SOROT 220

Big Data, Jurus Teknologi Obama

Big Data Obama
Sumber :
  • REUTERS

VIVAnews – “Mari lakukan apa yang kita semua sepakat: jaga pajak kelas menengah rendah. Berdiri bersama Presiden Obama.”

Ten Hag Bawa 3 Pemain Man Utd U-18 ke Tim Senior

Untaian kalimat itu menyambut pengunjung www.barackobama.com, laman pribadi Presiden Amerika Serikat, Barack Obama. Di bawah pesan itu, ada tempat kosong mengisi alamat e-mail dan kode pos agar bisa masuk ke dalam halaman tersebut. Begitu masuk, ternyata ada ajakan untuk menyumbang dana. Ada tiga cara untuk menyumbang: langsung lewat web, lewat e-mail, dan lewat pesan singkat.

Bagi pengunjung yang tidak ingin sisihkan dana, bisa juga sumbang cerita. Maka, di laman itu, tersedia fitur “Ceritakan Kisahmu,” yang dapat diisi melalui akun Facebook dan Twitter. Ada 13 topik yang dapat dipilih untuk diceritakan dan salah satunya berkaitan dengan isu pajak.

Sopir Taksi Online yang Todong Penumpang Wanita dan Minta Rp100 Juta Jadi Tersangka

Sumbangan dan aspirasi ini menjadi cara Obama mengikat dukungan dari masyarakat untuk mengegolkan janji-janji kampanyenya. Dan janji kampanye yang sedang ditentukan nasibnya saat ini adalah soal mempertahankan pajak rendah bagi mayoritas rakyat Amerika, namun menerapkan kenaikan pajak bagi segelintir orang kaya. Obama berjanji, pajak lebih rendah bagi orang yang berpenghasilan di bawah US$250 ribu. Cara itu dia yakini bisa melindungi 98 persen rakyat Amerika.

Partai Republik, kubu oposisi yang gagal memenangkan Mitt Romney pada Pemilu Presiden 6 November lalu, sejauh ini menolak segala bentuk kenaikan pajak. Dan sayangnya, Dewan Perwakilan Rakyat yang berwenang membuat aturan ini dikuasai Partai Republik. Walau sudah berbulan-bulan, negosiasi Republik dengan Demokrat masih buntu.

Freeport Boss Meets Jokowi to Discuss Mining Contract Extension

Solusi untuk keadaan ini cuma dua, pertama, melobi Republik untuk bersedia melunak, dan kedua, merayu rakyat bersama-sama mendesakkan agenda ini. Untuk yang pertama, butuh dana membayar pelobi; donasi publik pun menjadi penting. Untuk yang kedua, Obama terbukti ahlinya.

Warisan Ted Kennedy

Pada 1979, Joe Trippi, mahasiswa teknik penerbangan di San Jose State University, dilanda kebimbangan, mau meneruskan minatnya di bidang teknologi atau beralih belajar politik, karena ingin mengubah hidup orang banyak. Menurutnya, teknologi menjanjikan namun tak berjiwa, sementara di dunia politik yang digelutinya dengan menjadi sukarelawan partai politik, dia menemukan kegairahan. Akhir tahun itu juga, dia menyetir mobil bersama seorang teman, meninggalkan kampusnya, menuju Iowa, menjadi seorang pengorganisir kampanye Ted Kennedy untuk Pemilihan Presiden.

Di Iowa, Trippi menemukan tim sukses Ted Kennedy sedang mengembangkan teknologi paling canggih yang tersedia untuk kampanye: telepon dengan menggunakan tabel indeks lima kartu. Di markas kampanye yang ditata setiap meja memiliki sambungan telepon, sukarelawan menghubungi seorang anggota Partai Demokrat dan nonpartai (disebut independen), bertanya apakah mereka berniat memberikan hak suara di kaukus Iowa. Kaukus Iowa ini maksudnya untuk menominasikan Kennedy sebagai calon Presiden dari Partai Demokrat.

Kartu indeks ini berisi nama pemilih, alamat, nomor telepon dan nomor kode yang diisi berdasarkan jawaban pemilih. Nomor “1” berarti pemilih memilih Kennedy; “2” cenderung memilih Kennedy; “3” belum memutuskan. Jika “4” berarti buruk karena berarti memilih Jimmy Carter, pesaing Kennedy.

Ketika Trippi tiba di Iowa, tim kampanye langsung memberinya kartu berkode nomor “3”. Setiap sukarelawan diminta untuk melakukan segala cara membujuk pemilih yang berkode nomor 3 agar bisa ikut memilih Kennedy. Namun apa pun pesannya, terserah sukarelawan menyampaikan.

“Sampai kampanye Obama 2012, tak ada dari sistem ini yang berubah jadi lebih baik,” kata Trippi dalam sebuah kolomnya di MIT Technology Review. Memang, sistem kartu indeks belakangan dicetak dari komputer, namun formatnya masih sama seperti tim Ted Kennedy terapkan pertama kali. Bahkan penggunaan teknologi untuk menjangkau pemilih secara pribadi justru semakin terpinggirkan.

“Saat saya bergabung dengan politik, investasi kampanye di bidang pengorganisasian dan menghubungi pemilih semakin berkurang dan berkurang,” katanya. Iklan televisi menjadi lebih penting, sukarelawan berbicara dengan pemilih semakin jarang. Polling yang dilansir televisi jadi lebih penting.

Kandidat lebih mendengarkan komentator, pengamat politik dan berita televisi, daripada suara dari pemilihnya sendiri. Dan kampanye mulai bicara soal berapa banyak uang kampanye dikumpulkan untuk membayar biaya iklan.

“Konsekuensinya, politik mulai kehilangan jiwanya, di mana ada partisipasi aktif pemilih bisa dalam pemilihan,” kata Trippi.

Namun, di akhir 2002, para profesional politik dari kedua kubu politik di AS mulai melihat cara mengubah kondisi top down dan berbiaya tinggi itu pada teknologi yang beraras bottom-up, berbasis rakyat. Tahun 2004, saat menjadi manajer kampanye Howard Dean yang mencalonkan diri jadi Presiden, Trippi mengenalkan model kampanye politik yang beraras pengorganisasian massa, melibatkan partisipasi publik, bukan mengandalkan iklan di televisi.

Namun kampanye Dean gagal. Strategi bottom-up dengan media teknologi ternyata “terlalu dini,” kata Trippi. Tahun 2003, memang ada 55 juta rumah tangga AS yang memiliki akses internet namun jaringan pita lebar masih langka dan catat, Youtube, Facebook dan Twitter, belum eksis. Sementara iPhone baru muncul tahun 2007.

Namun kampanye Dean, kata Trippi, memecahkan rekor pengumpulan dana Bill Clinton saat jadi calon presiden dan membangun organisasi nasional dengan anggota 650 ribu orang, terbesar yang pernah ada. Dan rekor ini baru pecah tahun 2008, oleh Obama.

Gua Data

Tahun 2007, media sosial membuat lebih banyak rakyat Amerika berpartisipasi dalam politik. Jumlah mereka tak terbayangkan sebelumnya.

Sebagai senator muda dari Illinois yang bertekad menjadi calon presiden, Obama saat itu mengenalkan cara kampanye yang tak biasa: lewat e-mail, Facebook dan MySpace. Pesaingnya, Hillary Clinton, yang memiliki tim yang hebat harus menyerah kalah dalam nominasi pencalonan presiden dari Partai Demokrat. “Dia [Clinton] melakukan gaya kampanye lama,” kata Trippi menyebut penyebab kekalahan Hillary.

Majalah Wired edisi 29 Oktober 2008, menyebut, Obama yang pertama kali mengintegrasikan teknologi komunikasi dengan pengorganisasian politik yang menekankan partisipasi sukarelawan dan umpan balik dalam skala yang luas, meningkat dengan cepat, dan menyebabkan antusiasme yang tak pernah terjadi sebelumnya pada hari-hari terakhir menjelang hari pemilu. Konsep jejaring sosial yang dilakukan di internet seperti "Facebook" dan "MySpace" dikombinasikan dengan database yang akurat dan selalu diperbarui.

Kubu Obama bahkan berani menolak jatah dana kampanye dari pemerintah sebesar US$85 juta karena percaya diri mampu meraup dana secara swadaya, salah satunya melalui teknologi internet dalam menggalang dana, menjual pernak-pernik, kaus, topi, dan lain-lain. Hasilnya tak percuma, dana kampanye lebih dari US$ 650 juta. Sementara warga yang diorganisasikan melalui internet ini mencapai 60 juta orang, yang sebagian besar adalah anak-anak muda.

Namun, dua tahun setelah kemenangan bersejarah Obama di tahun 2008, Partai Demokrat seperti terlena, kalah telak dalam Pemilihan Paruh Waktu Anggota Kongres. Di DPR, jumlah legislator Demokrat terpuruk jauh di bawah Republik, sementara di Senat, hanya unggul tipis. Para pengamat sibuk menyatakan ini bentuk ketidakpuasan rakyat pada pemerintahan Obama. Petinggi Demokrat dan tim sukses Obama mulai mengevaluasi, melihat kembali ke 2008, mencari kunci kemenangan Obama.

Sejak awal 2009, Dan Wagner, seorang direktur di Konvensi Nasional Partai Demokrat, sebenarnya sudah menyadari pemilih perlu didekati secara pribadi seperti dilakukan Obama. Namun data yang dipegang sudah terlalu besar sehingga tak bisa ditangani dengan perangkat lunak sederhana, dia lalu meminta departemen teknologi Demokrat mengembangkan perangkat lunak yang lebih canggih, mengubah informasi ke dalam bentuk tabel, yang kemudian dinamakan Survei Manager.

Pertengahan 2010, Demokrat dan Obama pun mulai membangun Tim Big Data yang nantinya bermarkas di Chicago, disebut sebagai “The Cave” atau “Gua”. Mashable melansir, tim yang dibiayai “Obama for America” ini dipimpin Harper Reed sebagai Chief Technology Officer. Reed sebelumnya CTO di Threadless, sebuah perusahaan kaos online. Kemudian bekas direktur riset analitis di firma Accenture, Rayid Ghani, menjadi pemimpin ilmuwan yang mengembangkan perangkat lunak menganalisis data pemilih.

Dulu di Accenture, salah satu kerja Ghani menganalisis kecenderungan jutaan konsumen Wal Mart, jaringan hipermarket terbesar di AS. Ghani mengembangkan logaritma untuk menentukan kecenderungan konsumen membeli barang dalam sebuah “indeks kesempatan”. Jika sebuah produk didiskon sekian persen, berapakah peningkatan pembeliannya. Logaritma ini membuat hipermarket bisa memprediksi penjualannya.

Setelah pemilihan 2008, Tim Obama dihadapkan pada melimpahnya data, namun terkelompok-kelompok. Mereka punya data pemilih berdasarkan berbagai klasifikasi, data survei, data pemilik saluran telepon rumah, data penyumbang dana potensial, data pengguna sosial media, dan bahkan data pelanggan supermarket. Untuk itu, tim Ghani di kampanye 2012 ini juga melibatkan ekonom dan ilmuwan-ilmuwan yang mempelajari perilaku.

Tim yang lima kali lebih besar daripada di kampanye 2008 ini melibatkan psikolog yang jago teori perilaku ekonomi dari University of California LA, Craig Fox; Susan T Fiske dari Princeton University; Samuel L Popkin dari University of California, San Diego; Robert Cialdini dari Arizona State University; Richard H Thaler seorang profesor ilmu perilaku dari Sekolah Bisnis University of Chicago; dan Michael Morris, psikolog dari Columbia.

Apa yang mereka lakukan? “Kami akan mengukur segala hal di kampanye ini,” kata Manajer Kampanye Obama, Jim Messina, seperti dilansir Majalah Time.

Syukurlah, di masa kini, Big Data tidak harus diproses oleh sebuah superkomputer yang mahal. Amazon Web Service (AWS) Blog melansir, Tim Obama dibantu perkembangan komputasi awan sehingga cukup mengembangkan perangkat lunak analisis data kompleks.

Data yang masuk ke “Gua” ini dianalisis setiap hari. Ketika Obama sudah resmi jadi calon Presiden untuk 2012, para ilmuwan ini rapat setiap hari membahas kerja mereka untuk Presiden dan tim kampanyenya. Hasilnya, langsung disetor ke Gedung Putih dan tim kampanye.

Apa yang diukur tentu sangat rahasia. Namun Craig Fox berbagi sedikit rahasia. Misalnya, bagaimana cara menghadapi rumor Obama seorang muslim? Berdasarkan riset perilaku, ternyata cara terbaik membantah rumor bukanlah dengan membantah rumor. “Bantahan berlaku jangka pendek, namun dalam jangka panjang orang hanya mengingat yang terasosiasi,” kata Fox. Jadi, cara terbaik menjawab rumor itu, ya tegaskan saja bahwa Obama seorang Kristen.

Hal lain yang diukur adalah efektivitas iklan. Dan kerja tim ini terbukti jitu, belanja iklan Obama lebih sedikit daripada saingannya, Romney, namun efektivitas iklannya jauh lebih besar. The Washington Post melaporkan, Obama jitu menyasar iklannya pada demografi penduduk tertentu seperti misalnya komunitas berbahasa Spanyol dan anak-anak muda.

Tim ini juga yang memetakan strategi yang pas untuk swing states yang menjadi tempat “pertempuran darat” Obama dan Romney. Di Ohio, Obama akan berkampanye mengenai keberhasilan bailout industri otomotif Amerika karena terdapat pabrik-pabrik otomotif di negara bagian ini.

Dua perusahaan otomotif Amerika yang terancam krisis seperti Chrysler dan General Motors tetap beroperasi di Ohio dan kini kembali menjadi produsen mobil terbesar dunia. Tim Obama tahu, satu dari delapan pekerjaan di Ohio sangat bergantung pada industri otomotif. Tak lupa, di swing states macam Ohio ini, tersebar sebuah tulisan Romney di New York Times tahun 2009 lalu, yang berjudul “Let Detroit Go Bankrupt” (Biarkan Detroit Bangkrut—red).

Analisis dari “Gua” ini juga diaplikasikan dalam strategi lapangan. Di negara-negara bagian kunci, “Gua” memberikan data pemilih yang harus didatangi, ditelepon atau bahkan dibantu untuk datang ke tempat pemungutan suara karena kondisi fisik yang terbatas. Para sukarelawan bekerja berdasarkan panduan naskah yang disiapkan berdasarkan analisis tim, sebuah teknik membangun motivasi yang berdasarkan riset perilaku.

“Kami menggunakan naskah itu sebagai pemandu,” kata Sarah Weinstein, seorang gadis 18 tahun yang menjadi sukarelawan di Cleveland. Jelas, ini terobosan besar daripada yang dilakukan Trippi saat jadi sukarelawan kampanye Ted Kennedy di Iowa 30 tahun lalu.

Data besar yang dikelola ini sekaligus menjadi ladang pengumpulan dana Obama. Berbekal alamat e-mail puluhan juta pemilih, 34 juta penggemar halaman Facebook Obama dan 27 juta follower Twitter menjadi kekuatan utama. Tim juga mengembangkan pengumpulan dana via pesan singkat dengan cara, misal, mengetik angka 10 (berarti 10 dolar), lalu kirim ke OBAMA (62262).

Hasilnya, menurut Mashable, Obama menghasilkan US$690 juta melalui online, melampaui yang diperolehnya tahun 2008. Lebih banyak orang menyumbang, dari rata-rata sumbangan US$126 jadi US$156. Total, Obama mengumpulkan dana sumbangan lebih dari US$1 miliar, ditambah dari program pengumpulan dana yang melibatkan artis seperti George Clooney.

Apa peran “Gua” dalam pengumpulan dana ini? EngageDC menyebutkan, ada tiga tahap. Pertama, mengirim e-mail lebih banyak daripada 2008; kedua, mencoba segala cara; dan ketiga, membuat orang berpikir Obama bisa kalah.

Contoh untuk yang ketiga ini, sebuah e-mail Obama mengingatkan pendukungnya bawah Mitt Romney berhasil mengumpulkan dana melampaui Obama yakni sebesar US$2,6 juta.

Jelas, kata Trippi, Pemilihan Presiden 2012 ini telah membuat “politik kembali memiliki jiwanya”. Strategi kampanye kandidat bukan lagi ditentukan konsultan politik, tukang survei atau penasihat, atau jor-joran iklan di televisi dan media massa. Strategi kampanye dilahirkan dari analisis atas data kuantitatif oleh para ilmuwan.

Analisis ini kemudian dipakai kader-kader partai dan sukarelawan untuk bertemu dengan pemilih, mengetuk pintu demi pintu, menyampaikan pesan yang pribadi, bukan lagi umum dan tak bernyawa. Dan pemilih juga dilibatkan melalui jejaring sosial, menangkap cerita mereka melalui “Ceritakan Kisahmu” dan bahkan juga ikut mendanai kandidat idola mereka.

“Bagi saya sekarang, terasa teknologi telah memberdayakan rakyat dan membuat politik kembali berjiwa,” kata Trippi bahagia.
==========

Sumber: CNN, MIT Technology Review, Time, Mashable, Amazon Web Service Blog, The New York Times, dan The Washington Post

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya