SOROT 77

Jalan Politik Cucu Soekarno


VIVAnews--BERLANGSUNG di Bali, Kongres III PDI Perjuangan 6-9 April ini seperti satu napak tilas  mengenang Soekarno, sang proklamator republik dan ayah ketua umum partai, Megawati Soekarnoputri. Bali adalah asal ibu Soekarno, dan salah satu daerah basis terkuat dari partai dengan 14 persen suara nasional pada pemilu 2009 lalu.

Umbul-umbul merah berlogo banteng dalam lingkaran tampak di sepanjang jalan utama Denpasar, dan juga di area Ballroom Hotel Inna Bali Beach, Sanur. Kasak-kasuk di kandang banteng sudah terjadi sejak bulan silam. Bahwa Megawati calon kuat memimpin kembali PDI-Perjuangan tak jadi lagi perdebatan. Kemungkinan terbesar, dan hampir pasti, Mega akan kembali menghela partai Banteng bulat itu sampai 2015.

Agaknya, di luar soal siapa bakal duduk di kursi nomor satu partai, kongres melibatkan 1.700 peserta dari 33 DPD dan 495 DPC sekujur negeri itu, mengupas agenda lain yang tak kalah seru. “Kongres akan membahas sikap politik, organisasi dan pertanggungjawaban, serta program lima tahun ke depan,” ujar Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Pramono Anung, Kamis, 1 April 2010 di gedung DPR, Senayan, Jakarta.

Perdebatan sikap politik ini sempat terangkat ke publik. Dua pandangan muncul: apakah partai akan berkoalisi, atau beroposisi atas pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Sang ketua, Megawati Soekarnoputri, lebih condong ke oposisi. “Saya berpendapat koalisi bukanlah suatu tujuan. Kami putuskan belum masuk ke sana,” kata Mega di Bogor, 24 Maret lalu.  Dia menilai, menjadi penyeimbang di luar pemerintahan lebih banyak faedahnya.

Sementara, Taufiq Kiemas, suami Megawati yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) PDIP berbeda sikap. Dia cenderung kepada koalisi. “Dulu, dengan beroposisi, PDIP kalah,” ujar Taufiq dalam kesempatan berbeda. Dia menuding suara partai dalam pemilu lalu seharusnya itu bisa bertambah kalau tidak beroposisi. Partai terbukti kalah, kata Taufiq, dan karenanya harus berubah.

Taufiq menghimbau PDIP harus mengkaji-ulang posisi politiknya. Dia juga terang-terangan menjalin kontak dengan partai penguasa, Partai Demokrat.  “Komunikasi berjalan baik. Tandanya positif,” ujar Taufiq.  Ia yakin, seandainya PDIP berubah haluan, jalan koalisi dengan Demokrat akan jadi lempang.

Sikap Taufiq tentu disambut baik oleh Demokrat. Apa lagi soal niat berkoalisi. “Kami tentu tak keberatan,” kata Wakil Sekjen Partai Demokrat Syarief Hasan, usai bertemu Taufiq di Gedung MPR/DPR, sebulan lalu. 

Tapi Megawati buru-buru menghadang pernyataan Taufiq itu. Sebagai Deperpu, kata Mega, Taufiq memang bagian dari partai. Sebagai tokoh senior, dia juga punya hak bicara.  “Tapi, tidak punya hak suara,” ujar Megawati di Jakarta, pekan lalu. Mega pun menegaskan, pernyataan Taufiq Kiemas bukanlah sikap resmi PDIP.

Perdebatan koalisi atau oposisi rupanya masuk ke wilayah serius. Seorang anggota Badan Pemilu Pusat PDIP, dan Kaum Muda PDIP, Cepi Budi Mulyawan, mengatakan perdebatan itu membelah PDIP menjadi dua kubu: pragmatis dan ideologis. Kubu pragmatis ingin partai menjadi mitra koalisi pemerintah. Sementara kubu ideologis lebih suka di garis oposisi. “Informasi ideologis versus pragmatis ini didapat dari elit PDIP,” kata Cepi kepada wartawan di bekas Kantor PDIP, Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat, pekan lalu.

    

MEMASUKI Kongres III, PDI-P tampaknya berada di persimpangan. Terombang-ambing antara niat berkoalisi, atau tetap beroposisi, partai itu juga menghadapi persoalan regenerasi. Munculnya Megawati kembali ke tampuk pimpinan tertinggi setelah dua kali memimpin, mengisyaratkan hanya Megawati yang bisa menjadi buhul pengikat partai itu.

Tapi mengingat faktor usia, Mega tampaknya tak bakal maju sebagai calon presiden pada 2014. Lalu, siapa penggantinya? Di celah persaingan kubu pragmatis dan ideologis, muncul nama Puan Maharani, putri Megawati dari suaminya Taufiq Kiemas. Puan, yang kini menjadi anggota DPR RI itu, tampak terus mematangkan dirinya menjadi politisi.

Arena kongres kali ini pun adalah batu uji bagi Puan. Persoalannya, seperti diungkap Cepi Budi Mulyawan, Puan lebih dekat membawa amanat politik sang ayah, Taufiq Kiemas, yang berada pada kubu pro-koalisi. “Dia akan berhadapan dengan kubu ideologis”, ujar aktivis Kaum Muda PDIP itu. Terbetik kabar, skenario memuluskan Puan tampil di jajaran elit partai juga sudah dirancang kubu pragmatis.

Misalnya, kata seorang sumber di elit partai itu, kelompok pragmatis akan memajukan usul posisi Wakil Ketua Umum dalam kongres nanti. Posisi itu nantinya ditempati oleh Puan. “Bahkan, ada rencana mengantisipasi Megawati jika beliau non-aktif di tengah jalan,” ujar sumber itu. Hal itu ditunjukkan lewat rencana usulan pasal baru dalam Anggaran Dasar, yang kira-kira berbunyi jika ketua umum berhalangan tetap maka wakil ketua akan mengambilalih kepemimpinan.

Puan sendiri tampaknya cukup percaya diri terjun ke politik. Dia juga mengatakan besarnya PDIP selama ini tak lepas dari peran Megawati dan Taufiq Kiemas. “Kalau kita bicara sejarah PDI ya PDI. Tapi kalau PDI Perjuangan ya Ibu Megawati, yang merupakan salah satu putri dari Bung Karno,” ujar Puan kepada VIVAnews, Kamis 1 April 2010 di Jakarta.

Menurut dia, jika bicara trah Soekarno di PDI perjuangan, maka trah itu berasal dari Megawati. “Trah Soekarno yang lain kan sudah punya partai masing-masing,” ujar Puan. Dia mencontohkan bibinya Rahmawati Soekarnoputri, dan Sukmawati Soekarnoputri, yang membangun kendaraan politik masing-masing (lihat Infografik). Sementara, putra Bung Karno, Guntur Soekarnoputra tidak ikut dalam partai politik. Guruh, adik Megawati, meski mencalonkan diri menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan, tetapi tak mendapat dukungan besar.

Upaya mengusung, atau mencitrakan Puan sebagai pendamping Megawati, sudah mulai tampak pada persiapan kongres. Di perempatan Jalan Sudirman dan Jalan By Pass Ngurah Rai, ada spanduk gambar Megawati dan Puan Maharani mengucapkan selamat datang kepada peserta kongres. Meskipun tak secara gamblang menyebut dirinya siap sebagai wakil ketua umum, Puan sudah memberi sinyal. “Apapun tugas yang diberikan oleh partai saya siap,” ujar Puan kepada wartawan Rabu, 31 Maret 2010.

Tapi ada kecemasan di arus bawah, jika PDIP Puan menang, maka arus pragmatisme akan kian menguat. Itu sebabnya sayap pendukung PDIP, seperti Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem), menggelar Rapat Kerja Nasional tanggal 28-26 Maret kemarin. Meskipun tak berkomentar tentang Puan, Repdem mendukung partai tetap pada garis oposisi. “Kami tidak ingin partai terjebak pada langkah pragmatis berorientasi kekuasaan,” ujar Budiman Sudjatmiko, Ketua Umum Repdem, dan juga anggota DPR RI.
 
Soal debat koalisi dan oposisi ini pun membuat daerah cemas. Mereka khawatir isu itu memicu perpecahan internal partai.  DPD Yogya, salah satu basis terkuat partai banteng, misalnya berharap soal itu tak masuk agenda Kongres.  “Masalah itu serahkan kepada ketua umum saja,” ujar Ketua DPD PDIP Yogya, Idham Samawi. Yogya juga menginginkan partai kembali ke khittahnya sebagai partai kaum Marhaen.

Menipisnya kadar ideologis, membuat sebagian elit PDIP mengkaji kembali arah partai itu. Dalam draft “Rancangan Sikap Politik Partai” yang dikeluarkan Steering Comittee Kongres III PDI Perjuangan, jelas disebutkan niat menjadikan PDIP partai ideologis. “Proses politik hanya berfungsi sebagai alat transaksi segelintir elit”, bunyi draft itu mengkritik realitas ekonomi-politik Indonesia pasca kediktatoran Suharto.

Indonesia, menurut draft  berlabel “rahasia” itu, dinilai kian kapitalis dan memuja liberalisme, serta membiarkan kesenjangan sosial kian melebar. “Untuk menjawab tantangan itu, PDI Perjuangan menyatakan posisi sebagai partai ideologis berdasarkan ajaran Bung Karno Pancasila 1 Juni 1945”, demikian bunyi penutupan draft pernyataan itu.

Draft itu menjadi semacam pekerjaan rumah bagi satu posisi baru yang diusulkan di kongres nanti, yaitu Majelis Ideologi. “Majelis ini akan menggodok arah gerak partai nanti,” ujar salah seorang elite PDI Perjuangan. Anggota majelis ini rencananya berkisar sekitar sembilan orang, dan ditunjuk langsung oleh Ketua Umum. Tetapi, letaknya dalam struktur masih akan diperdebatkan, apakah di bawah Sekjen atau Ketua Umum. “Biar nanti diputuskan di kongres”, ujar sumber itu.

Seakan menandingi gerak kubu pragmatis, kubu ideologis tampaknya juga memikirkan siapa dari trah Soekarno yang punya kecakapan ideologi. Tersebutlah nama Prananda Prabowo, putra kedua Megawati dari suami pertamanya Lettu Penerbang Surindro Suprijarso, sebelum menikah dengan Taufiq Kiemas. Anak pertama pasangan Megawati - Surindro adalah Mohamad Rizki Pratama. 

Surindro meninggal karena kecelakaan saat menerbangkan pesawat Skyvan T-701 di perairan Biak, Irian Jaya, pada 22 Januari 1970. Megawati tengah mengandung putra kedua, manakala musibah itu terjadi. Setelah lahir, anak itu diberi nama Mohamad Prananda Prabowo. Mungkin itu sebabnya Mega dekat dengan Prananda. Menurut anggota DPR dari PDIP Eva Kusuma Sundari, Prananda adalah teman bertukar pikiran bagi Megawati. 

Anak muda itu kerap menjadi sopir bagi ibunya saat bertandang ke kantor PDIP di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Prananda juga menemani sang ibu saat memutuskan menyepi di Cipanas, Jawa Barat, ketika sedang panas-panasnya tarik-ulur untuk berkoalisi atau beroposisi dengan SBY.

Prananda yang pendiam itu rupanya getol menyelami karya Bung Karno, kakeknya. Dia juga membangun satu website gentasuararevolusi.com, berisi ajaran politik Soekarno. Dia juga mendapat julukan Kamus Berjalan Bung Karno. Meski tak termasuk dalam jajaran pengurus, Megawati mempercayakan dia sebagai Wakil Sekretaris Panitia Pengarah Kongres III PDIP.

Dia terlihat bersama Megawati dan Taufiq Kiemas berziarah ke makam Bung Karno di Blitar, Jumat pekan lalu. Bahkan, pada dua hari sebelumnya, Prananda turut menemani ibunya saat menggeser nisan Bung Karno sejauh satu meter ke utara. “Pemindahan nisan itu memang atas keinginan Ibu Megawati,” ujar anggota Fraksi PDIP di DPR RI Theodorus Jacob Koekerits yang turut menyaksikan pergeseran nisan itu.

Tak ada penjelasan lebih jauh maksud pergeseran nisan menjelang kongres itu. Apakah itu simbol pergeseran trah Soekarno yang terpencar-pencar ke trah Megawati?



TRAH Soekarno, suka tak suka, telah menjadi simbol bagi PDI Perjuangan. Memang, tak semua dinasti politik Soekarno berada di PDI Perjuangan. Guntur Soekarnoputra, yang pikiran dan figurnya sangat mirip Bung Karno, juga tak masuk dalam struktur partai itu. Hanya putrinya, Puti Guntur Soekarno, yang ikut memperkuat PDI Perjuangan, dan kini menjadi anggota DPR RI.

Tapi, Puti toh tak tampil dominan. Visinya soal partai juga diplomatis. “Menghadapi situasi yang semakin dinamis, partai harus bersikap sesuai garis ideologi yang jelas,” ujarnya kepada VIVAnews, Jumat 2 April 2010 di Denpasar. Puti juga tampak hati-hati untuk tidak menyinggung perasaan keluarganya yang lain, terutama Puan sebagai anak Megawati dan Taufiq Kiemas.

Di luar persaingan para cucu Soekarno ini, penting melihat bagaimana partai itu bertarung pada 2014 nanti. Peneliti senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanudin Muhtadi, mengatakan Megawati tetap penting bagi basis tradisional partai itu. Terutama, dari para pemuja Soekarno, dan kalangan minoritas seperti kaum Katolik dan Hindu. Tapi basis tradisional ini, kata Burhanudin, segmentansi pemilihnya tidak besar. “Sekitar 10 persen,” ujarnya.

Dia lalu mengutip data survei LSI. Dikatakan, mereka yang loyal pada partai, termasuk pada PDIP, Golkar, PKS dan lain-lain cuma 25 persen dari seluruh pemilih.  “Sekitar 8 persen disumbang oleh massa loyal PDIP”, ujar Burhanudin. Artinya, pada pertarungan 2014, partai harus mampu menarik swing voters, yang berjumlah sekitar 75 persen.

Mega dan PDIP, kata Burhanudin, gagal membidik swing voters ini pada Pemilu 2009 lalu. Para swing voters itu cenderung tak punya kedekatan psikologis dengan partai. “Padahal inilah pemilih terbesar di Indonesia,” ujar Burhanudin. Dengan kata lain, kalau Mega maju jadi presiden, pasar pemilih PDIP dan Mega, hanya sebagian dari 25 persen pemilih loyal itu. Maka, kata Burhanudin, sangat baik kalau PDIP mencari figur baru mulai sekarang. “Puan, Pramono Anung, atau Prananda bisa jadi investasi politik ke depan,” ujar Burhanudin.

Di luar trah Soekarno, memang baru tampak Sekretaris Jendral PDIP Pramono Anung, yang menonjol. Pramono adalah sosok loyal yang berperan besar menata kembali organisasi partai itu setelah perpecahan pasca Pemilu 2004.

Pramono sendiri tampak berhati-hati menempatkan dirinya. Misalnya, soal persaingan kubu oposisi dan koalisi. Dia seperti mengambil jalan tengah. Pada satu sisi membenarkan beroposisi selama lima tahun telah membuat gerak partai tak lentur. Tapi Pramono tak lalu seturut dengan garis koalisi. "Mayoritas arus bawah partai", kata Pramono, "tetap menginginkan PDIP memberi kontrol kepada penguasa".

Megawati sendiri, masih menurut Pramono, tak pernah membayangkan PDIP berkoalisi dengan pemerintah. Jadi, soal sikap politik, dia menunggu keputusan ketua umum di Kongres. “Pernyataan Megawati akan menjadi salah satu pegangan dalam Kongres,” ujar Pramono.

Kongres III adalah persimpangan penting bagi PDI Perjuangan. Apakah partai itu memilih menjadi partai ideologis, dan bersandar pada simbol trah Soekarno, ataukah menjadi partai massa terbuka.

Laporan Peni Widarti | Bali

Pakai Uang Palsu Beli Narkoba dan Punya Senpi Rakitan, Pecatan TNI AL di Lampung Ditangkap
Kemenag Gelar Peringatan Nuzulul Qur'an Nasional Tahun 2024

Peringatan Nuzulul Qur'an Tingkat Nasional, Kemenag: Spirit Bawa Indonesia Menjaga Keragaman

Peringatan Nuzulul Qur'an tingkat nasional, digelar oleh Kementerian Agama atau Kemenag. Pada tahun 2024 ini, digelar di Auditorium HM Rasjidi Kemenag, pada Rabu kemarin.

img_title
VIVA.co.id
28 Maret 2024