SOROT 198

Letusan dari Amandemen Kedua

Obama berpidato di Gedung Putih
Sumber :
  • REUTERS/Larry Downing

VIVAnews - Para penghuni blok itu terkesiap. Bunyi letusan itu terdengar keras. Cepat mereka bergegas ke hulu ledakan. Polisi sudah ada di sana. Mereka kaget bukan kepalang melihat seorang bocah mandi darah. Anak itu terlalu kecil untuk diadu dengan peluru. Usia baru 4 tahun.

Rabu sore 25 Juli 2012 itu, penghuni apartemen Empire Street di Dale City, Virgina berkerumun. Orang tua Kyrell McNeill, demikian nama bocah malang ini, meraung histeris demi melihat si buah hati penuh darah. Dibantu polisi, Kyrell  dilarikan ke rumah sakit. Terlambat.

Luka di kepala bocah kecil itu terlalu parah. Dan dia tak kuasa menanggung. “Begitu sampai di rumah sakit, Kyrell sudah dinyatakan meninggal,” kata Jonathan Perok, juru bicara kantor polisi resor Prince William County, Virginia, seperti dikutip media setempat, Dale City Patch.
 
Kyrell sudah dimakamkan. Yang tertinggal kini cuma duka keluarga dan pertanyaan, bagaimana mungkin anak sekecil itu bermain-main dengan senjata. Seorang anggota keluarganya menuturkan kisah nahas ini. Sore itu sekitar pukul 3 lebih 25 menit, Kyrell bermain-main dengan pistol.

Belum diketahui siapa pemilik pistol itu. Tapi menurut penelusuran polisi, saat asyik bermain pistol itu meletus. Mengenai kepalanya sendiri. Hingga kini polisi belum menjelaskan siapa pemilik pistol itu.

Kematian bocah itu menambah panjang daftar korban tewas karena senjata api di Amerika Serikat. Lima hari sebelumnya, publik Amerika dan dunia dikejutkan dengan pembantaian di Kota Aurora. James Eagan Homes menembak mati 12 orang dan melukai 71 orang dengan tembakan beruntun.

Sejumlah kematian itu meramaikan kembali kontroversi yang sudah usang di negeri itu: kepemilikan senjata api. Media massa ramai menyorot bahwa akar dari daftar petaka itu adalah peraturan kepemilikan senjata.

Meski daftar kematian sudah panjang, hampir tidak ada pemimpin bahkan kandidat presiden yang berani berkampanye soal pelarangan kepemilikan senjata api itu. Bahkan membela kepemilikan senjata api, kerap kali menjadi senjata ampuh dalam politik.

Harian The Christian Science Monitor (CSM) menulis bahwa pada tahun Pemilu ini, Barrack Obama dan penantangnya dari Partai Republik, Mitt Romney, tampak berhati-hati membahas masalah ini.

Keduanya memang berlomba-lomba mengutuk penembakan brutal di kalangan warga sipil, tapi melarang penjualan senjata api adalah perkara yang lain lagi. Susah diciptakan peraturan tegas.

Dalam pidato di New Orleans pada 25 Juli 2012, Obama memang menyampaikan duka cita yang mendalam atas pembantaian di Aurora, kasus-kasus penembakan di Chicago, Atlanta dan beberapa kota lain.

Berpidato dengan gaya yang memikat, Obama menegaskan bahwa tidak perlu undang-undang secara nasional yang melarang peredaran senjata. Yang diperlukan cuma langkah preventif. Misalnya memeriksa latar belakang pembeli. Harus lebih ketat.

"Saya juga yakin banyak pemilik senjata akan sepakat bahwa benda seperti AK-47 hanya pantas dipakai tentara, bukan para kriminal," kata Obama.

Sejumlah kalangan mengkritik pidato itu. Obama, kata mereka, sepertinya pura-pura lupa bahwa yang digunakan James Holmes membantai para penonton di Bioskop adalah senjata api yang legal beredar.

Dalam sesi tanya jawab sesudah pidato itu, seorang reporter bertanya. Apakah Obama merasa bahwa negeri itu tidak memerlukan sebuah undang-undang baru tentang kepemilikan senjata. Sedikit menghindar Obama menjawab bahwa melahirkan undang-undang itu memerlukan waktu panjang.

Kalangan parlemen juga setali tiga uang dengan pemerintah. Pemimpin faksi mayoritas di Senat, Harry Reid, menegaskan  bahwa tahun ini tidak akan ada pembahasan soal undang-undang baru tentang pelarangan senjata api.

"Sesuai jadwal yang ada, kami tidak akan menyelenggarakan sesi pembahasan soal kontrol senjata," kata Reid kepada para wartawan, seperti dikutip San Jose Mercury News. Seperti halnya Obama, Reid cuma menegaskan bahwa dia prihatin dengan kematian karena senjata itu.

Romney, calon lawan terkuat Obama di pemilihan presiden, memilih posisi aman dalam kontroversi kepemilikan senjata ini. Apalagi dia berharap lumbung suara Republik, yang simpatisannya rata-rata mendukung kepemilikan senjata. Rommey  yakin pelarangan kepemilikan senjata api tidak diperlukan.

Dalam suatu wawancara dengan stasiun televisi CNN, Romney bahkan berkilah bahwa seorang teroris seperti Timothy Mcveigh saja, bisa membunuh 168 orang dalam pengeboman di Oklahoma pada 1995, tanpa menggunakan peluru.

"Berapa banyak yang dia bunuh dengan bom pupuk, dengan produk-produk yang bisa dibeli secara legal di seluruh dunia? Dia bisa melakukannya,” kata Rommey. Adalah salah kaprah, lanjutnya, bila kekerasan bisa diatasi hanya dengan melarang kepemilikan senjata.

Jadi hampir tak ada petinggi politik di Amerika Serikat  yang menilai perlunya larangan kepemilikan senjata. Apa sebabnya?

Sejumlah pengamat politik di Amerika Serikat sudah menulis tentang kaitan antara politik dengan kontrol kepemilikan senjata ini. Clyde Wilcox dan John Bruce dalam buku berjudul "The changing politics of gun control (1998)," menulis panjang lebar soal senjata yang sudah lama menjadi kontroversi dalam politik itu.

Amandemen Kedua
Wilcox dan Bruce menulis bahwa pemerintah tidak bisa begitu saja melarang warga sipil memiliki senjata. Sebab, kepemilikan senjata itu sudah menjadi hak yang diatur dalam Konstitusi. Dalam Amandemen Kedua.

Dalam beberapa dekade belakangan, kata kedua pengamat itu, perdebatan soal kepemilikan senjata api buntu pada dua hal. Antara hak yang dijamin konstitusi dan kewajiban pemerintah melindungi rakyat dari kriminalitas.

Amandemen Kedua Konstitusi Amerika Serikat, yang dibahas kedua pengamat itu, disahkan 15 Desember 1791. Di situ disebutkan bahwa rakyat berhak memiliki senjata api. Berdasarkan konstitusi itulah sejumlah negara bagian melegalkan kepemilikan senjata.

Sesungguhnya sudah banyak warga yang meminta Mahkamah Agung mencabut atau memberi mandat agar Amandemen Kedua itu direvisi.

Tapi ini jawaban mahkamah. Amandemen itu harus dipertahankan. Sebab menjamin hak warga memiliki senjata. Guna melindungi diri. Namun harus dikendalikan pihak berwenang.

Dan warga juga masih mendukung. Dalam jajak pendapat yang digelar CNN tahun 2007, terungkap bahwa mayoritas rakyat mendukung Amandemen Kedua itu. Tujuan sama. Menjaga diri dari kriminalitas. Itu sebabnya jika tindak krimalitas makin tinggi, pembelian senjata malah meningkat.

Stasiun televisi BBC melaporkan bahwa beberapa hari sesudah horor di Aurora itu, pembelian senjata di Colorado bukannya menurun, tapi malah melonjak. Naik lebih dari 40 persen dalam sepekan.

Dalam artikelnya di majalah "American Heritage" edisi Oktober 1970, sejarawan Richard Hofstadter mengungkapkan bahwa kepemilikan senjata ini tidak sekadar untuk melindungi diri, namun sudah menjadi bagian dari budaya.

"Hak untuk memiliki senjata api bagi mereka, terutama yang tinggal di wilayah Barat dan Selatan, merupakan inti dari identitas Amerika," begitu menurut Hofstadter dalam artikelnya yang berjudul "America as a Gun Culture."

Karakter ini terkait dengan sejarah ekspansi koloni Amerika ke wilayah Barat ratusan tahun lampau. Di saat itu, para calon pemukim harus melindungi diri dari suku-suku asli, binatang buas, maupun tentara asing.

Sebagai pelopor di wilayah-wilayah terjauh saat itu, mereka belum mendapat perlindungan keamanan dari aparat hukum. Itulah sebabnya para koloni itu mendapat hak untuk mempersenjatai diri. Maka, ungkap ABC News, budaya mempersenjatai diri sudah berjalan turun-temurun kendati wilayah-wilayah terjauh itu kini sudah memiliki pemerintahan dan aparat hukum.

Bahkan, di beberapa wilayah, tembak-menembak ini sudah menjadi olahraga, tentu saja targetnya adalah binatang.

Sebagai negara federal, AS memberikan keleluasaan kepada pemerintah negara-negara bagian dalam menentukan kebijakan domestik masing-masing. Itulah sebabnya masih ada pemerintah di sejumlah negara bagian yang masih membolehkan penjualan senjata api secara bebas.

Selain itu, pengendalian dan pengawasan senjata api diterapkan berbeda-beda di negara-negara bagian.

Bahkan para pendukung kepemilikan senjata api memiliki pengaruh yang kuat di kalangan elit politik AS. Studi dari lembaga Center for Public Integrity mengungkapkan, sedikitnya ada 145 kelompok yang khusus melobi Kongres untuk tidak sampai melarang kepemilikan senjata api.

Mereka pun tidak segan-segan mengerahkan uang yang banyak untuk urusan lobi. "National Rifle Association (NRA) merupakan kelompok terbesar dan memiliki jaringan lobi yang kuat. Setiap tahun kelompok itu menganggarkan US$1,5 juta untuk melobi," demikian kajian dari Center for Public Integrity di laman mereka.

Pada 2007 saja, para pelobi pro senjata api menghabiskan dana sebesar US$1,95 juta. Jumlah itu tidak sebanding dengan dana yang dikeluarkan para pegiat pendukung kontrol senjata api, yang hanya sebesar US$60.800, demikian ungkap kelompok Center for Responsive Politics.

Prediksi Semifinal Piala FA: Coventry City vs Manchester United
Politisi DPP PKB, Daniel Johan

DPP Berani Ungkap Indonesia sedang Dilanda Krisis Paling Berbahaya

Ketua DPP BERANI, Lorens Manuputty menyoroti tiga krisis yang terjadi di Indonesia saat pelantikan tersebut. Menurut dia, Indonesia saat ini sedang mengalami krisis yang

img_title
VIVA.co.id
20 April 2024