meminta  Israel jangan terkesima sikap moderat Rohani.

Selain isu nuklir, Ya'alon juga menunggu apakah Iran di bawah Rohani, juga ikut campur membantu rezim Bashar al-Assad memerangi kelompok perlawanan dalam konflik domestik Suriah. Iran memang dikenal sebagai sponsor kelompok militan di Lebanon, Hisbullah, yang turut mengirim milisi ke Suriah.

Namun ada pula kalangan pemimpin Israel yang sangat menaruh harapan kepada kemenangan Rohani. Presiden Israel, Shimon Peres, berharap adanya perubahan dalam stabilitas di Timur Tengah saat Rohani memimpin. Tidak seperti Ahmadinejad yang sering melontarkan pernyataan-pernyataan kontroversial, seperti menghapus Israel dari Peta Dunia. “Saya yakin, situasi akan lebih baik dan itulah mengapa rakyat memilih dia," kata Peres seperti dikutip BBC. Walau sebagai kepala negara, tidak seperti PM Netanyahu, Peres tidak berwenang membuat kebijakan-kebijakan strategis Israel.

Menurut kantor berita Reuters, Rohani pernah menjadi juru runding Iran untuk masalah nuklir selama 2003-2005. Dia terang-terangan mengritik Presiden Ahmadinejad yang menggunakan pendekatan konfrontatif dalam menghadapi negara-negara Barat.

Namun, bukan berarti Rohani menolak pengolahan teknologi nuklir di negaranya. Dalam suatu artikel ilmiah karya Chen Kane dari Universitas Brandeis pada 2006, Rohani pernah menjelaskan bahwa Iran harus berkembang sebaik-baiknya dalam hal teknologi agar berhasil membuat nuklir.

Merawat Silek Galombang 12 Batipuh Pitalah Bungo Tanjuang

"Bila suatu hari kami mampu menuntaskan pengolahan siklus bahan bakar dan dunia melihat bahwa kami sudah tidak punya pilihan lagi dan harus memiliki teknologinya, maka situasinya akan berubah," kata Rohani seperti dikutip Kane.

Hossein Mousavian, yang juga mantan juru runding Iran untuk isu nuklir, melihat kemenangan Rohani pada Pemilu Presiden ini bisa berdampak baik dalam upaya menyelesaikan ketegangan dengan negara-negara Barat karena bisa membuka era baru kerjasama ketimbang konfrontasi dan mencapai solusi yang damai soal kepemilikan nuklir di negaranya.

Ulur Waktu

Namun, seperti yang diutarakan PM Israel, kalangan pengamat menilai bahwa kunci menyelesaikan masalah nuklir di meja perundingan bukan pada presiden baru Iran, namun pada Ayatullah Ali Khamenei sebagai pemimpin spiritual. Solusi itu tampak sulit dicapai selama Khamenei masih enggan berkompromi dengan AS.

Pandangan itulah yang dikemukakan Karim Sadjadpour, pakar isu Iran-Amerika dari Carnegie, seperti dikutip Reuters. "Pihak yang ingin kesepakatan tidak bisa menyampaikannya, dan mereka yang bisa menyampaikannya malah tidak ingin bersepakat," kata Sadjadpour.

Di satu sisi, kemenangan tokoh moderat seperti Rohani dipandang bisa membawa angin sejuk bagi negara-negara Barat untuk mengatasi krisis di Timur Tengah dengan jalan damai, apalagi dia sudah membuka kemungkinan untuk berunding dengan AS. Namun ada pula yang menilai bahwa kemenangan tokoh yang direstui pemimpin spiritual yang beraliran konservatif itu bisa menjadi strategi bagi Iran untuk melunakkan sikap keras negara-negara Barat.

"Rohani merupakan pilihan terbaik untuk mengulur waktu dari Barat atas isu nuklir," kata Mehdi Khalaji, pengamat dari The Washington Institute kepada Reuters. "Bakal butuh waktu lama untuk membentuk pemerintahannya dan tidak ada satupun yang bisa memperkirakan apakah dia akan membuat kemajuan dalam bulan pertama pemerintahannya. Itu adalah taktik yang sangat cerdik," lanjut Khalaji.

Presiden Jokowi bertemu CEO Apple Tim Cook di Istana Kepresidenan, Jakarta, 17/4

Tim Cook Puts Investment to Build Apple Developer Academy in Indonesia

The Industry Minister, Agus Gumiwang Kartasasmita ensured that Apple's Chief Executive Officer (CEO), Tim Cook puts investment in Indonesia.

img_title
VIVA.co.id
19 April 2024