Sri Sultan HB X

Bobot Politik Raja Jawa

VIVAnews - "HIDUP Mega-Buwono!" Teriakan ini membahana di ruang rapat kerja nasional Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang berlangsung di Sunan Hotel, Solo, Jawa Tengah, Selasa 27 Januri 2009.

Di podium, Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, menghentikan pidatonya, membiarkan pekikan massa PDIP yang berjumlah 1.200 orang. Sri Sultan Hamengkubuwono X yang duduk bersebelahan dengan Taufiq Kiemas, Ketua Dewan Pertimbangan PDIP, tersenyum. Ia mengangguk perlahan.

Sri Sultan yang masih Gubernur Yogyakarta ini tamu mahapenting Rakernas PDIP. Megawati sampai merasa perlu menyampaikan sendiri undangan pada 21 Januari 2009, ketika dia mengajak Sultan untuk sarapan bubur di kediamannya di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat.

Yang diundang pun tak kalah serius menanggapi. Raja Jawa ini rela datang lebih awal. Sultan tiba pukul 08.25 WIB, setengah jam sebelum Megawati dan Taufiq. Pembukaan rakernas yang bertajuk "Berjuang untuk Kesejahteraan Rakyat: Holobis Kuntul Baris" ini baru mulai pukul 09.15 WIB.

Bahkan, kedatangan Sri Sultan lebih gasik dibanding tokoh-tokoh politik undangan lainnya, seperti Akbar Tandjung (mantan Ketua Umum Partai Golkar), Sutiyoso (mantan Gubernur DKI Jakarta), dan Suhardi (Ketua Umum Gerindra yang mewakili Prabowo Subianto).

Selain mereka, juga hadir di perhelatan politik ini: Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif, mantan Kepala Staf Angkatan Darat Ryamizard Ryacudu, Ketua DPP Partai Hati Nurani Rakyat Samuel Koto, dan wakil Partai Amanat Nasional Dradjad Wibowo.

Usai Megawati membuka rakernas, sebagian pemimpin daerah PDIP berebut menjabat tangan Sultan. "Hidup Sultan!" Teriakan ini berulang kali terdengar. "Kami memang menginginkan Sultan," kata Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Sulawesi Tengah, La Ode Rifai Pedansa.

Pernyataan yang sama dikemukakan Ketua Dewan Pengurus Cabang (DPC) Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, Nasir Agun. "Sultan itu bagus," katanya, penuh semangat.
 
Lain lagi cara Bambang Tjaroko, Ketua PDC Tanah Bumbu, Kalimantan Tengah, menunjukkan dukungannya. Ia sampai hadir mengenakan blangkon plus jas merah yang di punggungnya terbordir nama “Megawati-Sultan Hamengku Buwono IX.”

Dukungan terhadap “Mega-Buwono” juga datang dari Papua, Kalimantan Timur, dan sejumlah pengurus daerah lain.

Memang, di Rakernas bukan cuma Sri Sultan yang diusulkan mendampingi Megawati. Juga terdengar nama Prabowo. "Yang mengejutkan, munculnya Pak Surya Paloh," kata Pramono Anung, Sekretaris Jenderal PDIP. Surya adalah Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar yang juga pemilik Media Group.

Menurut Pramono, PDIP sudah membentuk tim kecil untuk menggodok berbagai usulan ini. "Nanti disampaikan ke Bu Mega,” katanya. "Memang, yang paling utama disebut adalah Sultan, kemudian baru Prabowo dan Surya Paloh."

Ketua DPP PDIP, Effendi Simbolon, mengatakan figur Sultan sangat mudah diterima di kalangan PDIP. "Namun,” Ia menyayangkan, “Sultan belum memberi sinyal untuk siap menjadi calon wakil presiden.”  

Sri Sultan memang masih menggantung sikap. Dia hanya mengatakan datang ke rakernas untuk melihat siapa calon pendamping Megawati yang paling diterima. "Saya tidak mau anggapan-anggapan seperti itu (siap menjadi calon wakil presiden—Red), nanti saya dikira sombong.”



Pukul 19.30 WIB, Senin 26 Januari 2009, sehari sebelum Rakernas PDIP.

Berkebaya oranye, Megawati muncul di keraton Yogyakarta bersama suaminya, Taufiq Kiemas. Sri Sultan yang mengenakan batik kecoklatan menyambut mereka. Lalu, mereka mengadakan pertemuan tertutup selama 30 menit.

Usai pertemuan, ketiganya menuju Pendopo Srimanganti. Sultan langsung ke podium memberi sambutan. "Perlu diingat bahwa pertemuan kami dan Ibu Mega jangan selalu diartikan sebagai pertemuan politik," katanya. "Banyak yang dibahas, di antaranya masalah sosial, budaya dan kemanusiaan."

Sultan bilang persahabatannya dengan Mega sudah turun-temurun. Bung Karno, bapak Mega, adalah sahabat Sri Sultan Hamengkubuwono IX, ayah Sri Sultan. "Mereka akrab, sama-sama pendiri bangsa," kata Sri Sultan.

Nostalgia ini diakhiri dengan pemberian bingkisan berupa foto kenangan dari Sultan kepada Megawati. Foto itu bergambar kedua orang tua mereka.

Taufiq Kiemas pernah memberi gambaran kedekatan antara Megawati dan Sri Sultan pada pada 28 Oktober 2008. Waktu itu Taufiq bilang isterinya dan Sri Sultan memiliki kedekatan sosial dan psikologis. "Ayah Sri Sultan pejuang yang pernah menyerahkan Yogyakarta kepada mendiang Presiden Soekarno," katanya.

Menurut Taufiq, Sultan dan Mega berteman sejak kecil. “Kalau nanti jadi berdampingan akan lebih bersahabat lagi,” katanya pada peringatan Hari Sumpah Pemuda di kantor PDIP di Lenteng Agung Raya, Jakarta Selatan.

Dan pertalian Mega-Buwono pun terus dirajut.

Menurut Helmy Fauzi, salah satu calon anggota parlemen PDIP, pertautan Mega-Sultan antara lain akan dibaut dengan menghimpun kembali Kelompok Ciganjur. Strategi yang akan dikedepankan adalah dengan menghidupkan kembali Kelompok Ciganjur, termasuk berupaya mengajak Gus Dur dan Amien Rais dalam satu barisan.

Kelompok Ciganjur pernah bertemu pada 10 November 1998 dan mendesakkan agenda-agenda reformasi di masa-masa kritis transisi pemerintahan dari rezim Soeharto.   

Maka itu, setelah menerima Sultan di Teuku Umar, pada Rabu, 21 Januari 2009, Taufiq Kiemas langsung meluncur ke kediaman Amien Rais di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan. Menurut Dradjad Wibowo, salah seorang pengurus Partai Amanat Nasional (PAN), Taufiq datang bersama Pramono Anung.

Dilukiskan Dradjad, dalam pertemuan Taufiq menyampaikan rencana menyatukan kembali Kelompok Ciganjur itu. Amien setuju. "Mereka merencanakan Pertemuan Ciganjur II," kata Dradjad, "Tim kecil sudah dibentuk."

Tim ini beranggotakan orang kepercayaan keempat tokoh itu. Sultan, kata Dradjad, mengutus Sukardi Rinakit, pengamat politik yang menjadi anggota tim suksesnya. Megawati mengirim Pramono Anung, Gus Dur mempercayakan pada putrinya Yeni Wahid, dan Amien Rais diwakili Dradjad Wibowo. “Saya sudah bertemu Mas Pramono," kata Dradjad, lagi.

Karena itu, seorang pengurus PDIP meyakini jalur Mega-Sultan ke pelaminan politik sudah cukup lempang. "Rakernas di Solo hanya etalase," katanya. "Nantinya mengerucut ke Sultan juga."

Toh dia mengakui ada faksi di tubuh PDIP yang menolak. "Mereka lebih menginginkan pasangan dari calon berlatar belakang militer, khususnya Prabowo," katanya. Keinginan ini datang dari sayap politisi-militer PDIP.

Prabowo diyakini mereka cukup punya kekuatan untuk menambah amunisi Megawati, terkhusus dalam hal finansial. Masalahnya, masih menurut analisis sang pengurus tadi, chemistry Mega tidak begitu pas dengan Prabowo. "Mega merasa paling nyaman dengan Sultan."

Apalagi, kalau mempertimbangkan faktor Surya Paloh. Surya adalah salah satu tokoh penggagas Mega-Buwono dan dikenal punya hubungan akrab dengan Taufiq Kiemas. Hal ini diakui Pramono Anung.

Tahun lalu, Surya Paloh beberapa kali melakukan manuver politik guna menyatukan Golkar dan PDI Perjuangan dalam Pemilu 2009. Itu terjadi setelah Surya bertemu Taufiq di Jepang.  

Apakah kian mendekatnya Mega ke Sultan merupakan bagian dari manuver panjang itu? Sambil tertawa menggelegar, Surya menjawab dengan kata-kata bersayap. "Hahaha, kebaikan bangsa ini adalah harapan  bersama. Sebuah kebijakan pun akan jalan kalau kompak."

Surya mengakui kedekatannya dengan Sultan. "Karena di Golkar dia (Sultan) anak buah saya," katanya, "Minggu lalu saya baru pulang dari Kalimantan Tengah bersama Sultan." Surya hakulyakin Sri Sultan layak jadi wakil presiden. "Dia memenuhi semua syarat formal. Kapasitasnya pun bagus," katanya. "Beri kesempatan. Sultan perlu dibantu."

Dari kubu Partai Beringin, dukungan eksplisit bahkan telah disuarakan oleh salah satu organisasi onderbouw-nya. Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (Soksi) terang-terangan menjagokan Sri Sultan sebagai calon presiden mereka.

Dukungan serupa juga dinyatakan Partai Republika Nusantara (Republikan) dan sejumlah raja di Tanah Air. Dalam acara Pisowanan Agung di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogyakarta pada 28 Oktober 2008 lalu, 47 raja dan kepala adat dari 118 keraton berikrar mendukung Sultan sebagai calon presiden mereka.  



Kian hari Sultan seperti kian menyihir jagat politik Republik. Tapi pertanyaannya adalah: seberapa besar sebetulnya bobot politik sang Raja Jawa ini? Dari ranah kasak-kusuk politik dan retorika politik yang menderu-deru, mari kita bergeser ke wilayah yang lebih terukur.

Jajak Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada September 2008, menunjukkan Sri Sultan adalah tokoh politik yang paling diketahui dan disukai. Dari 1.239 responden yang dimintai pendapatnya, 86 persen mengaku menyukai Sultan. Peringkat Presiden Yudhoyono bahkan berada di bawah Sultan.

Namun demikian, untuk menuju ke pucuk negeri, Sri Sultan belum jadi pilihan utama. Untuk posisi presiden, Sultan terperosok ke urutan ke empat setelah Yudhoyono, Megawati, dan Wiranto. Dalam survei LSI yang diumumkan 4 Januari 2009, posisi Sri Sultan memang naik ke urutan ketiga. Tapi di atasnya tetap saja Yudhoyono 43 persen, dan Megawati 19 persen. Sri Sultan hanya dipilih oleh lima persen responden saja.

Studi dari lembaga lain seperti Lembaga Survei Nasional (LSN) pada September 2008, menempatkan Sultan di urutan ke lima setelah Yudhoyono, Megawati, Wiranto dan Prabowo.  Hasil survey Indonesian Research and Development Institute (IRDI) pada Juli 2008, bahkan memposisikan Sultan di urutan keenam setelah Yudhoyono, Megawati, Kalla, Wiranto dan Hidayat Nur Wahid.

Kans Sultan tampaknya lebih mencorong di posisi RI-2.

Hal itu antara lain ditunjukkan hasil survei Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Dalam hal ini, responden menilai Megawati adalah pasangannya yang paling cocok. Dipasangkan sebagai wakil presiden Mega, Sultan meraup 22,6 persen suara dari 2.490 responden. Meski demikian, toh duet ini masih kalah dari paket Yudhoyono-Kalla yang dipilih 33,6 persen responden.

Direktur Riset LSI Kuskridho Ambardi mengakui Sri Sultan punya elektabilitas cukup tinggi, meski masih di bawah Megawati dan Yudhoyono. Masalah lain di mata Kuskridho, basis pemilih Sultan bertumpang tindih dengan Megawati, sama-sama paling banyak di Jawa. "Saya ragu, apakah mereka mampu menarik pemilih dari luar Jawa," ia mempertanyakan.

Ini kiranya memang tantangan yang perlu dijawab Sultan, kini dan kelak jika ia memang terpilih. Mampukah ia menjadi seorang Presiden atau Wakil Presiden Republik ketimbang sekadar menjadi seorang Raja Jawa.

Hasbi Hasan Dituntut 13 Tahun Bui, Pengacara: Tak Rasional, Seperti Balas Dendam

Esai Foto: Sri Sultan, Calon Pendamping Mega Terkuat

Sekjen DPP Partai Golkar, Letjen TNI (Purn.) H. Lodewijk Freidrich Paulus

Sekjen Golkar Tegaskan Munas Tak Bisa Dimajukan Sebelum Desember 2024

Menurut Sekjen Golkar Lodewijk F Paulus, Munas yang dihelat Desember 2024 sudah diatur dalan AD/ART partai.

img_title
VIVA.co.id
28 Maret 2024