SOROT 73

"Pemakzulan Tergantung pada MK"

VIVAnews—Wacana pemakzulan Presiden atau Wakil Presiden bergulir ditengah gelindingan Kasus Century di DPR-RI. Langkah pemakzulan ternyata tak semudah mengucapkannya. Perlu jalan yang berliku. Apalagi sekarang ini, memberhentikan presiden dan wakil presiden tak cukup hanya dengan langkah politik semata. Juga perlu dukungan proses hukum, dan ini tugas Mahkamah Konstitusi.
 
Bagaimana proses detailnya? Wartawan VIVAnews mewawancarai Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, di kantornya di Jakarta Pusat, Rabu 3 Maret 2010. Mahfud juga mengomentari soal kemungkinan pemakzulan, dan juga bagaimana harusnya Boediono, Wakil Presiden, bersikap dalam persoalan ini. Berikut petikannya.
 
Bagaimana sebenarnya soal pemakzulan itu, pengaturannya seperti apa?
Istilah pemakzulan dalam konstitusi kita sebenarnya tidak ada. Tetapi makna pemakzulan itu sendiri jelas ada di dalam Undang-undang Dasar 1945, yaitu pemberhentian presiden dan atau wakil presiden dalam masa jabatannya sebab terjadi sesuatu atasnya. Oleh sebab itu kita gunakan istilah pemakzulan itu untuk mempermudah saja. Dari pada bicara dengan kalimat yang panjang ya sebut saja pemakzulan.
 
Lalu, pengaturan pemakzulan ini sendiri mencerminkan apa sebenarnya?
Memang kita harus membuka kemungkinan agar presiden atau wakil presiden itu diberhentikan di tengah jalan.
 
Sekarang tiba-tiba muncul wacana pemakzulan, apakah ini akan mengulang cerita lama?
Di masa lalu, pemakzulan tiga presiden yaitu Soekarno, Soeharto dan Abdurrahman Wahid, cukup dilakukan dengan keputusan politik. Oke lah, jabatan presiden dan wakil presiden itu jabatan politik, sebab itu hanya bisa diberhentikan melalui politik. Tetapi, sebelum politik mengambil keputusan harus ada proses hukumnya.
 
Apa bedanya?
Proses politik itu kan soal menang atau kalah, meskipun benar kalau sudah kalah ya kalah. Tetapi kalau proses hukum itu adalah antara benar dan salah. Apa yang benar menurut politik nanti dinilai dulu secara hukum, inilah fungsi Mahkamah Konstitusi dalam masalah hukum itu.
 
Nah, kemudian karena ada proses pemikiran mengawinkan proses politik dan hukum itu, lalu lahirlah aturan yang mengkombinasikan masalah pemakzulan itu. Secara hukum ada enam alasan untuk memakzulkan presiden, yaitu lima poin karena pelanggaran hukum dan satu lagi bukan karena pelanggaran hukum.
 
Lima hal yang menjatuhkan presiden itu adalah terlibat korupsi, penyuapan, pengkhianatan terhadap negara, melakukan kejahatan besar yang diancam lima tahun ke atas, dan melakukan perbuatan tercela. Sedangkan soal yang di luar hukum yaitu jika presiden sudah tak memenuhi syarat lagi. Ini bukan pelanggaran hukum hanya soal keadaan saja, misalnya tiba-tiba dia sakit permanen.
 
Jadi proses pemakzulan juga akan tergantung pada keputusan MK?
Ya DPR harus memutuskan dulu dengan dukungan 2/3 sidang paripurna yang dihadiri minimal 2/3 anggota parlemen. Setelah itu, baru diserahkan ke Mahkamah Konstitusi. Di sini akan diputuskan, apakah benar presiden sebagaimana didakwa DPR telah melanggar salah satu dari enam alasan tadi.
 
Lalu, Mahkamah Konstitusi akan membuktikannya nanti dalam persidangan. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi akan memutuskan benar atau salah dakwaan DPR itu. Jika MK menerbitkan putusan bahwa dakwaan DPR salah, maka proses pemakzulan berhenti.
 
Jika MK memutuskan dakwaan DPR itu benar?
Tugas MK berhenti sampai di situ, titik. MK tidak boleh mengatakan presiden harus dipecat. MK mengembalikannya kepada putusan politik. DPR boleh melanjutkan, dan boleh juga tidak melanjutkannya.
 
Artinya, sekarang proses pemakzulan presiden lebih sulit?
Memang dipersulit. Memilih presiden itu kan mahal dan sulit, sehingga proses pemberhentiannya juga harus dengan alasan-alasan yang serius dan bukti-bukti yang mantap, dan harus melalui prosedur yang ketat. Kalau tidak maka akan sembarang saja, kalau DPR tidak suka lalu jatuhkan. Sebentar-bentar jatuhkan presiden. Karena kita kan berbeda dengan parlementer, cukup dengan mosi tak percaya saja sudah selesai. Kita ini kan presidential.
 
Berkaca dari aturan ini, bagaimana anda melihat perkembangan kasus Bank Century di DPR?
Secara teori sangat sulit melangkah ke pemakzulan. Kalau Partai Demokrat bergabung dengan Partai Amanat Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa saja menyatakan tidak setuju dengan pemakzulan, maka sudah tak memenuhi pesyaratan dua per tiga itu. Bahkan jika mereka tak hadir saja dalam sidang, sudah tak memenuhi syarat.
 
Itu secara teori ya, tetapi politik tak selalu sama dengan teori. Anda tahu, dulu Soeharto tak mungkin dijatuhkan secara politik. Anda tahu, 11 Maret 1998 itu, 100 persen anggota MPR dan DPR memilihnya, lalu pada 20 Mei 1998, 100 persen anggota MPR dan DPR itu berbalik. Jadi itu semua bergantung pada tekanan masyarakat juga. Jadi pengerahan massa itu juga untuk kepentingan penekanan itu juga.
 
Dari sisi etika berpolitik, apa pendapat Anda terhadap apa yang terjadi pada parlemen saat membahas Century?
Masalah yang saya lihat terjadi di persidangan ya...yang saling memaki, saya kira itu bukan etika kelembagaan tetapi secara personal. Tetapi, secara umum nggak ada masalah. Masih berjalan secara terbuka dan transparan. Adu argumen, ya itu biasa dan itulah politik. Saya kira kita harus menerima itu sebagai fakta, dan kita tak bisa menghindar dari fakta-fakta semacam itu di masa depan. Kita membentuk lembaga politik memang untuk arena yang seperti itu.
 
Andaikan menjadi Boediono, apa yang Anda lakukan?
Dalam pandangan awam saya, kalau menjadi Boediono saya akan jalan saja. Sebab tak akan ada risiko hukum, paling sifatnya politik. Dan itu biasa, bukan karena salah tetapi sebab kalah saja. Artinya bisa saja harus diberhentikan atau mundur, itu bisa saja. Tetapi kalau hukum, rasanya kok sulit ya.
 
Secara personal, apa penilaian Anda terhadap Boediono dan Sri Mulyani?
Saya melihat mereka berdua ini kriterianya sangat bersih. Jika pun kebijakan yang dilakukan itu salah, itu hanya kekeliruan saja. Bukan karena kesengajaan. Begitu kira-kira. Ini pada tingkat kebijakan ya. Kalau soal di tingkat pembagian uangnya, saya kira memang banyak bajingannya di situ. Di lapisan ini yang harus segera diselesaikan secara hukum.
 
Bagaimana Anda menanggapi Presiden yang sudah menyatakan bertanggungjawab terhadap kasus Century itu?
Saya kira sudah terlambat ya. Ini kan sudah terlanjur jauh begitu, rakyat sudah melihat ya…tak mungkin partai-partai itu mundur lagi

Justin Hubner Jadi Cadangan, Ini Susunan Pemain Timnas Indonesia U-23 Vs Australia
Kejaksaan Agung menyita aset berupa uang tunai dari kasus korupsi timah

Survei LSI: Mayoritas Rakyat Percaya Kejagung Bakal Usut Tuntas Kasus Korupsi Rp 271 T

Survei LSI menyebutkan, Sebanyak 68,4 persen masyarakat percaya Kejaksaan Agung akan mengusut tuntas kasus korupsi terkait PT Timah yang merugikan negara hingga Rp 271 T.

img_title
VIVA.co.id
18 April 2024