Malpraktik

Dari Meja Operasi ke Meja Hijau

VIVAnews – “Kalau tidak memikirkan anak, akan saya cari mereka sampai kemanapun untuk mengganti nyawa istri saya.”

Ucapan itu terlontar dari mulut Indra Syafri Yacub saat menceritakan istrinya, Adya Vitry Harisusanti, yang telah meninggal enam tahun lalu.
 
Kisah bermula ketika Santi, nama panggilan istri Indra, mengalami muntah darah pada 20 Oktober 2003. Ia pun langsung membawa istrinya ke RS Azra di Bogor. Dokter  di sana menyatakan Santi harus diperiksa darahnya setiap enam jam sekali karena diduga mengalami luka pada usus. Tiga hari kemudian Santi diperbolehkan pulang.
 
Kesembuhan itu hanya bertahan sekitar dua minggu. Pada 9 November, Indra kembali harus membawa istrinya ke rumah sakit. Saat itu Santi mengeluh mengalami nyeri pada bagian kandungannya. Akhirnya, Indra membawa ke Rumah Bersalin Sukoyo, Bogor. Sesuai hasil pemeriksaan USG, tim dokter menyatakan Santi menderita gejala tipus serta ada kista di bagian kanan dan kiri kandungannya.
 
Sehari kemudian, Santi langsung dirujuk ke RS PMI Bogor. Gula darah Santi terus menurun. "Inilah awal dari penderitaan almarhumah istri saya," ujar warga Jalan Rajawali Selatan Jakarta Pusat itu.
 
Hal ini terjadi karena ia menduga RS PMI telah melakukan tindakan medis tanpa konfirmasi yang jelas. Dr Ahani, yang menjadi penanggung jawab pasien, memerintahkan melakukan rontgen di bagian dada, padahal keluhan pasien di bagian perut.
 
Dr Ahani pun kemudian merujuk agar Santi ditangani dokter Surya Chandra. Dokter spesialis kandungan ini kemudian memutuskan harus segera melakukan operasi kista pada 14 November. "Anehnya, surat persetujuan operasi sudah ditandatangani tapi pasien tak kunjung dioperasi," kata Indra
 
Setelah 15 hari dirawat, tim dokter belum juga menemukan penyakit yang diderita Santi. Indra kemudian memindahkan istrinya ke RS Pelni Petamburan. Sama dengan rumah sakit sebelumnya, tim dokter masih belum menemukan penyakit Santi, meskipun sudah dirawat tiga minggu.  Padahal, berdasarkan USG ditemukan ada pendarahan dalam kandungan.

Selain itu, kata Indra, hemoglobin Santi terus turun, sementara dokter yang bertanggung jawab tidak pernah datang. "Dan setiap hari saya ditagih bayar Rp 5 juta," jelasnya.
 
Indra kemudian memindahkan istrinya ke RS Cipto Mangunkusumo pada 17 Desember 2003. Tak sampai satu hari, akhirnya penyakit Santi diketahui. Dokter menyatakan bahwa penyakit Santi ada pada usus, dan tidak ada kaitannya dengan kandungan.
 
Di rumah sakit itu, Indra juga merasa mendapatkan pelayanan medis yang tidak layak. Santi pun akhirnya menghembuskan nafas terakhir di sana.

Di tengah berkecamuknya perasaan Indra, salah satu dokter di RS PMI Bogor pernah menemuinya untuk meminta maaf. "Ini kan menunjukkan bahwa ada kesalahan dalam penanganan terhadap istri saya."

Indra pun kemudian menggugat tiga rumah sakit tersebut,  RS PMI Bogor, RS Pelni, dan RSCM, sekaligus di di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain itu, ia juga menggugat Dr. Ahani, Dr. Surya Chandra Narya, Dr. Sunarya, dan Dr. Nopi H (RS PMI Bogor), Prof. Dr Ali Sulaiman dan Dr Nugroho (RS Pelni Petamburan), serta Dr. Fahrurozi dan Prof. Dr. Daldiyono (RSCM).
 
Indra menilai tindakan dari para tergugat melanggar Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Kode Etik Dokter, dan Kode Etik Rumah Sakit. Ia meminta agar para tergugat membayar ganti rugi secara tanggung renteng sebesar Rp 3,047 miliar. Ganti rugi ini harus dibayar paling lambat empat hari sejak putusan. "Tapi putusannya, gugatan penggugat tidak diterima hakim," ujar kuasa hukum Indra, Hermawanto dari LBH Jakarta.
 
Tak puas atas hasil itu, Indra kemudian menggugat Majelis Kedokteran DKI Jakarta hingga Departemen Kesehatan. "Tapi akhirnya tidak ada jawaban pasti hingga kini," ujar Indra.

Menurut Hermawanto, ketidakjelasan proses hukum, dalam kasus dugaan malpraktik, tak hanya dialami Indra. Salah satu kliennya, keluarga Darwis Lubis, juga mengalami hal yang hampir sama ketika mengadukan dokter dari RS Fatmawati, Dr. Lukti Gatam dan Prof. Dr. Subroto Sapardan, ke Polda Metro Jaya.

Kedua dokter itu diduga salah menganalisa penyakit anak perempuan Darwis, Celli Wine Carlina (16). Tim dokter yang merawat Celli menyatakan pasien terkena penyakit scoliosis.
 
Tim dokter yang mengoperasi Celli kemudian memasang sebanyak 12 mur dengan panjang 30 sentimeter di tulang belakang. Pasien sempat dirawat selama sebulan.
 
Sekitar satu tahun setelah operasi, punggung Celli terlihat mengalami kelainan. Keluarga Darwis kemudian kembali lagi menemui dokter Subroto. Dokter itu kemudian mengusulkan agar bagian yang menonjol itu agar dipotong.
 
Atas tindakan itu, Darwis melaporkan Lukti dan Subroto karena diduga melanggar ketentuan dalam Pasal 360 tentang kelalaian yang menyebabkan cacat. "Tapi gugatan ini tidak diketahui lagi rimbanya," ujar Hermawanto.

Meski begitu, kata dia, tidak semua kasus dugaan malpraktik berujung pada ketidakpastian saat berurusan dengan hukum. Dia menceritakan pengalaman kliennya, Andry Oei, saat menggugat bidan RS Libra, Sri Ningrum. Bidan itu dinilai tidak melakukan pengawasan terhadap Sherly, putrinya, yang baru lahir. Akibatnya, Sherly mengalami cerebal palsy hingga kesulitan dalam tumbuh kembang.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Cibinong memenangkan gugatan dari Andry Oei. Namun, pihak tergugat langsung mengajukan banding. "Sampai saat ini kami masih menunggu putusan banding di Pengadilan Tinggi Bandung," kata Hermawanto, dari LBH Jakarta.

Pengalaman yang hampir mirip juga dialami oleh mantan Direktur Utama PT Aneka Tambang, Darmoko. Gugatan yang ia ajukan ke Rumah Sakit Pondok Indah berujung manis.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menilai Rumah Sakit Pondok Indah harus bertanggung jawab atas kematian istrinya, Sita Dewati Darmoko.
 
Kasus ini berawal saat Sita dioperasi untuk pengangkatan tumor di rumah sakit tersebut pada 12 Februari 2005. Operasi itu dipimpin Prof DR. Ichramsyah A. Rachman. Usai operasi, tumor yang tumbuh di tubuh Sita dinyatakan tidak ganas.

Masalahnya, hasil uji pathology anatomy pada 16 Februari menunjukkan fakta lain. Tumor yang tumbuh di ovarium Sita ternyata ganas dan tidak pernah dikabarkan ke pasien maupun keluarganya.
 
Setahun kemudian, Sita kembali mengeluh sakit. Dia mengeluh adanya benjolan di sekitar perutnya. Sita pun kembali ke RS Pondok Indah. Dan baru pada saat itulah, Sita diberitahu mengenai hasil uji laboratorium pathology anatomy yang menyatakan tumor yang berada di tubuhnya adalah ganas.
 
Kondisinya pun makin memburuk. Hasil pemeriksaan CT-scan menunjukkan tumor yang diidapnya sudah pada tahap stadium IV.  Ini menunjukkan pasien menderita kanker lever stadium IV. Sita pun harus menjalani kemoterapi sebanyak enam kali.
 
Atas kelalaian itu, RS Pondok Indah menawarkan ke keluarga Darmoko ganti rugi Rp 400 juta. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi Rp 1 miliar. Janji itu tidak pernah direalisasikan hingga Sita meninggal.
 
Tak puas atas tindakan rumah sakit tersebut, keluarga almarhumah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebesar Rp Rp 20,172 miliar. Gugatan diajukan dua anak almarhumah, Pitra Azmirla dan Damitra Almira.

Sedangkan yang menjadi tergugat adalah PT Guna Mediktama, pemilik dan pengelola rumah sakit; Hermansur Kartowisastro, dokter spesialis bedah RSPI; Icharmsjah A Rahman, dokter spesialis kandungan RSPI; I Made Nazar, dokter spesialis patologi RSPI; Emil Taufik, dokter spesialis penyakit dalam; Bing Widjaja, Kepala Laboratorium RSPI; dan Komite Medik RSPI.
 
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya memenangkan keluarga Darmoko. Para tergugat diwajibkan membayar ganti rugi Rp 2 miliar secara tanggung renteng.
 
Majelis hakim yang diketuai Sulthoni menyatakan para tergugat melakukan perbuatan melawan hukum seperti yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.
 
Meskipun jumlah ganti rugi yang diminta tak sesuai dengan gugatan awal, namun kasus ini dinilai dapat menjadi preseden baik. "Ini penting untuk perbaikan standar profesi pelayanan medis," ujar kuasa hukum keluarga Darmoko, Firman Wijaya.
 
Putusan itu, dia melanjutkan, membuktikan bahwa dokter dan rumah sakit dapat terbukti melakukan pemeriksaan dan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan medis.
 
 

Han So Hee Ngaku Resmi Pacaran Dihujat Netizen, Agensi Siap Bela Lewat Jalur Hukum
Peneliti senior Jusuf Wanandi (kiri).

Jusuf Wanandi Beberkan Alasan Dukung Prabowo: Di Antara 3 Capres, Hanya Prabowo yang Siap

Bagi pentolan CSIS, Jusuf Wanandi, RI perlu presiden yang punya pandangan luas terhadap situasi global. Figur Prabowo yang dinilai tepat.

img_title
VIVA.co.id
19 Maret 2024