SOROT 233

Berburu ‘Hobbit’ di Gua Flores

Rekonstruksi wajah Homo florensiensis, spesies orang pendek di Flores
Sumber :
  • floresgirl.com
VIVAnews -
Daftar Harga Pangan 19 Maret 2024: Beras hingga Cabai Kompak Naik
Pernyataan Dr. Debbie Argue mencengangkan hadirin di sebuah forum ilmiah. "Kami telah membandingkan (tengkorak) Homo florensiensis dengan hampir semua spesies yang satu gen dengan kita, manusia," ungkap Dr. Argue. "Mereka mirip seperti Australopithecine, yang diyakini sebagai genus Homo sebelum berevolusi jadi manusia modern (Homo sapiens)."

Dukung Hak Palestina, China Jalin Hubungan Erat dengan Hamas

Argue membeberkan kisahnya satu dekade silam kala mengekskavasi Liang Bua di Flores. Ketika itu, bersama sejumlah rekan dalam tim penelitiannya, peneliti dari Departemen Arkeologi dan Antropologi di Australian National University (ANU) itu menggali jejak keberadaan manusia purba Homo florensiensis yang masih misterius.
ICW Soroti Kasus Pungli di Rutan KPK: Betapa Bobroknya Lembaga Antirasuah Itu


Dan mereka nyaris tak percaya ketika menemukan jejak spesies manusia baru, yang diperkirakan hidup pada era Pleistosen itu, atau sekitar 2 juta - 12.000 Sebelum Masehi.

"Kita tahu bahwa Homo florensiensis telah berada di Flores, setidaknya dari 100 ribu tahun hingga 12 ribu tahun yang lalu," ucap Argue. "Tapi bukan tidak mungkin mereka pernah hidup bersama manusia modern. Setidaknya, 40 ribu tahun yang lalu juga ada Homo sapiens yang tersebar di Asia, Papua Nugini, dan Australia.”

"Inilah kenyataannya. Selama ini semua orang berpikir hanya spesies kita yang tersisa dan selamat sejak akhir Era Neanderthal, tapi ternyata tidak," ditandaskan oleh perempuan yang berkutat dengan jagat evolusi manusia sejak 1995 ini.

Semula, temuan Argue tak dipercaya banyak orang, termasuk oleh sejumlah arkeolog yang secara blak-blakan mengecam hasil penelitiannya. Mereka menuding yang ditemukan Argue hanyalah tengkorak manusia modern yang menderita kelainan microcephaly, atau mempunyai tengkorak dan otak berukuran lebih mungil dari standar manusia normal.

Debbie pantang mundur. Dia berteguh pada pendiriannya. Dia yakin temuannya bisa mengubah paradigma arkeologi, menjungkirbalikkan gagasan utama yang hidup saat ini bahwa Homo sapiens adalah satu-satunya gen manusia di Bumi, yang tersisa sejak kepunahan Homo erectus (1,8 juta - 300 ribu tahun lampau) dan Neanderthal (600 ribu - 350 ribu tahun lampau).


"Ini adalah ilmu. Memang bukan bukti definitif, tapi ini hipotesis yang sangat-sangat solid," dia berkukuh.


Belakangan, pengakuan pun datang. Hasil kerja keras Argue mendapat apresiasi dan dipublikasikan di
Journal of Human Evolution.




Manusia kerdil. Sebagian ada yang memandangnya dari kacamata skeptis, cuma fiksi, bahkan takhayul. Tapi, banyak juga yang mempercayainya sebagai sesuatu yang nyata. Namun, memang sulit mengungkapkan wujud gen Homo satu ini. Ia masih tersimpan di gudang misteri, lantaran habitatnya tersembunyi di gua dan hutan belantara.


Di Indonesia, koloni orang cebol menyebar di Pulau Sumatera, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Perawakannya pun berbeda-beda. Ada yang berbulu tebal, ada yang tak berdagu. Beberapa di antara mereka telah menyedot perhatian dari ilmuwan asing untuk datang membuktikan apakah manusia kerdil purba benar-benar pernah membangun peradabannya di Tanah Air. Atau, sebaliknya. Itu hanya mitos belaka.


Homo florensiensis


Habitat: Sekitar Liang Bua, Flores, Nusa Tenggara Timur.


Ciri-ciri: Tinggi badan 70 - 140 cm, berkulit gelap, rambut hitam, mata cekung, hidung pesek, gigi besar, berlengan panjang, tidak memiliki dagu, pergelangan tangan menyerupai gorila, dan ukuran kaki sangat panjang.


Spesies ini dikenal juga dengan sebutan Manusia Flores atau Hobbit. Nama itu diberikan para peneliti untuk genus Homo yang memiliki tubuh dan volume otak kecil, dari serial subfosil sembilan individu berbeda yang ditemukan di Liang Bua, Pulau Flores, pada tahun 2001. Kesembilan fragmen itu, yang diberi kode LB1 sampai LB9, menunjukkan ada postur manusia pendek yang tingginya cuma sepinggang manusia modern, atau sekitar 100 cm saja.


Pada September 2003, tim peneliti Indonesia dan tim Australia melakukan ekspedisi lanjutan. Tim Indonesia dipimpin oleh Raden Pandji Soejono dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan tim Australia dipimpin Mike Morwood dari Universitas New England.


Pada kedalaman lima meter, tim dikagetkan dengan temuan kerangka mirip manusia tetapi luar biasa kerdil. Tulang-tulang itu tidak membatu, namun rapuh dan lembab. Ada sembilan individu, tapi tak ada yang bagian tubuhnya lengkap. Liang Bua diperkirakan merupakan pekuburan. 

 

Melihat ukuran tengkorak dan tulang, serta kondisi kerangka yang tidak memfosil--juga temuan sisa-sisa tulang hewan dan alat-alat di sekitarnya-- usia seri kerangka ini diperkirakan berasal dari 94 ribu hingga 13 ribu tahun yang lalu, atau sebaya dengan Pithecantropus erectus yang ditemukan di Bengawan Solo, Jawa.


Menurut data Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, spesies ini mempunyai volume otak 400 cc; jauh lebih kecil dibandingkan volume otak manusia modern yang 1.400 cc. Namun, meski berotak mungil, mereka tidak terbelakang--justru boleh dianggap jenius. Di zaman itu, Homo florensiensis diyakini bisa memasak, membuat rakit, dan berburu mangsa besar, seperti stegodon atau gajah purba. Hal itu dibuktikan dengan bukti-bukti berupa artefak perkakas berburu yang terbuat dari batu dan kerangka sisa hewan mangsa.


Temuan itu dikukuhkan dengan kenyataan bahwa di sekitar Liang Bua, tepatnya di Dusun Rampasasa, Kabupaten Manggarai, Flores, terdapat koloni penduduk yang berperawakan pendek, dengan tinggi badan maksimal 140 centimeter.


Mereka juga percaya bahwa fragmen Homo florensiensis yang ditemukan para ilmuwan itu adalah nenek moyang mereka. "Kami yakin mempunyai hubungan keturunan yang erat dengan mereka (Homo florensiensis), walau ilmuwan mengatakan usianya sekitar 18 ribu tahun," ujar salah seorang penduduk bernama Mattias Haru pada
Aljazeera
.


Namun, kepercayaan penduduk setempat itu dinilai tak berdasar oleh Wahyu Saptomo, arkeolog dari Universitas Gadjah Mada. "Saya pikir itu hanya fantasi mereka. Dari yang kami temukan, mereka bukan Homo floresiensis. Dari ukuran otak dan ciri-cirinya saja berbeda. Mereka sama seperti kita, Homo sapiens."


Kendati peneliti yakin bahwa yang mereka temukan adalah spesies baru genus Homo, sampai saat ini belum ada kajian ilmiah yang membandingkan Homo floresiensis dengan kerangka manusia kerdil Flores yang menderita mikrosefali.


Suku Oni


Habitat: Sekitar Dekko Mappesangka Ponre, 60 km dari kota Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.


Ciri-ciri: tinggi badan rata-rata 70 cm, kulit mirip manusia, wajah keriput seperti orang tua, berbusana primitif dari kulit tenunan kayu.


Berbeda dengan Homo florensiensis, Suku Oni justru masih eksis di zaman modern. Mereka bukan tergolong manusia purba. Fisiknya menyerupai manusia normal, hanya saja berukuran tubuh seperti anak kecil. Hanya sepinggang manusia normal, bahkan lebih kecil.


Suku primitif ini tinggal bersembunyi di gua-gua di pegunungan Bone, Sulawesi Selatan. Konon, hidup mereka hanya bergantung pada buah-buahan yang ada di hutan sekitar pemukiman mereka. Lokasinya terpencil, seperti di Dusun Dekko Mappesangka Ponre, kurang lebih lima kilometer dari pemukiman warga.


Kepada
Bugis Pos
, Ahmad Lukman Mappasangka, mantan Kepala Desa Ponre, pernah memasuki pemukiman Suku Oni. "Itu adalah ketika saya terpilih sebagai kepala desa untuk pertama kalinya, sekitar 15 tahun yang lalu. Saya diundang oleh kepala suku mereka. Itu pun hanya satu kali. Saya pikir itu adalah bentuk apresiasi mereka terhadap saya sebagai kepala desa baru di wilayah mereka," ujar Ahmad.


Dia mengisahkan Suku Oni tinggal di dalam gua bermulut sempit. Hanya orang berbadan kecil yang bisa masuk ke dalamnya. Namun, di dalam gua, terdapat ruang yang luas dan terang.


"Mereka mempunyai furnitur alam. Ada kursi yang terbuat dari batu, juga perabotan rumah tangga lain, seperti piring, teko, cangkir, dan mangkuk yang bagus. Bahkan ada yang dilapisi emas. Piringnya terbuat dari keramik antik," Ahmad menambahkan.


Sayangnya, bahasa Suku Oni tidak dimengertinya. "Ketika itu, saya hanya menggunakan bahasa isyarat," kata Ahmad.


Bagi penduduk di sekitar pegunungan dan hutan di wilayah Ponre, keberadaan suku primitif ini sudah lama mereka kenali. Walau dibumbui kisah takhayul, warga di wilayah ini mengaku pernah melihat suku Oni, meski tidak bertegur sapa karena kendala bahasa. Buat sebagian warga yang tinggal di sekitar Desa Palet, Suku Oni bahkan diyakini sebagai makhluk setengah siluman.


Menilik riwayatnya, Suku Oni merupakan salah satu suku asli Bone, Sulawesi Selatan. Dahulu kala, mereka digunakan sebagai pekerja untuk membangun benteng kota dan irigasi kerajaan. Suku ini dikenal ulet, lincah, dan kuat. Menurut Ahmad, tak sedikit dari mereka yang dimanfaatkan sebagai mata-mata Raja Bone saat berperang melawan invasi Belanda.


Beberapa tahun terakhir, warga Suku Oni semakin jarang dilihat penduduk Desa Palet. Pemukiman mereka semakin terpencil dan tersembunyi. Sesekali saja mereka masih terlihat, di tengah malam, hanya untuk mengambil air, sembari membawa ember kayu dan obor. (kd)


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya