SOROT 116

Obsesi Star Trek dan Janji Johny

Astronom Indonesia Johny Setiawan di Observatorium La Silla Chile
Sumber :
  • www.mpia.de

VIVAnews - Jakarta - Heidelberg - Chile, adalah jalur penting bagi Johny Setiawan. Tiga titik lokasi yang masing-masing berjarak sekitar 11.000 km dan membujur dari ujung tenggara Asia, Eropa, hingga ke selatan Amerika itu, seakan membentuk segitiga sama kaki imajiner yang mengabadikan perjalanan hidupnya.

Terkuak, Warna Ini Bisa Memprediksi Keberadaan Alien

Johny, pria 36 tahun yang besar di bilangan Cempaka Putih Jakarta Pusat, itu sejak 2003 menjadi peneliti di Max-Planck Institute for Astronomy di Heidelberg, Baden-Württemberg, Jerman. Profesinya sebagai astronom menuntutnya untuk sering melakukan kegiatan pengamatan dari ketinggian 2400 m di tengah gurun terpencil bersuhu ekstrim, di Observatorium La Silla Chile, yang merupakan salah satu observatorium terbesar dunia di belahan bumi bagian selatan.

Namun, kiprah Johny di negeri orang membuatnya kini begitu kondang di kancah astronomi internasional. Bila Anda ketik nama 'Johny  Setiawan' di mesin telusur internet, indeks hasil pencarian akan memunculkan nama Johny di berbagai artikel media besar, mulai dari Time, New York Times, BBC, National Geographic, atau Space.com.

Peringati Hari Bumi Sedunia, IMIP Tanam 1.000 Pohon Pelindung

Sebagai seorang ilmuwan, penemuan Johny juga telah dipublikasikan di berbagai jurnal bergengsi. Sebut saja Science, Nature, maupun Astronomy and Astrophysics. Ia adalah astronom Indonesia yang telah banyak menemukan planet berasal dari luar sistem tata surya kita (exoplanet), mulai dari planet  bernama HD 47536 b, HD 11977 b, HD 47536 c, HD 70573 b, HD 110014 b, hingga TW Hydrae b.

Di luar Bimasakti

HBO Max Rilis Trailer The Penguin, Serial Spin-Off Musuh The Batman Dibintangi Colin Farrell

Belakangan, November lalu, Johny dan tim yang ia pimpin, mempublikasikan hasil temuan planet yang tak hanya berasal dari luar sistem tata surya, tapi bahkan diperkirakan berasal dari luar galaksi Bima Sakti.

Planet itu diberi nama HIP 13044 b. Diperkirakan, itu adalah planet yang masih tersisa dari fosil galaksi lain yang telah punah, yakni fosil galaksi Helmi Stream, yang tersedot ke galaksi Bima Sakti antara 6-9 miliar tahun lalu, dan berada di sebelah selatan konstelasi Fornax.

Johny dan timnya berhasil menemukan planet ini menggunakan spektografi beresolusi tinggi FEROS, pada teleskop MPG/ ESO yang bergaris tengah 2.2 m di observatorium La Silla Chile. Dengan mengamati pergerakan radial bintang HIP 13044, diperkirakan planet HIP 13044 b mengitari bintang induknya itu dengan periode orbit 16,2 hari.

Planet yang jaraknya 2000 tahun cahaya dari bumi itu, masih bertahan hidup, di saat bintang induknya memasuki fase penuaan, atau dikenal dengan fase 'bintang raksasa merah'.

Fase ini ditandai dengan pendinginan bintang, dan mekarnya ukuran bintang itu menjadi ratusan kali lipat dari radius matahari. Oleh karenanya, bintang tua itu akan menarik, dan membakar planet-planet yang berada di sekelilingnya.

Planet temuan Johny sendiri diperkirakan tak akan bisa terus bertahan hidup. Kini, planet yang punya massa 1,25 kali massa Jupiter itu, memiliki jarak dengan bintang induknya, yang hanya 12 persen dari jarak bumi dan matahari. Johny memperkirakan pada tahap berikutnya, bintang HIP 13044 akan kembali mekar, dan kemungkinan juga akan menelan planet HIP 13044 b.

Galaksi Bima Sakti dan Matahari, dalam perhitungan Johny, juga akan mengalami fase sama sekitar 5 miliar tahun mendatang. Saat itulah, planet-planet dalam seperti Merkurius, Venus, termasuk Bumi, akan dilalap oleh matahari. Sementara Jupiter, Saturnus, dan planet-planet luar lain juga akan terus bergerak mendekat Matahari.

Hal lain yang cukup mengejutkan dari hasil riset tim selama enam bulan itu, bintang induk HIP 13044, yang diperkirakan mengandung hidrogen, dan helium, serta miskin kandungan logam, ternyata bisa memiliki planet. Padahal, teori formasi planet mensyaratkan adanya kandungan logam dan elemen berat yang cukup untuk bisa menarik gas untuk bisa tumbuh berkembang.

"Nampaknya ada beberapa hal yang perlu diubah dalam teori proses formasi planet. Penemuan ini jelas menguji 'kemantapan' pendapat bahwa bintang berkandungan logam rendah tak dapat punya planet," ujar Johny kepada VIVAnews melalui surat elektroniknya. Oleh karenanya, Johny sendiri kaget dengan hasil temuan timnya.

Setidaknya bukan cuma Johny yang terkejut dengan penemuan ini. Alan Boss, seorang pakar pembentukan planet dari Carnegie Institution for Science di Washington D.C., mengatakan bahwa penemuan ini adalah sebuah 'kabar besar', karena ini merupakan sebuah anomali.

"Planet ini ... sepertinya tak terbentuk melalui mekanisme konvensional yaitu melalui inti masif batuan dan es yang lalu menarik gas-gas untuk membentuk sebuah planet," kata Boss, yang tak terlibat penelitian ini, kepada National Geographic.

Star Trek

Jika Anda berjumpa Johny, mungkin Anda tak akan mengira bahwa dia seorang astronom. Postur tubuhnya atletis. Dia memang gemar body building. Potongan rambutnya cepak. Tak tampak gaya seorang peneliti pada dirinya, apalagi pengamat luar angkasa profesional.

Astronom RI Johny Setiawan di Observatorium La Silla Chile

Tapi, Johny sudah lama bercita-cita jadi astronom. Sejak kecil, ayahnya sering mengajaknya melihat bintang di angkasa. Pada usia empat tahun, Johny terkesan dengan film fiksi ilmiah besutan Gene Roddenbery, Star Trek, yang menggambarkan eksplorasi manusia ke luar angkasa.

Obsesi Johny membawanya mengambil studi S1 di jurusan Fisika di University of Freiburg Jerman, kemudian S2 dan S3 di University of Freiburg dan Kiepenheuer Institute for Solar Physycs. Ia berhasil menyabet gelar Doktor dengan predikat Magna Cum Laude, sekaligus melempangkan jalannya bergabung dengan Max-Planck Institute for Astronomy di Heidelberg.

Walau terkesan lancar dalam meniti karirnya, namun pekerjaannya bukan tanpa hambatan. Selama lebih dari 18 tahun, banyak suka duka yang mewarnai kegiatan kuliah dan bekerja di Jerman.

Yang terberat bagi Johny adalah saat ia musti tinggal berminggu-minggu di observatorium La Silla Chile di lingkungan gurun Atacama yang merupakan salah satu gurun paling kering di dunia. "Aktivitas itu membutuhkan stamina tinggi, apalagi di musim dingin," Johny menjelaskan.

Setidaknya, tuntutan pekerjaannya membuat Johny mampu berkomunikasi dalam lima bahasa: Inggris, Jerman, Spanyol, Perancis, dan tentu saja Indonesia. Bakat melukis Johny pun tersalurkan.

Johny yang belajar melukis secara otodidak, mengabadikan planet-planet yang ia temukan ke dalam lukisannya. Karya-karya lukisan Johny sempat dimuat di New York Times dan National Geographic. Johny juga mendalami videografi sambil mendokumentasikan perjalanan serta aktivitas kerjanya.

Planet serupa bumi

Di luar itu, beragam penemuan Johny, ternyata didasari oleh satu keyakinan bahwa ada habitable planet (planet yang bisa dihuni manusia) yang serupa dengan bumi. Johny juga membuka kemungkinan adanya kehidupan lain selain manusia di jagad semesta ini.

"Saya sangat yakin dengan keberadaan planet-planet habitable serupa bumi karena memang secara statistik, mereka mudah terbentuk dan seharusnya jumlahnya banyak," kata Johny. Tinggal seberapa cepat manusia bisa meningkatkan teknologi untuk menemukan planet-planet tersebut.

Lukisan Johny Setiawan yang menggambarkan eksoplanet dan bintang induknya

Kendati masih memicu perdebatan, beberapa waktu lalu para peneliti berhasil menemukan planet serupa bumi yang dinamakan Zarmina. Dalam waktu kurang dari 20 tahun, kata Johny, ia yakin manusia akan mengetahui lebih banyak lagi keberadaan planet serupa bumi.

Dengan segenap pencapaian, dia merasa telah memenuhi obsesi pribadinya sebagai seorang astronom. Tapi, seperti halnya spirit eksplorasi pesawat Enterprise pada film Star Trek, Johny berjanji masih akan terus menyiapkan serangkaian penelitian berikutnya.

Antara lain studi tentang sistem bintang ganda atau majemuk. Atau kelanjutan dari riset terakhir: mempelajari apakah planet bisa terus bertahan hingga proses evolusi bintang induknya yang memasuki pada tahap akhir.

"Kami ingin mengetahui apakah saat bintang berubah menjadi bintang kerdil putih (white dwarf), planet-planet yang mengelilinginya  masih bisa bertahan atau tidak. Atau, jika sudah punah, apakah ternyata bisa terbentuk kembali atau tidak," kata Johny.

Meski belum berniat pulang ke Indonesia dalam waktu dekat, Johny ingin menulis buku astronomi untuk anak-anak sekolah. Dia ingin berkontribusi bagi perkembangan astronomi Indonesia. "Saya ingin sekali membuat observatorium di Indonesia," kata Johny. (np)


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya