SOROT 220

Newsweek, Awal dari Akhir Cetak

Tina Brown
Sumber :
  • REUTERS

VIVAnews–Sambil mengoleskan produk penggelap kulit, Arnaud de Borchgrave berjemur di teras sebuah hotel di Amman, Yordania. Tiba-tiba terdengar keributan di jalanan di teras bawah. Lalu sebutir peluru melesat, nyaris menghajar pria veteran Angkatan Laut Inggris itu.

Cak Imin Puji Militansi PKS di Pilpres 2024: 'Kalau Mau Berjuang Ya Hanya dengan PKS'

Peluru itu melubangi jendela kaca, dan menembus ke kamar, ke lemari pakaian. Lima jas milik Arnaud, yang dijahit khusus di Savile Row, London, tertembus timah panas itu. Tahun 1970-an, satu jas ini saja berharga lebih seratus poundsterling, sekitar jutaan rupiah.

Borchgrave panik. Pantang baginya tak mengenakan pakaian bermerek ketika bertemu para pemimpin negara atau pemerintahan. Hari itu juga, dia berbelanja lima jas bermerek lagi, dan kuitansinya dikirim ke kantornya, Majalah Newsweek, di New York, Amerika Serikat.

Presiden PKS: Saatnya Pak Anies Mendukung Kader PKS untuk Maju di Pilkada DKI

“Anda tahu bagaimana (orang-orang) media berpakaian. Saya berpakaian seperti duta besar. Dan saya berhasil (bergaul) dengan duta besar,” kata koresponden luar negeri Newsweek selama 30 tahun, antara 1950-1980 itu.

Penampilannya flamboyan. Mungkin setara dengan kesuksesannya sebagai jurnalis masa itu. Dia wartawan pertama mewawancarai Juan Carlos ketika jadi Raja Spanyol setelah Jenderal Franco terguling. Dia bertemu lusinan kepala negara, dan mewawancarai mereka secara eksklusif, selama 30 tahun karirnya. Belasan medan perang telah dijelajahinya.

Celine Dion Ungkap Penyakit Langka yang Dideritanya: "Saya Berharap Ada Keajaiban"

“Hari-hari itu, kami bepergian dengan kelas pertama. Tinggal di hotel bintang lima. Jika tinggal beberapa hari di satu tempat, bisa membeli jas baru. Tak pernah ditanya. Tak pernah pengeluaran saya ditanya kantor selama 30 tahun bekerja untuk Newsweek,” kata Borchgrave yang setelah berhenti dari Newsweek pernah menjadi Pemimpin Redaksi The Washington Times itu.

“Kini, tentu saja, semua ditanyakan. Benar-benar masa berbeda. Kami beruntung menjadi bagian dari masa itu,” kata Borchgrave.

Edisi Cetak Terakhir

Cerita Borchgrave muncul dalam edisi cetak terakhir Newsweek, edisi 31 Desember 2012. Di edisi ini pula Pemimpin Redaksi Newsweek, Tina Brown, menulis sebuah kolom berjudul “A New Chapter”. Brown menyatakan, edisi berikutnya Newsweek akan disebut Newsweek Global, hanya hadir di ranah internet, bisa diunduh-beli melalui iPad atau tablet.

Menurut Brown, kebijakan meninggalkan platform cetak ini hasil pergulatan dua tahun setelah media ini dibeli bos radio, Sidney Harman, dari Washington Post pada 2010. Oleh Harman, Newsweek lalu dikawinkan dengan The Daily Beast, media online yang didirikannya bersama Barry Diller dari InterActive Corp (IAC) dua tahun sebelumnya. Dan Oktober lalu, sepeninggal Harman yang wafat karena leukemia, ahli warisnya memutuskan tak menopang dana lagi untuk majalah yang pertama kali terbit 1933 itu.

Majalah The Economist menganalisis, turbulensi di majalah mingguan sebenarnya sudah terjadi jauh-jauh hari, sejak pertengahan 2000-an. Antara 2007-2011, oplah majalah ini anjlok lebih dari 51% menjadi sekitar 1,5 juta. Lalu pada 2007-2009, saat Newsweek masih dipegang Washington Post, pendapatannya anjlok 38 persen, menjadi hanya US$165 juta. Tiap tahun, bos Washington Post menanggung kerugian puluhan juta dolar di majalah yang dikuasainya sejak 1961 itu.

Pemimpin Redaksi Newsweek pada kurun itu, Jon Meacham, sudah berusaha mengatasi tren merugi ini. Setahun setelah menduduki kursi Pemred pada 2006, Meacham mendesain ulang dan mengubah strategi pemasaran. Foto dikurangi, teks ditambah 30 persen. Oplah terpangkas jadi 1,5 juta, namun harga per eksemplar dinaikkan US$1 menjadi US$5,95.

“Ini memang melawan intuisi,” kata Meacham beralasan. “Para staf tak memahami ini,” katanya seperti dilansir The Daily Beast pada 2010.

Dan hasilnya memang sesuai intuisi. Penghasilan bukannya meningkat, namun malah terus menurun. Rabu, 5 Mei 2010, Presiden PT Washington Post Donald Graham sudah habis kesabaran, mengumumkan akan menjual Newsweek.

Setelah berbulan-bulan mencari pembeli, 2 Agustus 2010, Graham menerima penawaran dari Sidney Harman, yang dua tahun sebelumnya mendirikan media online Daily Beast. Harman yang berusia 91 tahun saat itu, membeli Newsweek seharga 1 dolar. Tapi dia bersedia menanggung segala utang Newsweek sebesar US$47 juta, plus operasional Newsweek yang setiap pekannya menanggung kerugian setengah juta dolar. Harman sesumbar, 2013 akan balik modal.

Di hari-hari pertama ditangani Harman, Newsweek benar-benar seperti tanpa masa depan. Pemimpin redaksi Jon Meacham, redaktur eksekutif, redaktur berita, redaktur pelaksana, dan bahkan Kepala Biro Washington pergi, meninggalkan nama besar dan keuangan yang berdarah-darah. Sebagian pengiklan pun minggat.

Pemimpin Redaksi The Daily Beast, Tina Brown, lalu ditugasi sekaligus memimpin majalah terbesar kedua di Amerika setelah Time itu. Beberapa bulan setelah dibeli, kedua media itu benar-benar dimerger. Newsweek muncul sebagai media cetak, namun sebagian kontennya hadir di The Daily Beast yang telah tumbuh dengan belasan juta pageview per bulan itu.

Dua tahun kemudian, Harman wafat. Newsweek makin tertatih-tatih. Desain ulang pada Maret 2011 juga tak menolong banyak. Oktober 2012, mereka pun memutuskan, edisi cetak terakhir pada 31 Desember nanti.

Melajunya iklan Internet
Digitalisasi Newsweek ini bak penanda berakhirnya era media cetak di Amerika Serikat. Meski sudah diramalkan bertahun-tahun sebelumnya, baru 2012 ini, iklan di internet dipastikan menyalip penghasilan iklan di media cetak.

Paruh pertama 2012 ini, situs internet AS mengumpulkan US$17 miliar dari iklan, meningkat 14 persen dari periode sama di tahun 2011. Kalau pun kenaikan menurun di paruh kedua 2012 ini, kombinasi data statistik dari Pricewaterhouse Cooper, eMarketer, dan Newspaper Association of America, yang dilansir Technology Review, memastikan penghasilan media cetak sebesar US$35,8 miliar akan disalip. Berdasarkan data Nielsen, penghasilan televisi masih jauh lebih besar, melewati angka US$75 miliar.

Asosiasi Surat Kabar Amerika (NAA) menyebutkan, media cetak kehilangan US$798 juta di paruh pertama 2012 dibandingkan periode sama tahun lalu. Namun penghasilan dari digital hanya US$32 juta, yang berarti “hilang 25 di cetak, hanya dapat 1 di online.” Kondisi ini, menurut Poynter.org, karena bagian terbesar iklan di online diperoleh oleh “pemain murni” seperti Google, Facebook, dan Yahoo!, bukan situs berita.

Namun riset lain dari Pew Research Center’s Project for Exellence in Journalism, menemukan perbandingannya bukan 25 banding 1, tapi 7 banding 1. Data ini berdasarkan survei atas 38 koran dari enam perusahaan berbeda di Amerika Serikat.

Ketua Umum NAA, Jim Moroney, menyatakan, kini media cetak berusaha menyeimbangkan bentuk cetak dan versi onlinenya. Selain mengharapkan laba iklan, penerbit The Dallas Morning News itu menyatakan, mereka menggenjot penghasilan dari sirkulasi. The Dallas Morning News misalnya, menerapkan sistem konten berbayar untuk versi digitalnya, meski penghasilan terbesar tetap dari media cetak.

Salah satu kisah sukses dari keseimbangan ini datang dari The Atlantic, sebuah media bulanan di Washington DC. Tahun ini, New York Times melaporkan, penghasilan media dikuasai Atlantic Media Company ini mulai didominasi iklan di versi online. Tak seperti The Dallas Morning News yang berbayar, Atlantic.com mencopot pay wall itu. Hasilnya, pada 2012 ini, penghasilannya berlipat ganda dibanding 2005, mencapai US$32,3 juta, separuhnya dari iklan. Dan iklan digital menyumbangkan 40 persen dari penghasilan iklan.

Namun Atlantic belum seberani Newsweek yang sepenuhnya mempertaruhkan diri di ruang digital. “Kadang, perubahan bukan hanya baik, tapi perlu,” kata Tina Brown, Pemimpin Redaksi Newsweek. Kali ini, mungkin Newsweek tak keliru.(np)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya