Malpraktik

Mengapa Dorkas Koma Tiga Bulan

VIVAnews - WAJAH Dorkas  terus  mendongak ke  plafon kamar. Matanya melotot. Tatapannya kosong.  Ibu muda berusia 32 tahun ini  berbaring lunglai di kamar 520  Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Saat VIVAnews berkunjung ke sana Kamis pagi pekan ini, mata Dorkas tak pernah terpejam. Dia terus melotot hingga pamit sore hari.

Wealth Management BRI Prioritas Raih Penghargaan Retail Banker International Asia Trailblazer Awards

Sebuah selang infus menikam tangan kanannya.  Sudah berhari-hari belasan botol infus mengalirkan makanan cair, juga vitamin ke dalam tubuhnya. Dan infus itulah satu-satunya penopang jiwa raga Ibu beranak satu ini.

Dia juga sudah tidak kuasa menghirup udara. Sebuah selang tabung oksigen menyusup ke lubang hidung. Lewat selang itulah oksigen dialirkan ke seluruh tubuh. Nafasnya pelan.

Projo: Prabowo Menjabat Sepuluh Tahun dan Gibran Sepuluh Tahun menuju Indonesia Emas

Di sampingnya berjaga setia seorang wanita tua. Dialah Tiromsa Simanjuntak, ibunda wanita malang ini.  Tiromsa terus-terusan menatap iba sembari menyeka wajah anaknya dengan kain basah. Usapan kain basah itu dilakukan agar wajah sang anak tidak kering.

Maklum, sudah tiga bulan wanita ini tidak sadarkan diri. Koma. Saban hari sang suami dan ibunda cuma bisa pasrah. “Airmata kami seakan sudah kering,” tutur Tiromsa sembari mengusap wajah anaknya.

Pemprov DKI Gelar Mudik Gratis, Simak Cara Daftarnya dan Ini Berkas yang Harus Disiapkan

Di ruangan 502 itu Dorkas tak sendiri. Kamar berukuran sedang ini juga dihuni lima pasien lainnya. Sehari tarifnya  Rp 100 ribu. Tidak ada televisi apalagi  meja tamu. Tapi ada penyejuk udara yang bisa memberikan kenyamanan.

Kisah pilu Dorkas Hotmian Silitonga ini bermula dari dini hari, 9 November 2008.  Saat itu dia tengah hamil tua. Sekitar pukul 03.30 WIB, perutnya mulas terus-terusan. Pertanda sang janin hendak menemui dunia. Repotnya sang suami, Ramli Simanjuntak, tidak di rumah. Dia bekerja di Lampung.

Beruntung ada Rico, sepupu yang selalu menemani Dorkas saat kehamilan menginjak bulan tua. Juga ada Mazmudin dan Tuti Amiyati, pasangan suami istri yang menjadi tetangga dekatnya. Bersama Rico dan dua tetangga itulah Dorkas di bawa ke Rumah Sakit Bhakti Yudha, Depok, Jawa Barat. Dorkas diboncengi Rico.

Ibu hamil ini  menembus dinginnya udara malam sambil menahan rasa mules.  "Dorkas dibawa menggunakan sepeda motor sepupunya, Rico dan saya dengan istri ikut mengantar," kata Mazmudin kepada VIVAnews.

Perjalanan menempuh waktu kurang lebih dari sepuluh menit. Memang jarak rumah Dorkas di di Pancoran Mas RT 2 RW 17 Nomor 35 Kampung Baru, Depok, ke rumah sakit berdekatan.

Setibanya di rumah sakit, Dorkas langsung diperiksa dokter. Menurut Mazmudin, ketika itu dokter mengatakan masih pembukaan satu. Tapi ada yang mencemaskan. Tensi darahnya cukup tinggi antara 180/100. Setelah mendapatkan pemeriksaan, pukul 17.30 di hari yang sama tensi darahnya turun menjadi 160/100.

Mazmudin dan istri memutuskan pulang dulu ke rumah. Dorkas hanya ditemani sepupunya. Keesokan paginya, lewat telepon Dorkas mengabarkan kepada Mazmudin bahwa bayinya telah lahir lewat operasi sesar. Jenis kelamin perempuan.

Bayi mungil diberi nama Patricia Margaretha Simanjuntak. Mazmudin senang tapi dia terheran-heran dengan operasi sesar itu.  "Saya langsung tanya ke dia kenapa disesar, bukannya tekanan darahnya masih tinggi," kata Mazmudin.

Dorkas hanya menjawab, "Iya tidak apa-apa yang penting saya dan bayi sudah selamat." Dirubungi rasa bahagia Mazmudin dan istri  melaju kembali ke rumah sakit untuk melihat langsung keadaan Dorkas dan anaknya. Mereka tiba pukul sepuluh pagi. 10 November 2008.

Sampai di sana Dorkas tengah marah-marah. Rupanya Dorkas belum diperbolehkan bertemu putrinya usai melahirkan. Amarahnya kian memuncak ketika dia melihat keponakannya datang menjenguk. Mestinya, kata Dorkas, sang keponakan pergi ke sekolah, bukan malah menjenguknya di rumah sakit.

Emosi yang meletup-letup membuatnya menjadi sesak nafas dan kejang-kejang. Sontak hal ini membuat panik kerabat Dorkas. Para dokter pun langsung datang melakukan penanganan dengan memberikan bantuan pernafasan. "Istri saya langsung dipeluk Dorkas, sambil mengatakan jangan tinggalkan saya mbak," lanjut Mazmudin.

Dokter langsung memberikan bantuan suntikan. Kepada Mazmudin dokter mengatakan keadaan Dorkas memburuk dan harus segera dirujuk ke RS Mitra Depok, karena di sini tidak ruang ICU. Tak berapa lama berselang, Dorkas tertidur dan tak sadarkan diri hingga lunglai di rumah sakit Cipto itu.
 

Sejumlah media kemudian memberitakan bahwa Dorkas korban mallpraktik. Para dokter dianggap lalai lantaran melakukan operasi saat tensi darahnya masih tinggi.

Betulkah? Tidak mudah memastikannya. Dr. Ari Kusuma Spog, dokter yang merawat  Dorkas, menjelaskan bahwa ibu muda itu mengalami preklaimsia berat alias keracunan kehamilan. Ahli kebidanan dan kandungan itu menegaskan bahwa saat masuk rumah sakit, Dorkas sudah mules dan  tensi darahnya 160/100. Kedua kakinya juga bengkak.

Setelah diperika di labotarium, ternyata ada penyakit kehamilan preklaimsia berat karena tensi darah yang cukup tinggi. Ditambah lagi belum juga ada pembukaan. “Lalu kami setuju untuk segera dilahirkan bayinya,” kata sang dokter.

Operasi itu dilakukan lantaran menurut hasil diagnosa denyut jantung sang janin naik menjadi 170 per menit. Normalnya,  kata sang dokter, denyut nadi janin Sembilan bulan di bawah 150 per menit.

Kondisi bayi juga sudah kurang oksigen dan mengkhawatirkan, tensinya juga tidak turun. Keluarga akhirnya sepakat untuk dioperasi sesar. Setelah operasi itu kondisi ibunya stabil, anaknya juga baik-baik saja.

Sang dokter menuturkan bahwa hingga esoknya kondisi Dorkas stabil. Kondisinya kemudian berubah setelah sang pasien sempat marah dengan pihak keluraga. Tiba-tiba dia sesak nafas yang sangat akut, gelisah dan batuk. “Saya langsung cek bersama dokter anastesi,” kata Ari.

Sang dokter menambahkan bahwa Dorkas mengalami komplikasi di paru-paru dan penyakit preklamsia. Dia sulit bernafas dan oksigen berkurang. Sehingga langsung drop hilang kesadaran dan tensi tidak terukur. “Kami berdua langsung memberikan obat-obatan anti kejang dan hipertensi dan tensi mulai naik lagi,” katanya.

Dalam kondisi seperti ini pasien butuh perawatan khusus yaitu Intensive Care Unit (ICU). Itu sebabnya para dokter merujuk Dorkas ke RS Mitra Keluarga Depok. Sebab rumah sakit ini tidak memiliki ruang ICU.

Dorkas lalu  dipindahkan ke RS Mitra Depok. Suami Dorkas, Ramli Simanjutak,  sontak kaget mendengar berita istrinya memburuk pasca melahirkan. Di tengah kegalauan, Ramli yang sedang bekerja di Lampung langsung melaju pulang. "Saya kaget, karena sebelumnya dia sempat telepon kalau kondisinya sehat," kata Ramli kepada VIVAnews.

Ramli mengenang, dia sempat menelepon Dorkas terakhir kalinya pukul 07.00, 10 November 2008.  Dia tak menyangka ketika  itu menjadi percakapan terakhir Ramli dengan sang istri Dorkas yang tak sadarkan diri hingga sekarang. "Saya ingat dia bilang ingin sarapan dan minta saya cepat pulang," ungkapnya.

Menurut Ramli, Dokter RS Mitra, mengatakan istrinya dalam kondisi kritis. Setelah di-scan ulang di rumah sakit itu ternyata ada pembengkakan otak yang parah. Penyebabnya suplai oksigen ke otak sempat berhenti. "Dokter sudah memvonis harapan istri saya sangat kecil," katanya.

Mulai sejak itu Dorkas terbaring di ICU tanpa ada kemajuan apapun. Biayapun terus mengalir hingga ratusan juta. Harta benda sudah habis terjual. Demi kesembuhan sang istri, Ramli rela meminjam uang dari keluarga dan teman-temannya. Ramli mengaku sudah habiskan uang Rp 168 Juta.

Secercah harapan timbul, pada 14 November 2008. Dorkas mulai bisa bernafas, setelah sebelumnya menggunakan alat bantu pernafasan (ventilator). Tapi sayangnya Dorkas masih juga tak sadarkan diri. Sampai akhirnya tim dokter Rumah Sakit Mitra Keluarga yang berjumlah lima orang pun angkat tangan.

Kepala Humas Marketing Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok Florida Ilona mengatakan, Dorkas masuk rumah sakit sudah kesadarannya sudah menurun. Untuk bernafas juga dibantu dengan alat.  Dorkas langsung dirawat di ruang ICU. Setelah dilakukan pemeriksaan rekam otak, ada pembengkakan di bagian otak.

Setelah dirawat di ruang ICU selama 16 hari dengan bantuan alat pernafasan, Dorkas kemudian dibawa ke ruang perawatan setingkat di bawah ICU sehingga kondisi pasien stabil dan dilanjutkan ke ruang perawatan biasa. Korban selama di rumah sakit ini menjalani terapi hingga dipulangkan pada 17 Desember 2008.

Menurut Florida, setelah pulang kondisi pasien stabil dengan keadaan tanda vital baik yakni tensi, tekanan, darah nadi dan pernafasan dalam keadaan baik. Namun kesadarannya masih rendah dan meneruskan perawatan di rumah. "Kami berusaha maksimal, kesadarannya sudah memburuk sejak datang," ujarnya.

Ramli memutuskan untuk membawa pulang sang istri karena sudah tidak mampu membayar biaya perawatan. Tapi Ramli tidak mau menyerah begitu saja, dia masih menempuh pengobatan dengan cara akupuntur. "Tapi sama sekali belum ada kemajuan," terangnya.

Istri tak kunjung sembuh, Ramli juga masih dipusingkan dengan sisa pembayaran rumah sakit. Biaya perawatan mantan guru honorer SMP 127 Jakarta itu masih menyisakan pembayaran Rp 13 juta. Beruntung biaya perawatan Aida, begitu Dorkas dipangggil, dibantu keluarga besarnya dan perkumpulan gereja. Suaminya pun menjaminkan sepetak rumah yang dihuninya.

Salah satu kerabat Dorkas, Evita Hutapea menyebutkan, RS Mitra Keluarga sempat tidak memperbolehkan membeli obat di luar dan tak memperbolehkan pasien pulang lebih cepat. Bahkan rumah sakit ini menolak surat keterangan tidak mampu (SKTM) dan kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Alasannya RS Mitra Keluarga bukan rumah sakit mitra Jamkesmas.

Namun tudingan ini, dibantah Florida.  Menurut Florida, sampai saat ini keluarga pasien tidak pernah menyatakan keberatan biaya baik lisan muapun secara tertulis. Selama ini pasien dianggap mampu karena tidak ada pernyataan dari pihak keluarga terkait ketidakmampuan.

Semenjak menjalani perawatan selama tiga bulan di rumah, sejumlah media silih berganti datang rumah Dorkas. Kabar soal Dorkas sampai ke Dinas Kesehatan Depok. Dinas Kesehatan Kota Depok akan merujuk Dorkas  ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

Akhirnya dengan menumpang ambulans B 7313 QK milik Dinas Kesehatan Kota Depok, pukul 14.00, Senin, 24 Februari 2009 Dorkas tiba di RS Cipto Mangunkusumo. Setelah sampai di RSCM Dorkas tidak langsung ditangani.

Sekitar satu jam lebih, belum mendapat ruang perawatan. Dorkas tergolek lemah di kasur dorong di lorong kamar pasien. "Kami sudah menunggu lama, kasihan istri saya," kata Ramli

Namun RSCM membantah menelantarkan. Humas RSCM Yati Bahar mengatakan, saat Dorkas tiba langsung dibawa ke ruang UGD.

Dorkas memang tidak langsung dibawa ke kamar UGD. Sebab kapasitas kamarnya tidak memenuhi. "Kemarin saja jumlahnya 42 orang. Dan tempat tidur pasien cuma 10 di ruang UGD," katanya.

Selain itu di ruang isolasi hanya ada tiga bangsal.  Kendati tidak dibawa ke ruang perawatan UGD, namun Dorkas diletakkan di depan ruang perawatan. "Jadi bisa langsung dikontrol," kata Yati. Tim dokter langsung memeriksa fisik. Begitu juga tim neurologi ikut memeriksa.

Setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, kondisi Dorkas Hotmian Silitonga belum mengalami kemajuan. Namun pada Kamis, 26 Februari 2009 Dorkas menjalani computed tomography (CT) Scan atau rontgen seluruh badan.

Kondisi Dorkas pun mengalami perubahan. Dengan tubuh tergolek dan selang infus makanan di hidung, dia masih tertidur tak sadarkan diri. Matanya tampak masih melotot ke atas.Pada Kamis, 26 Februari 2009, Dorkas langsung menjalani computed tomography (CT) Scan atau rontgen seluruh badan.

Dr Fredi Sitorus, Specialis Neurologi RSCM mengatakan, berdasarkan hasil CT Scan, masih ada gelombang normal di otak Dorkas. Kerusakannya tidak total. Namun, kondisi ini sangat mempengaruhi kesehatannya. "Bila selama enam bulan tidak ada perubahan maka Dorkas sulit mengalami perbaikan," ujar Fredi ,

Tekanan darah dan pernafasan Dorkas masih baik. Namun, Dorkas tidak bisa melakukan kontak dan berkomunikasi dengan lingkungannya. Dokter hanya memberikan obat untuk pemulihan kondisi fisiknya.

Atas kondisi terakhir Dorkas, dokter RSCM meminta keluarga tidak terlalu berharap banyak. "Kami tidak mau memberikan harapan besar kepada keluarga," ujar Fredi.

Kini Ramli dan ibunda Dokras, Tiromsa Simanjuntak terus berharap akan adanya keajaiban untuk kesembuhan istri dan menantu mereka. Meskipun tanda-tanda itu masih belum muncul hingga sekarang. “Kami hanya berserah kepada Tuhan,” kata Ramli.

 

Kendati keluarga Dorkas menduga ada kelalaian dari dokter RS Bhakti Yuda Depok, namun mereka belum berpikir untuk menuntut rumah sakit. "Buat apa menuntut kalau istri saya tetap tidak sembuh, kecuali kalau bisa memulihkan istri saya," kata Ramli yang mengaku tidak tahu soal medis dan hukum.

Namun jika ada lembaga yang berkompeten mengatakan terbukti penyebab ini karena adanya malpraktik Ramli akan berpikir lain. "Kalau itu pasti saya langsung menuntut mereka dengan jalur hukum," imbuhnya.

Menanggapi adanya dugaan malpraktik, Direktur Operasional RS Bhakti Yudha Dr. Hannibal Pardede menepisnya. “Kami sudah melakukan pelayanan sesuai prosedur. Kalau memang ada kemungkinan lain,  kami juga tidak bisa memprediksikan soal nyawa,” katanya kepada VIVAnews.

Dia menuturkan, dalam kasus ini harus ada yang menilai dari pihak berkompeten untuk melihat apakah terjadi kesalahan penanganan. “Dalam hal ini Departemen Kesehatan dan IDI. Ini sudah dijalankan, sekarang sedang diproses,” katanya.

Hannibal mengatakan, rumah sakit akan tetap bertanggung jawab. Jika masalah ini hingga ke jalur hukum akan tetap ditempuh. “Kami akan ikuti itu prosesnya. Kami tidak akan lepas tangan begitu saja,” tutur Hannibal.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya